"Permisi, Bu. Saya mau mengirim undangan, apa benar ini alamat Maya Angelita?" Seorang pemuda kurir yang sepertinya masih remaja itu mengulurkan sepucuk surat undangan tebal berwarna merah hati dengan nama tujuan dan alamat yang benar kepada Nyonya Melita Wahyuni.
"Ohh iya, memang benar ini rumah Maya, dia puteri saya. Oke, saya terima ya undangannya, Mas!" jawab Nyonya Melita seraya tersenyum ramah.
Kurir pengantar undangan itu pun pamit meninggalkan depan pintu teras. Dia menstarter sepeda motornya yang tadi dia parkir di depan pintu gerbang yang terbuka itu.
Kemudian Nyonya Melita menutup pintu teras depan rumahnya dan membaca surat undangan acara pertunangan dengan inisial A dan S. Sebelum menyerahkan surat undangan itu kepada puterinya, ia memutuskan untuk membacanya terlebih dahulu.
Decakan kesal meluncur dari mulut wanita paruh baya itu, dia berpikir bahwa yang mengirim undangan pertunangan itu pastilah mantan calon besannya, Nyonya Astrid Wijaya. Janda beranak satu itu adalah wanita kejam yang bermulut manis di luar saja.
Rupanya dia sudah menemukan calon menantu yang cocok untuk puteranya. Siapa yang tak kenal dengan Andre Cornelius Wijaya? Aktor muda ternama yang filmnya selalu laris manis di bioskop Indonesia. Dan Maya yang sudah bukan top model tidak layak mendampingi Andre lagi setelah menjadi gadis lumpuh.
Calon tunangan Andre itu saingan Maya dulu, Sherrin Arthasena. Mama Maya kenal siapa gadis itu, memang cocok dengan mamanya si Andre, pikirnya. Sama-sama julid dan judes!
Akhirnya dia pun memutuskan untuk tetap menyerahkan undangan itu ke Maya. Dia mengetok pintu kamar maya lalu membukanya.
"May, ada surat undangan buat kamu barusan—kalau nggak mau datang nggakpapa!" ujar Nyonya Melita seraya mengulurkan kertas tebal warna merah hati itu ke hadapan puterinya yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang dengan tumpuan bantal.
Keningnya berkerut karena mamanya sudah mewanti-wanti seperti itu, dia belum membacanya. Maya tetap menerima surat undangan dari tangan mamanya lalu membuka plastik sampulnya. Inisial di depan kertas undangannya A dan S, dia sedikit curiga.
Dan benar ketika Maya membuka halaman di baliknya, mata gadis itu membulat, ia terperangah. Tak sanggup ia menahan bulir-bulir bening itu lolos dari sudut matanya.
Mamanya segera memeluk Maya untuk menenangkan gadis itu. "Kamu nggak perlu datang, May! Abaikan saja undangan itu. Mama yakin ini pasti kerjaan mamanya si Andre, siapa lagi yang setega itu?! Dasar ratu drama!"
Tangis sesenggukan itu masih saja terdengar di dalam kamar yang hening siang itu. Hingga akhirnya Maya berkata, "Aku akan datang untuk memberi Kak Andre ucapan selamat berbahagia karena telah menemukan pasangan hidupnya, Ma."
"Untuk apa—"
Maya memotong pertanyaan mamanya, "Demi persahabatan kami dulu."
"May! Kamu hanya akan menyiksa dirimu sendiri dengan datang ke pesta itu. Percaya Mama—ini hanya cara mamanya Andre untuk membuatmu berhenti mengharapkan puteranya kembali kepadamu!" sergah Nyonya Melita. Dia sudah menjalani kehidupan yang lebih panjang dibanding puterinya yang masih murni jiwanya. Manusia terkadang bisa menjadi begitu kejam kepada sesamanya yang menghalangi jalannya.
Namun, Maya mengangkat tangannya seraya berkata, "Cukup, Ma. Biarkan Maya menyelesaikan kisah cinta yang dulu dengan baik-baik. Kak Andre memang lebih cocok dengan Sherrin yang karirnya sedang melejit."
"Hahaha. Melejit? Itu karena yang terdepan telah tersisihkan. Sherrin jadi ngetop setelah kamu pensiun jadi model, May. Nggak perlu berdebat dengan Mama, itu fakta!" Nyonya Melita bersedekap memandangi puterinya dengan wajah masam, tawanya seolah kering tanpa nada suka cita.
Semenjak Maya lumpuh semua orang dari jagad hiburan seolah lenyap bak ditelan bumi. Managernya, rekan-rekan model dan selebritisnya, wartawan, dan pihak perusahaan yang biasa mengendorse dirinya seolah menganggap dirinya sudah mati seiring karirnya yang habis sebagai model.
"Dunia yang Maya miliki sekarang adalah dunia dongeng khayalan. Maya masih hidup ... dan selama nyawa masih ada di tubuh Maya—biarlah karya yang Maya tinggalkan bisa menghibur anak-anak. Dongeng itu akan menjadi kenangan indah di masa kecil mereka," tutur Maya menceritakan kepada Mamanya apa yang tengah ia kerjakan saat ini.
Mata Nyonya Melita berembun, ia bersyukur puterinya itu tidak patah semangat dalam menjalani hidup saat segalanya gelap di jalan kehidupannya. "May, lakukan apa yang membuatmu bahagia. Mama akan selalu mendukungmu hingga akhir hayat," pesannya sembari menggenggam tangan Maya.
"Makasih, Ma. Hanya itu yang Maya perlu. Oya, dari pihak penerbit buku menghubungi Maya tadi pagi via email. Hari Sabtu besok, mereka akan mengadakan jumpa fans buku anak-anak dan juga sesi story telling. Maya diminta untuk menjadi salah satu bintang tamu yang akan bercerita dongeng untuk anak-anak yang datang ke acara itu, Ma!"
Dengan antusias Maya menceritakan kesibukan barunya. Dunia hiburan sudah membuatnya terbiasa menjadi pusat perhatian orang banyak, dia tidak takut harus tampil di hadapan publik untuk bercerita dongeng anak-anak yang ia tulis sendiri.
***
Akhirnya hari besar yang telah dinanti-nantikan oleh Sherrin Arthasena pun tiba. Takdir seolah berpihak kepadanya, saingan sekaligus rival yang ia benci telah tersingkir tanpa ia harus bersusah payah. Sederet pekerjaan di bidang model yang bonafid lengkap bersama mantan kekasih Maya kini ada dalam genggamannya.
Orang-orang yang dulu selalu membanding-bandingkannya dengan sosok Maya Angelita sudah bungkam. Dan Sherrin bisa melenggang dengan angkuh di hadapan batang hidung mereka. Wanita sempurna yang katanya excelent and perfection itu kini cacat seumur hidup, sungguh disayangkan!
Sherrin tertawa sendiri di depan cermin rias yang memantulkan bayangan dirinya yang cantik paripurna petang ini. Sebentar lagi Andre Cornelius Wijaya, aktor yang tampan dan sukses itu akan menyematkan cincin pertunangan ke jari manisnya. "Good bye, Maya!" ucapnya riang.
Gaun panjang Versace berwarna gold yang menampakkan bahunya serta sebagian besar bagian dadanya itu juga membalut tubuh proporsional Sherrin dengan sempurna, menampilkan lekuk-lekuk nan menggoda dari tubuhnya. Dia berputar di hadapan cermin dan tersenyum puas.
"Wah, cantiknya calon menantuku!" seru suara wanita dari ambang pintu kamar hotel yang digunakan sebagai ruang rias.
Sherrin pun menoleh dan menjawab, "Ehh, Tante Astrid! Kapan datang?"
Nyonya Astrid Wijaya memeluk dan menempelkan pipinya kanan kiri ke calon tunangan puteranya itu. 'Model ngetop yang cocok mendampingi Andre,' batinnya puas.
"Baru—baru aja kok, Sher! Cantik banget kamu malam ini, pasti si Andre ndomblong lihat kamu nanti!" balas Nyonya Astrid dengan mata berbinar menatap Sherrin.
(ndomblong=terbengong-bengong dalam bahasa Jawa)
Mendengar perkataan calon mertuanya, Sherrin pun terkikik. Dia membayangkan wajah kekasihnya yang terbengong-bengong, pastinya lucu dan menggemaskan. Dia lalu berkata, "Tante Astrid, acaranya apa sudah mau mulai ya di bawah?"
"Iya, makanya Tante jemput kamu ke sini. Tante pikir make-up kamu belum kelar tadi kok nggak turun-turun ke venue acara," jawab Nyonya Astrid sembari menggandeng Sherrin dan berjalan keluar dari kamar penthouse hotel bintang 5 itu menuju ke lift.
Acara pesta pertunangan terheboh tahun ini diadakan di Hotel Cakrawala Indonesia yang megah. Dekorasi panggung yang terletak di tepi kolam renang luas berair jernih tampak indah dan meriah. Rangkaian bunga berbagai jenis warna-warni nampak di mana-mana.
Sherrin merasa bangga ketika ia melihat deretan papan ucapan selamat berbahagia terpajang di dinding seberang panggung. Berbagai brand kosmetik beserta banyak perusahaan nasional mengirimkan ucapan selamatnya untuk dirinya dan Andre.
Sesampainya di atas panggung, Sherrin segera disambut hangat oleh calon tunangannya. Andre berdiri dari kursinya lalu mengulurkan tangan kanannya untuk gadis itu teriring senyum yang terkembang di wajah tampannya yang dipuja jutaan kaum Hawa di penjuru negeri ini.
"Lama banget datangnya, Sher! Aku jadi kangen sama kamu, Cantik!" ujar Andre mengerling kepada calon tunangannya.
Sherrin tertawa pelan lalu menggandeng lengan kekasihnya itu. "Biasa cewek 'kan dandannya lama, Mas Andre. Yang penting cantik 'kan?" balasnya.
"Banget—seperti bidadari jatuh dari langit!" rayu Andre dengan tatapan yang memuja.
"Gombaldotcom ihh!" tukas Sherrin sekalipun hatinya berbunga-bunga mendengarnya.
Ketika mereka sedang sibuk berbincang menunggu MC memulai acara pertunangan malam itu, sesosok wanita di atas kursi roda muncul di tempat acara dan membuat kehebohan dari awak media yang hadir meliput acara maha penting di dunia entertainment tahun ini.
Mata Sherrin memicing tak senang ketika ia mengenali seraut wajah cantik nan sendu itu. 'Kenapa lagi si Maya nongol di acara penting gue?! Apa masih nggak rela Andre milih gue jadi tunangannya?' geram Sherrin dalam hatinya.
Sebenarnya niat Maya datang ke acara pertunangan Andre dan Sherrin hanya untuk memberi ucapan selamat lalu pulang. Dia telah menerima kenyataan bahwa sang mantan terindah sudah bisa move on dengan cepat darinya. Tiga bulan saja cukup untuk berganti tunangan bagi Andre.Blitz kamera wartawan menyerbu sosoknya di atas kursi roda. Mamanya menemaninya dengan mendorongnya dari belakang. "Mbak Maya, apa Mbak sakit hati mengetahui Mas Andre sudah bertunangan lagi?!""Mbak Maya, kapan bisa kembali jadi model lagi?!""Apa Mbak Maya ingin menggagalkan acara pertunangan Andre dan Sherrin malam ini?!"Rentetan pertanyaan yang tumpang tindih dilontarkan oleh mulut-mulut usil wartawan majalah gosip dan infotainment terus dilontarkan kepada Maya Angelita. Namun, gadis di atas kursi roda itu hanya bungkam tanpa satu jawaban pun meluncur dari mulutnya."Ma, bawa Maya ke pelaminan saja ya. Kita kasih Kak Andre selamat lalu pulang!" ujar Maya setengah berteriak melawan suara berisik di sekelilingnya.
Diam-diam Ananda Kusuma menatap kepergian mobil milik hotelnya yang mengantarkan gadis lumpuh yang tadi tercebur di kolam renang dan juga ibundanya pulang ke rumah. Sungguh pertemuan tak terduga baginya karena tadi ia sebenarnya hanya memeriksa event akbar pertunangan artis yang menyewa tempat di hotelnya. Langkahnya terhenti saat hendak meninggalkan venue acara yang tiba-tiba heboh dengan teriakan histeris minta tolong. Namun, herannya tak ada satu orang pun yang tergerak menolong sosok yang tenggelam di kolam renang hotelnya. Ananda sempat merutuk karyawannya yang seharusnya bertanggung jawab di area kolam renang, mereka tidak stand by di posisi tugas seharusnya.Alhasil dia sendiri yang berlari melompat ke dalam air karena cemas dengan kasus tenggelam di kolam renang hotelnya yang bisa mencoreng reputasi hotel bintang 5 miliknya. Namun, ketika melihat sosok gadis yang tenggelam di dasar kolam sedalam 2.5 meter itu, jantung Ananda serasa terpukul. Seraut wajah cantik yang tak akan
Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya."Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya
"Oke, aku pulang dulu ya, Maya. Lusa kita lanjutkan fisioterapinya. Tetap semangat ya!" pamit Ananda Kusuma kepada Maya di teras depan rumah berhalaman asri siang itu.Gadis cantik di atas kursi roda itu melambaikan tangannya melepas kepergian perawat barunya yang baik dan sangat perhatian. "Mas Nanda pulangnya hati-hati ya! Nggak usah ngebut," pesan Maya sembari melengkungkan bibirnya untuk tersenyum manis."Pasti. Tenang saja, May! Aku 'kan jago ngepot di jalan raya," jawab Ananda mencandai Maya seraya terkekeh sebelum mengenakan helm standar di kepalanya. Kemudian pria itu melambaikan tangannya ke arah Maya sebelum tancap gas sepeda motor menuju ke rumah keluarga Kusuma. Dia akan berangkat siang ke kantor, tetapi dengan diantar oleh sopir pribadinya. Badannya agak kelelahan setelah melakukan banyak pekerjaan ala rakyat jelata yang dia kesalkan dalam hatinya.Memang naik sepeda motor membuatnya tak terlalu buang waktu dengan kemacetan yang merajalela di ibu kota. Ananda sampai di r