Share

03. Marry Me Or Die

Matahari semakin lelah untuk terus bertahan. Ia merunduk masuk ke dalam peraduan di balik bumi. Udara menjelang malam terasa semakin dingin, menusuk tulang Alonzo yang terdiam di depan gerbang Istana De Luca. Pikirannya hanya terletak pada keselamatan Lynea saja. 

"Panggilkan David! Suruh dia menemui aku di markas!" seru Alonzo pada penjaga gerbang sembari membalikkan badan. Ia hendak kembali menemui tuannya. 

"Bagaimana?” Enrico menunggu kembalinya Alonzo di depan pintu ruang keluarga.

“Nona Lynea masih menolak, Tuan. Tapi sa—”

“Bodoh! Kemana otakmu itu? Kenapa tidak kamu paksa dia kembali?” hardik Enrico memarahi pesuruhnya.

“Apakah saya harus menggendongnya, Tuan? Saya rasa, tidak pantas bila saya menyentuh calon istri Anda,” jawab Alonzo menunduk tanpa berani menatap wajah tuannya.

“Jangan sebut dia calon istriku! Aku masih jijik dengan kenyataan itu! Pokoknya bawa dia kembali! Atau kamu akan saya pecat!” ancam Enrico semakin murka.

“Apakah perlu membawa beberapa pengawal bersama saya saat membawa Nona Lynea kembali, Tuan?”

“Untuk apa? Menangkapnya? Apakah kamu seorang diri saja tidak bisa membawa dia? Jangan katakan kamu kalah menghadapi dia?”

“Untuk melindunginya, Tuan. Kita tidak tahu isi surat warisan kakek Anda sudah berdampak seperti apa kepada yang lain,” jelas Alonzo menjabarkan bahwa nyawa Lynea bisa menjadi sasaran utama para majikan yang sedang berebut harta.

“Hmmm … betul juga. Bawalah lima pengawal bersamamu. Pastikan dia kembali dengan cara apapun! Seret kalau perlu!”

Alonzo kembali mengangguk layaknya seorang prajurit menerima titah komandannya.

***

Lynea sedang menenangkan diri di apartemen kecil miliknya. Bangunan yang besarnya sama dengan kamar saat dia di istana De Luca. Hanya saja, di sini tempat tidur, kamar mandi, ruang tamu dan dapur menjadi satu.

Kalimat Romario terus terngiang di telinganya. Menerima uang dua trilyun, menikah dan memiliki anak dengan seorang Enrico De Luca.Seorang lelaki, berusia tiga puluh tahun yang memiliki kegemaran meniduri wanita asing. Hatinya masih merasakan mual yang sama.

Gila! Semua ini sungguh gila! Siapa yang sebenarnya tidak menginginkan semua kekayaan itu? Menjadi istri salah satu orang terkaya dan tertampan di San Angelo? Sungguh impian jadi nyata. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengimpikan hal ini.

Lynea termenung. Mengapa Fransiscus menginginkan agar ia menikahi Enrico? Kadang saat sore mereka mengobrol, Fransiscus mengungkapkan kekuatirannya pada Enrico akibat kebiasaannya bermain wanita. Apakah semua ini berdasarkan hal itu? Atau ada niat lain dari sang kakek?

Lalu apa pula maksud Alonzo mengatakan berdasarkan pengalamannya tadi? Bahwa sebaiknya Lynea menerima perintah Enrico demi keselamatannya sendiri? Semua seperti kepingan puzzle yang belum dapat tersambung dengan jelas.

TOK! TOK! TOK!

Pintu apartemen digedor dengan keras dari luar. Lynea terkesiap. Baru saja ia merenung mengenai keselamatan dirinya sendiri, tiba-tiba ada seseorang mendatanginya. Ia mengintip dari lubang kecil di bagian atas pintu. Hatinya menjadi sedikit lebih tenang ketika melihat wajah Alonzo sedang tersenyum dan melambaikan tangan.

Meski bingung bagaimana Alonzo bisa mengetahui alamat apartemen dan keberadaannya di sini, Lynea tetap membuka pintu.

“Ada apa?” Ia bertanya gugup karena melihat lima bodyguard yang dibawa Alonzo.

“Periksa seluruh ruangan!” perintah Alonzo pada anak buahnya.

“Eh, untuk apa? Ini rumahku! Kamu jangan masuk sembarangan!” cegah Lynea berlari-lari mencegah para bodyguard agar tidak memasuki kamar tidurnya.

“Sedan cokelat di ujung perempatan jalan, Bos!” seru David, kepala bodyguard dari samping jendela kamar tidur Lynea.

Sebuah teropong kembali ia masukkan ke dalam saku jasnya.

Alonzo tersenyum getir. Ia kemudian memberikan isyarat kepada Lynea agar memasuki kamarnya dengan perlahan, seolah tidak ada apa-apa.

“Di ujung perempatan jalan, Nona akan melihat sedan cokelat tua. Percayalah, orang di dalamnya sedang menunggu Anda keluar rumah,” bisik Alonzo tidak menampakkan diri secara jelas di depan jendela.

