Pagi itu seperti biasa Ananda Kusuma berangkat ke kantornya yang terletak di lantai teratas gedung Mall Cakrawala Indonesia diikuti oleh asisten sekaligus sekretaris pribadinya. Namun, langkah cepatnya itu mendadak terhenti. Dia memandangi poster model iklan mall dan jaringan hotel miliknya yang dipajang di dinding sebelum pintu masuk kantor top managemen.
"Aji, ini kemana poster model cantik yang biasanya? Kok diganti nggak bilang ke saya?" cecar Ananda bernada kesal.
Sedikit syok karena bosnya peduli dengan 'sebuah poster iklan', Aji pun terbata-bata menjawab, "Ma—maaf Pak Nanda. Ehh ... jujur saya kurang tahu kenapa posternya diganti. Mungkin untuk perubahan suasana saja atau alasan lainnya—"
Wajah bosnya tampak mendung di pagi hari yang cerah, itu membuat Aji Prasetyo mendadak berkeringat dingin di sekujur tubuhnya. Dia menunggu instruksi berikutnya seperti apa. CEO Kusuma Mulia Grup memang sulit ditebak karena sifatnya yang introvert dan sedikit moody.
Suara maskulin itu berdentum dengan intonasi naik turun sesuai mood swing. "Tanyakan ke bagian pemasaran dan advertising! Model yang ini saya kurang suka tampangnya angkuh sekalipun ... yaa ... cukup sexy sih—" Dia lalu berdecak kesal sembari meneruskan langkahnya masuk ke ruangan CEO di ujung kantor managemen mall itu.
Aji pun berlari-lari kecil mengikuti langkah lebar bosnya yang bertubuh jangkung itu hingga ia berdiri di hadapan meja kerja Ananda Kusuma. "Apa ada lagi yang bisa saya bantu pagi ini, Pak Nanda?" tanyanya dengan hati-hati.
Tatapan mata Ananda berpindah dari laptop yang terbuka di mejanya ke wajah sekretarisnya itu. Dia pun berkata, "Yang tadi saya suruh apa kamu sudah lupa?!"
'Aduh geblekk mah gue kenapa lupa?!' rutuk Aji dalam hatinya lalu ia menjawab, "Siap, Pak Nanda. Saya segera tanyakan—permisi!" Dengan segera Aji kabur dari hadapan bosnya sebelum pria itu mengamuk atau memecatnya.
Setelah meninggalkan ruangan CEO, Aji pun berlari-lari kecil menuju ke ruang managemen pemasaran dan advertising untuk menanyakan perihal pergantian poster model di samping pintu kantor itu.
Sambil ngos-ngosan Aji pun duduk di kursi yang ada di hadapan meja kepala bagian pemasaran dan advertising.
"Loe ngapain sih, Ji? Kayak habis dikejar setan apa demit aja!" seru Doni Subrata keheranan.
"Tskkk ... gue mau nanya, itu kenapa poster di samping pintu kantor diganti nggak bilang-bilang dulu ke Pak Nanda?!" cecar Aji meluapkan kekesalannya.
Doni malah melongo mendengar pertanyaan rekannya itu. Kemudian ia pun mengerutkan keningnya. "Tumben banget si bos kok kepo masalah remeh beginian sih, Ji?" balasnya.
"Alaa ... jawab aja buruan. Ditunggu Pak Nanda nih!" sahut Aji tak sabar.
Akhirnya Doni pun menceritakan alasan pergantian poster iklan mall dan jaringan hotel milik Kusuma Mulia Indonesia Grup itu. Aji mendengarkan dengan seksama setiap patah kata dari Doni, dia harus menyampaikan selengkapnya ke bosnya setelah ini.
"Pantesan aja, Don. Oke gue paham sekarang. Ya udah, thank you buat penjelasan loe. Gue pamit deh. Bye," ujar Aji buru-buru lalu melesat meninggalkan ruang kerja rekannya itu untuk kembali menghadap bosnya.
Suara ketokan di pintunya terdengar dan Ananda pun berkata, "Masuk!"
Sekretarisnya telah kembali untuk melapor, dia menyuruh Aji duduk di kursi yang ada di hadapannya. "Oke, gimana hasilnya?" ucapnya santai sembari menatap wajah Aji.
"Jadi ... model yang sebelumnya, Maya Angelita itu sudah pensiun jadi model, Pak Nanda. Dia diberhentikan oleh managemen artis yang menaunginya dulu," tutur Aji sebagai pembuka penjelasannya.
