Share

04. Marriage Terms

Lynea hanya bisa menunduk dan terdiam ketika Tuan Muda De Luca itu mengancam akan mencelakai dia atau keluarganya, bila menolak untuk menikah dalam tiga bulan ke depan. Sesekali ia melirik kepada Alonzo yang juga hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Mengapa Anda memaksa saya seperti ini, Tuan? Pernikahan bukan sesuatu untuk dipermainkan. Pernikahan itu suci dan seba—”

“Diam! Aku tidak menyuruh kamu ceramah, Linen!” bentak Enrico memotong ucapan Lynea.

“Lynea, bukan Linen!”

“Kalau aku bilang Linen, ya Linen!” Kembali Enrico berteriak sampai matanya mendelik karena sangat emosi menghadapi Lynea.

“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”

Enrico terlihat santai saat berbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi? 

“Lima puluh persen!” sanggahnya berani. 

“Apa-apaan? Kamu pikir kamu siapa?” bentak Enrico. 

“Aku orang yang akan kamu tiduri lalu mengandung anakmu! Lima puluh persen atau semua ini batal!”

Enrico menatap Lynea sangat tajam. Wajahnya cenderung terlihat sedikit mengerikan saat ini. Kedua tangannya terlihat mulai mengepal di atas kasur. Napasnya juga mulai tidak teratur. Sedikit lagi, maka ia akan meledak.

“Saya yakin Nona Lynea hanya bercanda saja, Tuan. Jangan diambil hati apa perkataannya,” sela Alonzo tiba-tiba berdiri di hadapan Lynea.

Tubuh kekar dan tinggi besar milik Alonzo menghalangi pandangan Enrico kepada Lynea. Sementara itu, di balik punggungnya, Alonzo memberi isyarat kepada Lynea dengan jari telunjuk yang digoyang ke kanan dan ke kiri. Ia seolah mengatakan “Jangan” kepada wanita calon nyonya besar istana ini.

Lynea kebingungan dengan sikap Alonzo. Tetapi ia diam saja dan tidak membantah. Dalam hatinya, bila ia memang akan menikah, biar bagaimanapun harta itu akan menjadi miliknya.

Enrico mulai terlihat menurunkan emosinya. Napasnya tidak lagi memburu. Sorot matanya pun mulai normal.

“Sekarang, keluar kalian dari kamarku! Aku akan berpakaian!” usirnya memberi isyarat kepada Alonzo agar segera meninggalkan kamar.

“Alonzo!” panggil Enrico tiba-tiba.

“Ya, Tuan?” Kembali pria berkacamata itu membalikkan badan dan menghampiri majikannya.

“Suruh Lynea tunggu di depan kamarku. Sementara kamu, temui Paman Romario di bawah. Katakan, bahwa aku setuju dengan syarat si Tua Bangka!”

Lynea semakin gerah melihat perilaku Enrico yang menganggapnya tidak ada. Padahal jelas-jelas ia berdiri di sebelah Alonzo. Namun, pemuda sombong dan sangat tampan itu lebih memilih menyuruh Alonzo untuk berbicara padanya, daripada berbicara sendiri.

“Mari, Nona. Silahkan menunggu di luar,” ucap Alonzo mengarahkan menuju pintu keluar.

BRAK!

Lynea membanting pintu kamar Enrico karena kesal, membuat Alonzo melompat kaget.

“Apa yang anda lakukan, Nona Lynea? Jangan mencari masalah dengan Tuan Enrico!” serunya kesal dan kuatir pada saat yang bersamaan.

“Biar saja! Tuanmu itu sombong sekali! Sekarang katakan padaku yang sejujurnya, Alonzo!  Apakah ia akan melakukan semua yang tadi dikatakan?”

“Maksud Nona?”

“Bagian dia akan mencelakai aku, adikku atau bibiku? Benarkah dia sesadis itu?”