Ia menghindar agar tidak terlihat oleh orang yang di dalam sedan cokelat tersebut.

“Hah? Untuk apa menungguku? Siapa dia?” Lynea semakin kebingungan.

“Dia dijuluki The Janitor. Kerjaannya membersihkan orang-orang yang kehadirannya tidak diinginkan,” jawab David membuat Lynea setengah mati ketakutan.

“Apa? Ini semua gila, Alonzo! Kenapa aku?”

“Karena Nona akan segera menjadi Nyonya Besar De Luca.”

“Aku tidak mau menikahi Tuan Enrico! Lelaki itu maniak! Dia itu seperti budak nafsu!” sewot Lynea membuat David dan teman-temannya seketika tertawa terbahak.

“Diam!” bentak Alonzo tidak senang tuan mudanya ditertawakan oleh para bodyguard.

“Maaf, Bos. Tapi perkataan Nona Lynea memang sangat lucu, juga benar,” sahut David masih sedikit terkekeh.

“Nona, saya mohon kemas kembali pakaian anda dan segera kembali ke rumah Tuan De Luca. Beliau ingin berbicara dengan Anda,” pinta Alonzo ingin segera membawa kembali Lynea.

“Suruh saja Tuan Enrico yang terhormat dan teramat jahat itu mendatangiku, kalau memang ia membutuhkan aku!” tolak Lynea ketus.

Lagi-lagi David bersama keempat temannya terkekeh mendengar jawaban Lynea. Raut wajah Alonzo mulai terlihat tidak sabar.

“Kita sama-sama tahu, Tuan Enrico tidak mungkin melakukannya, Nona! Kalian berlima berhentilah tertawa, atau aku taruh kalian jadi satpam di mini market!” ucapnya kesal. Sekali lagi David berusaha menahan tawanya.

“Baiklah, kalau Anda tidak percaya, silahkan turun sampai di pinggir jalan. Mungkin dengan begitu Nona akan percaya?” usul Alonzo.

“Baik. Usul yang bagus, aku setuju. Ayo kita turun,” jawab Lynea.

David dan Luigi segera mengambil posisi di depan Lynea. Sementara ketiga body guard lain mengawal dari belakang. Salah satu dari mereka membawa koper biru tua yang ternyata belum di buka sama sekali oleh Lynea.

"Kenapa koperku dibawa?" tanya Lynea bingung. 

"Sekalian Nona kembali ke rumah De Luca," jawab Alonzo terus menatap ke arah depan. 

"Eh? Aku tidak mau kembali!" protes Lynea tapi tidak dihiraukan oleh Alonzo. Matanya fokus menatap ke arah depan. 

Begitu sampai di ujung tangga lantai satu, semua mata terbelalak melihat sosok yang hendak masuk dari arah pintu utama.

“The Janitor!” bisik David pada Alonzo.

“Jangan ada yang menyerang terlebih dahulu!” perintah Alonzo tegas.

Ia memajukan diri ke depan tubuh Lynea, melindungi wanita calon istri tuannya.

Orang yang mereka juluki The Janitor menghentikan langkahnya saat melihat Lynea telah dikelilingi oleh enam lelaki bertubuh kekar dan berparas sangar. Ia mengetahui bahwa tidak akan mungkin bisa memenangkan pertempuran ini.

Perlahan The Janitor memundurkan langkah sambil terus menaruh tangan di dalam saku jaketnya. Hal serupa juga dilakukan oleh keenam lelaki yang mengerubungi Lynea. Mereka semua mundur perlahan dan menaruh tangan di dalam jas sambil berdiri penuh siaga.

Suasana sangat mencekam. Lynea bisa merasakan jantungnya seakan berhenti berdenyut. 

“Nona percaya sekarang? Nona tahu apa yang ada di dalam jaketnya?” gumam Alonzo serius menatap Lynea ketika The Janitor telah mengilang. 

“Pi-pistol?” tanya Lynea gugup dan pucat pasi.

Alonzo mengangguk. Ia kembali mengeluarkan tangannya dari jas. Lynea dapat sekilas melihat pistol kecil berwarna hitam dengan gagang cokelat keemasan, terpasang kokoh di sabuk belakang Alonzo.

Selama ia menjadi perawat Fransiscus, belum pernah sekalipun melihat Alonzo membawa pistol dan dalam kondisi berjaga seperti barusan.

“Kita bisa pergi sekarang?” David menyela sambil mengisyaratkan kepada anak buahnya untuk segera berangkat.

“Aku menemui Tuan Enrico bukan berarti setuju untuk menjadi istrinya!” ucap Lynea merasa malu karena akhirnya ia terpaksa ikut dengan Alonzo. Ia kuatir bila tetap tinggal di apartemen maka namanya akan tinggal menjadi kenangan. 

“Nona bisa katakan itu sendiri kepada Tuan Enrico.”

***

SUV hitam berkaca gelap maksimal memasuki halaman rumah megah De Luca. Lynea dan Alonzo sudah kembali dan siap menemui Enrico. Mereka segera turun lalu melewati tangga marmer kokoh yang menjulang tinggi di depan pintu masuk.

“Tuan Muda sedang di kamarnya,” jawab seorang pelayan perempuan saat ditanya oleh Alonzo.

“Tuan Enrico, kami sudah kembali!” serunya mengetuk pintu.

“Masuk!” jawab Enrico berteriak dari dalam.

“Apakah perempuan tadi masih di sini?” Kembali Alonzo bertanya pada pelayan tadi.

“Tidak, Tuan Alonzo. Dia sudah pulang diantar oleh supir.”

Alonzo mengangguk. Kini ia yakin untuk membuka pintu. Kondisi sudah aman tanpa harus melihat wanita telanjang lagi di dalam kamar.

Lynea mengikuti langkah Alonzo memasuki kamar Enrico. Sama sekali ia tidak pernah tahu bagaimana isi kamar cucu kesayangan Fransiscus ini. Saking kagumnya dengan kemewahan di dalam kamar, Lynea menoleh ke kanan dan ke kiri, tanpa melihat ke depan.

Bruk!!!

Ia menabrak tubuh basah Enrico. Lelaki itu hanya menggunakan handuk dengan rambut yang masih basah menetes, mengenai dada bidangnya.

Lynea menelan ludah begitu melihat enam kotak lambang kemaskulinan tertata rapi bagaikan tuts piano di atas pusar Enrico. 

“Sudah puas memandangi tubuhku? Suka dengan apa yang kamu lihat?” sindir Enrico sinis.

Lynea ingin sekali membalas omongan sengit Enrico. Namun, ia kuatir akan semakin memperpanjang masalah.

“Apa sudah ada yang menunggu?” lanjut Enrico bertanya pada Alonzo.

“The Janitor, Tuan,” jawab Alonzo singkat.

“Hmmm ... luar biasa memang mereka ini,” gumam Enrico menghela napaas berat.

“Kamu! Perawat Kampungan! Siapa namamu?” bentak Enrico pada Lynea.

“Lynea, Tuan. Terima kasih sudah bertanya. Saya kira, Tuan akan selamanya memanggil saya begitu,” jawab Lynea kesal dan sedikit menyindir.

Enrico berdehem kemudian duduk di atas ranjang masih hanya dengan menggunakan handuk. Matanya nakal namun tajam memperhatikan Lynea dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Demi apa Kakek menyuruhku menikahi kamu? Benar-benar suatu hukuman dan penyiksaan yang sempurna darimu, Tua Bangka!” maki Enrico mendongakkan kepala ke atas, seakan sedang berbicara dengan arwah kakeknya.

“Saya tidak mau menikahi Anda, Tuan Enrico. Semakin cepat anda umumkan bahwa kita tidak akan menikah, maka semua menjadi semakin baik. Hidup saya tidak akan terancam lagi,” sahut Lynea menundukkan kepala, kuatir dibentak lagi oleh sang Tuan Muda. 

“Heh! Kurang ajar! Memang kamu siapa bisa menolak aku? Cari mati kamu?”

“Alonzo! Siapa nama kekasih Linen ini?”

“Lynea, Tuan. Bukan Linen," celetuk Lynea kesal. 

“Siapa suruh kamu berbicara? Diam!” bentak Enrico kembali.

“Nona Lynea tidak memiliki kekasih, Tuan. Ia hanya memiliki seorang adik bernama Bryant, yang sedang bekerja di Restoran Be Blessed,” jawab Alonzo cepat.

“Alonzo? Dari mana kamu tahu semua ini?” Lynea geram bercampur heran.

“Dia tahu segalanya. Termasuk yang dia tahu adalah, kamu dan adikmu akan aku lempar ke jalan bila kamu tidak mau menikah denganku!”

“Dia juga tahu kamu memiliki seorang bibi bernama Sybil di kota Antoina. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa dunia ini sepi bila tanpa keluarga. Paham?”

“Intinya, jika kamu menolak aku, hanya kesengsaraan dan kesendirian yang akan kamu alami! Oleh karena itu, tiga bulan lagi kita menikah!” lanjut Enrico menyeringai.

“Tapi, Tuan, sa—”

“Kita menikah tiga bulan lagi! Titik! Kalau kamu terus menolak, maka kamu, adikmu, dan bibimu bisa mengatakannya sendiri pada Fransiscus! Di alam baka sana! Akan aku pastikan kalian bertemu!” ancam Enrico menggebrak kayu dipannya. 

"BERSAMBUNG"

(ON NEXT CHAPTER) :

“Kita menikah dan memiliki anak hanya di atas kertas. Saat warisan cair aku akan memberikan sepuluh persen kepadamu.”

Enrico terlihat santai saa tberbicara memiliki anak hanya di atas kertas. Lynea terkesiap mendengarnya. Hati macam apa yang sedang ia hadapi? 

“Lima puluh persen!” sanggahnya berani. 

“Apa-apaan? Kamu pikir kamu siapa?” bentak Enrico. 

“Aku orang yang akan kamu tiduri lalu mengandung anakmu! Lima puluh persen atau semua ini batal!”

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status