Ananda pun berpikir keras kenapa model cantik itu diberhentikan. Terus terang paras gadis itu selain cantik juga memancarkan aura yang menyenangkan. Sorot matanya bukan sexy menggoda melainkan welas asih. Itu yang kerap membuatnya terpesona saat memandangi poster promosi perusahaannya setiap melewati dinding samping pintu kantornya.
Dia pun bertanya, "Apa alasan managemennya memberhentikan Maya Angelita ini? Kamu sudah tanyakan juga apa belum?"
Sesudah menghela napas, Aji pun melanjutkan, "Sudah, Pak Nanda. Mbak Maya ini habis mengalami kejadian naas, dia kecelakaan tertabrak mobil hingga kedua kakinya lumpuh. Maka dari itu dia sudah nggak bisa lagi jadi model."
Kisah model cantik itu sempat membuat Aji turut bersimpati, tetapi dia tidak mengenal wanita itu secara personal. Dia hanya sering melihat sosoknya bersliweran di layar kaca sebagai model iklan atau melihatnya di baliho iklan ibu kota dan juga di outlet-outlet baju serta kosmetik di mall. Sebenarnya Maya Angelita sangat terkenal.
"Aji, cari alamat rumah model itu lalu kirimkan karangan bunga mawar merah muda. Tuliskan di pesannya 'semoga lekas sembuh', tapi jangan sertakan namaku. Buatlah itu kiriman anonim dari penggemar rahasianya!" perintah Ananda Kusuma dengan mendetail kepada sekretaris sekaligus asprinya itu.
Aji menganggukkan kepalanya paham. Dia lalu pamit keluar ruangan untuk mengerjakan perintah bosnya itu. Dia segera berangkat sendiri ke florist yang ada di dekat gedung mall tempatnya bekerja. Segalanya harus detail dan tepat seperti yang diinginkan Pak Nanda.
Dua puluh lima tangkai mawar merah muda cantik yang sedang mekar dipilih dan dirangkai dengan baby breath putih dengan kertas hias putih bermotif hati merah jambu mengelilinginya. Pemilik florist berwajah manis itu bertanya, "Apa karangan bunganya untuk pacarnya Mas?"
"Bukan, Mbak. Ini pesanan bos saya untuk pacarnya!" kelit Aji sembari melemparkan senyum tampannya. Wajahnya malahan merona sendiri. Aji masih jomblo dan juga perjaka ting-ting, jadi dia grogi kalau berinteraksi dengan gadis muda yang cantik.
Usai karangan bunga itu selesai dirangkai dan Aji membeli sebuah kartu ucapan kosong bermotif pemandangan senja di pantai yang isinya dia tulis sesuai pesan dari bosnya, pemuda itu pun membayar lalu berpamitan dengan pemilik florist.
Alamat yang ia dapatkan dari Doni tadi jelas, ia membuka aplikasi gmaps di ponselnya dan dengan sepeda motor matic miliknya, Aji melaju menuju ke rumah Maya Angelita.
Sesuai panduan gmaps Aji pun berhenti di depan gerbang pagar besi rumah yang setinggi kepalanya bercat putih. Dia membuka gerbang besi yang tidak digembok itu sembari membawa karangan bunga cantik itu di tangan kirinya. Kemudian ia menekan tombol bel rumah di dinding samping pintu teras depan.
"TING TONG!"
"Sebentar!" teriak seorang wanita dari arah dalam rumah bertipe sederhana sama seperti perumahan tipe 90/110.
Aji pun sabar berdiri di depan pintu hingga dibukakan dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya berparas keibuan yang cantik menyapanya, "Selamat siang, Mas. Anda mencari siapa ya?"
Aji pun berpura-pura sebagai kurir toko bunga dimana tadi ia membeli karangan bunga untuk Maya. "Siang, Tante. Ehh ... ini saya hanya ingin mengirimkan karangan bunga pesanan pelanggan florist Colour Everywhere. Tujuan penerima atas nama Maya Angelita, apa alamatnya benar di sini?"
"Ohh ... benar, itu puteri saya. Baik, saya terima karangan bunganya. Terima kasih ya, Mas. Apa mau minum dulu?" balas mamanya Maya ramah.
"Saya terusan saja, Tante. Terima kasih. Permisi!" tolak Aji seraya berpamitan lalu bergegas meninggalkan teras rumah berhalaman asri itu.
Nyonya Melita Wahyuni pun mengendikkan bahunya lalu menutup kembali pintu teras rumahnya. Ia membawa karangan bunga mawar merah muda cantik itu ke kamar puterinya seraya berseru, "May, ada kiriman bunga cantik lho buat kamu!" Dia membuka pintu kamar tidur Maya dan melihat puterinya sedang sibuk di depan laptopnya.
Maya pun menoleh ke belakang punggungnya untuk menanggapi mamanya, "Ohh ... cantik sekali bunganya! Dari siapa, Ma?"