“Tentu saja! Bahkan beliau bisa lebih dari itu! Kematian kadang terlalu baik untuk musuh-musuh Tuan Enrico. Penderitaanlah yang ia berikan bagi mereka yang tidak menuruti perintahnya!”

Lynea langsung tertegun mendengar itu semua. Dunia apa yang sudah menelan dirinya hidup-hidup? Jantungnya mendadak berdebar lebih kencang, sementara rasa mual mengisi lambung dan mulutnya. Keringat dingin dirasa mulai menjalar di sekujur wajah dan juga leher.

“Sekali lagi kamu membanting pintuku, akan aku suruh kamu tidur di kandang kuda! Paham tidak?” hardik Enrico mendadak sudah ada di sisi Lynea.

“Maafkan aku, Tuan,” desis Lynea menunduk ketakutan.

“Sekarang kita akan umumkan bahwa pernikahan terlaksana dalam tiga bulan lagi.”

“Baik, Tuan,” sahut Lynea merasa lemah tak berdaya.

***

Keduanya berjalan menuruni tangga yang bentuknya mengular berlapis karpet terbaik di kelasnya. Lynea mengekor langkah Enrico dan tetap menjaga jarak sekitar dua meter dari lelaki yang ia anggap bisa mencabut nyawanya kapan saja.

“Bisa lebih cepat tidak, Linen?” dengus Enrico menghentikan langkahnya dan menoleh kesal ke belakang.

“Maafkan aku, Tuan,” jawab Lynea berlari kecil menuju Enrico.

“Tuan Romario sudah menunggu Anda dan Nona Lynea, Tuan,” sambut Alonzo membukakan pintu ruang keluarga.

“Dengarkan semuanya! Aku ada pengumuman!” teriak Enrico begitu memasuki ruangan.

Ia duduk di atas sebuah sofa kulit cokelat dengan aksen ukiran klasik di bagian sandaran. Isyarat matanya memanggil Lynea untuk ikut duduk di sebelahnya.

“Kami memutuskan untuk setuju menikah, Paman Roma!” seru Enrico membuat yang lain terbelalak.

Seluruh keluarganya masih berada di dalam ruangan tersebut. Melihat Lynea berada di sisi Enrico, membuat mereka tidak lagi berani berkata kasar padanya.

“Siapa yang memesan The Janitor malam ini?” tanya Enrico dingin, kembali membuat yang lain terbelakak.

“Aku tegaskan mulai sekarang! Siapa pun yang berani menyentuh sehelai saja rambut Linen, dia akan menerima konsekuensi yang sangat mengerikan!” ancamnya masih terus salah menyebut nama Lynea.

“Kamu jangan menuduh sembarangan! Kami tidak tahu menahu soal The Janitor!” sanggah Belezza membela diri.

“Berbohonglah sesuka kalian! Aku pasti akan mengetahui siapa yang memesannya untuk menghabisi Linen!”

“Lynea, Tuan,” bisik Lynea jengah karena namanya disebut dengan salah terus menerus.

“Diam!” desis Enrico menahan geram agar suaranya agar tidak terdengar oleh yang lain.

Keadaan menjadi hening sesaat. Lynea menundukkan kepala karena tidak berani menatap ke arah keluarga De Luca di hadapannya. Mereka semua melihatnya dengan penuh kebencian.

Berbanding terbalik, Enrico justru menatap santai namun tajam, sinis dan kejam kepada seluruh keluarganya. Dalam hati ia mengetahui, hanya tinggal masalah waktu sebelum The Janitor datang mengincar dirinya.

Oleh karena itu, ia memilih untuk melakukan perang urat syaraf kepada Bernard, Belezza dan anak-anak mereka. Selama ini, selalu ada Fransiscus yang melerai pertikaian antara Enrico dengan yang lain. Ia selalu dilarang keras untuk menyakiti sesama saudara sedarah. 

Sekarang kakek tersebut sudah tidak ada lagi di dunia, membuat Enrico bebas untuk berbuat apapun yang dia mau terhadap keluarga besarnya.

“Baiklah, karena kalian setuju menikah, maka syarat tambahan akan saya bacakan,” ucap Romario memecah kebisuan.

“Syarat tambahan?” Enrico menaikkan sebelah alisnya.

“Iya, betul. Kakekmu menginginkan syarat tambahan ini baru dibacakan kalau kalian setuju menikah,” jelas Romario menyobek sebuah amplop bersegel.

“Enrico dan Lynea harus tinggal satu rumah dan satu kamar tidur. Anak yang dilahirkan Lynea akan di cek DNA-nya oleh lima dokter yang berbeda. Kelimanya harus membuktikan bahwa anak tersebut adalah benar keturunan dari Enrico.”

Kerongkongan Lynea langsung tercekat. Ia kesulitan bernapas dan menelan ludahnya sendiri. Membayangkan harus melakukan hubungan suami istri dengan Enrico membuatnya semakin mual.

“Setiap malam, Enrico harus pulang ke rumah dan tidur bersama isterinya. Bila Enrico hendak berpergian ke luar kota atau luar negeri, Lynea harus ikut.”

“Tua Bangka gila!” umpat Enrico bergumam sendiri. Ia menggelengkan kepala sambil bersungut-sungut. 

“Ini yang terpenting! Enrico harus memperlakukan Lynea dengan baik, selayaknya seorang suami memperlakukan isteri yang sangat ia cintai. Tidak ada lagi hubungan dengan wanita lain, selain Lynea.”

Kalimat terakhir itu sontak membuat geger seisi ruangan. Mereka semua terkekeh dan berbisik mendengarnya. Seorang Enrico De Luca, setia hanya pada satu wanita? Sungguh sebuah kejadian langka yang tidak bisa dipercaya.

“Ini bagian terakhir. Apabila kalian menikah, dan syarat-syarat tersebut dilanggar, maka harta warisan yang seharusnya menjadi milik kalian berdua, akan dibagi tiga sama rata dengan Bernard dan Belezza.”

“Bila Enrico melanggar dan warisan ini batal, maka Lynea akan mendapatkan uang sebesar satu milyar rupiah dan sebuah rumah yang lokasinya masih dirahasiakan.”

“Kenapa syaratnya semua hanya di aku? Apakah Linen ini bebas dari syarat apa pun? Enak sekali dia!” protes Enrico bersungut-sungut. 

“Entahlah, tanyakan kakekmu,” kekeh Romario mengangkat bahunya sekali. 

“Saya akan memantau langsung jalannya pernikahan kalian, Lynea dan Enrico. Baiklah, saya ucapkan selamat! Semoga kalian saling mencintai dan rukun selamanya!” 

***

Berjalan di atas seutas tali tipis, dengan tanpa jaring pengaman apa pun di bawah. Demikian perasaan Lynea saat ini. Seluruh hidupnya seolah bukan miliknya lagi.

Bahkan ia tidak bisa melakukan apa pun mengenai pernikahan tanpa cinta ini. 

Ia menatap nanar pada punggung Enrico yang berjalan tegap di depannya.

Aroma parfum mahal milik lelaki itu meresap masuk, menelisik dan. menggugah imaji terdalam. Seketika ingatan Lynea kembali memutar suara-suara desahan tengah malam yang kerap ia dengar.

Batinnya berkecamuk, membayangkan bahwa dirinya yang akan berada di atas ranjang bersama seorang Enrico De Luca. Membayangkan jemari maskulin itu menyentuh berbagai bagian sensitif dari tubuhnya. Darahnya berdesir hebat. 

Ini tidak mungkin terjadi! Aku tidak mungkin melakukannya pertama kali dengan seseorang seperti dia! Jerit Lynea mulai frustasi di dalam hati. 

“Kenapa kamu berhenti?” hardik Enrico melihat Lynea mematung beberapa meter di belakangnya. 

“Aku tidak bisa melakukan ini, Tuan,” gagap Lynea dengan tubuh mulai bergetar ketakutan. 

Enrico menahan napas dan langsung menghampirinya. Tangan kekar itu kemudian menarik paksa lengan Lynea sampai mereka kembali memasuki kamar mewahnya. 

“Duduk!” perintahnya kasar menghempaskan tubuh Lynea ke atas sofa. 

“Kamu benar-benar cari mati ya? Sudah tidak sayang dengan nyawamu?” 

Bentakan demi bentakan, teriakan demi teriakan terus dilancarkan Enrico persis di depan wajah Lynea. Membuat wanita polos itu akhirnya menangis ketakutan. Ia sampai tersengal-sengal dan kesulitan bernapas. 

“Diam! Berhenti menangis!” 

Bukannya menurut dan menghentikan tangisannya, Lynea justru semakin menjadi-jadi, membuat Enrico kemudian bergegas membuka pintu kamar lalu berteriak, “Alonzo!” 

Tidak lama munculah pria berkacamata itu segera masuk ke dalam kamar. Ia kaget melihat Lynea menangis sesenggukan dengan tubuh yang gemetaran. 

“Tuan apakan dia?” ceplosnya spontan mengira sesuatu telah terjadi. 

“Heh! Aku tidak gila! Dia menangis sendiri! Urus dia!” sahut Enrico marah. 

Alonzo kemudian perlahan mendekati Lynea yang sudah bersimbah air mata. Segelas air minum ia ambil dari meja kecil di sebelah ranjang majikannya.

 

“Minumlah dulu, Nona. Tenangkan dirimu,” ucapnya pelan, menenangkan. 

Lynea menerima gelas tersebut. Getaran di tangannya membuat isi gelas agak tertumpah dan membasahi pakaiannya. Perlahan ia berusaha menelan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya satu gelas air itu habis sudah. Napasnya mulai membaik setelah selesai menenggak air tersebut. 

“Ada apa, Nona?” tanya Alonzo melihat Lynea mulai tenang. 

“A-aku tidak bisa me-menikah dengan Tu-tuan Enrico … ti-tidak bisa!” 

“Bayangkan, Tuan Alonzo! Memiliki anak dengannya, lalu tes DNA, berarti aku ha-harus … tidur … de-dengannya!” 

Lynea kembali menangis tersedu-sedu. Alonzo semakin bingung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menghela napas panjang. Masalah yang rumit, batinnya kesal. Sungguh ia paham perasaan Lynea karena memang Tuan Mudanya itu sangat kasar terhadap mantan perawat Fransiscus ini. 

“Memangnya kenapa kalau kamu tidur denganku? Kamu pikir aku mengecewakan di ranjang? Kurang ajar!"

"Kamu harusnya bersyukur! Kamu tahu berapa banyak wanita antri di luar sana untuk bisa menikmati satu malam bersamaku?” cecar Enrico semakin meninggikan suaranya. 

“Aku bukan wanita seperti itu!” jerit Lynea disela tangisannya. 

"Buka bajumu! Akan kubuktikan saat ini betapa luar biasanya aku di atas ranjang!" Enrico meringsek maju. Dengan kasar ia menarik-narik baju calon istrinya.

"BERSAMBUNG"

(ON NEXT CHAPTER) 

“Ambil semua baju itu, lalu siap jam sembilan. Kita akan berangkat mengukur pakaian pertunangan. Paham?” tegas Enrico, kali ini sedikit menoleh pada Lynea. 

Jubah tidur wanita perawat kakeknya itu terbuka lebar di daerah dada. Mata nakal Enrico tak kuasa menolak. Keduanya berhenti, mulai menikmati sembulan kenyal yang hanya tertutup kain mengkilat juga tipis. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status