"Ada kartu pesannya tuh!" sahut mamanya seraya menyerahkan karangan bunga itu ke tangan Maya.
"Emm ... nggak ada namanya sih. Cuma pesan 'semoga lekas sembuh' aja." Maya pun tertawa satir dengan sebersit rasa pedih di hatinya, dia melanjutkan, "mungkin pengirimnya nggak tahu kalau sakit yang aku derita nggak akan bisa sembuh selamanya, Ma."
Nyonya Melita Wahyuni menahan air matanya mendengar perkataan Maya. Dia memeluk puterinya seraya membelai puncak kepala Maya. "Jangan begitu, May. Berdoalah agar suatu hari kamu bisa sembuh!" ucapnya mencoba menguatkan Maya.
Namun, Maya hanya terdiam membisu, dia sudah mendengar diagnosa dokter dengan jelas. Selamanya ia akan duduk di kursi roda. Kata-kata penghiburan mamanya justru membuat dadanya semakin sesak saja.
"Permisi, Bu. Saya mau mengirim undangan, apa benar ini alamat Maya Angelita?" Seorang pemuda kurir yang sepertinya masih remaja itu mengulurkan sepucuk surat undangan tebal berwarna merah hati dengan nama tujuan dan alamat yang benar kepada Nyonya Melita Wahyuni."Ohh iya, memang benar ini rumah Maya, dia puteri saya. Oke, saya terima ya undangannya, Mas!" jawab Nyonya Melita seraya tersenyum ramah. Kurir pengantar undangan itu pun pamit meninggalkan depan pintu teras. Dia menstarter sepeda motornya yang tadi dia parkir di depan pintu gerbang yang terbuka itu.Kemudian Nyonya Melita menutup pintu teras depan rumahnya dan membaca surat undangan acara pertunangan dengan inisial A dan S. Sebelum menyerahkan surat undangan itu kepada puterinya, ia memutuskan untuk membacanya terlebih dahulu. Decakan kesal meluncur dari mulut wanita paruh baya itu, dia berpikir bahwa yang mengirim undangan pertunangan itu pastilah mantan calon besannya, Nyonya Astrid Wijaya. Janda beranak satu itu adala
Sebenarnya niat Maya datang ke acara pertunangan Andre dan Sherrin hanya untuk memberi ucapan selamat lalu pulang. Dia telah menerima kenyataan bahwa sang mantan terindah sudah bisa move on dengan cepat darinya. Tiga bulan saja cukup untuk berganti tunangan bagi Andre.Blitz kamera wartawan menyerbu sosoknya di atas kursi roda. Mamanya menemaninya dengan mendorongnya dari belakang. "Mbak Maya, apa Mbak sakit hati mengetahui Mas Andre sudah bertunangan lagi?!""Mbak Maya, kapan bisa kembali jadi model lagi?!""Apa Mbak Maya ingin menggagalkan acara pertunangan Andre dan Sherrin malam ini?!"Rentetan pertanyaan yang tumpang tindih dilontarkan oleh mulut-mulut usil wartawan majalah gosip dan infotainment terus dilontarkan kepada Maya Angelita. Namun, gadis di atas kursi roda itu hanya bungkam tanpa satu jawaban pun meluncur dari mulutnya."Ma, bawa Maya ke pelaminan saja ya. Kita kasih Kak Andre selamat lalu pulang!" ujar Maya setengah berteriak melawan suara berisik di sekelilingnya.
Diam-diam Ananda Kusuma menatap kepergian mobil milik hotelnya yang mengantarkan gadis lumpuh yang tadi tercebur di kolam renang dan juga ibundanya pulang ke rumah. Sungguh pertemuan tak terduga baginya karena tadi ia sebenarnya hanya memeriksa event akbar pertunangan artis yang menyewa tempat di hotelnya. Langkahnya terhenti saat hendak meninggalkan venue acara yang tiba-tiba heboh dengan teriakan histeris minta tolong. Namun, herannya tak ada satu orang pun yang tergerak menolong sosok yang tenggelam di kolam renang hotelnya. Ananda sempat merutuk karyawannya yang seharusnya bertanggung jawab di area kolam renang, mereka tidak stand by di posisi tugas seharusnya.Alhasil dia sendiri yang berlari melompat ke dalam air karena cemas dengan kasus tenggelam di kolam renang hotelnya yang bisa mencoreng reputasi hotel bintang 5 miliknya. Namun, ketika melihat sosok gadis yang tenggelam di dasar kolam sedalam 2.5 meter itu, jantung Ananda serasa terpukul. Seraut wajah cantik yang tak akan
Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya."Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya