Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya.
"Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.
Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.
Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.
Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas mengunyah banyak di pagi hari dan maminya selalu memaksanya makan dalam porsi besar. Katanya biar cepat gede, padahal menurutnya itu tidak sepenuhnya benar.
"Om, udah ya sarapanku? Mami ambilnya terlalu banyak—" Edward merajuk tak ingin meneruskan lagi suapan kesepuluh yang dia hitung tadi diberikan oleh maminya.
Ananda tertawa berderai menatap keponakannya lalu menatap adik perempuannya, Olivia seraya berkata, "Liv, kamu terlalu memanjakannya. Edu sudah delapan tahun dan dia sudah bisa memutuskan mana yang baik baginya sendiri!"
"Mas Nanda, dia itu kalau nggak diginiin makannya dikit banget. Nanti kalau tumbuh kembangnya terhambat gimana dong?" kelit Olivia seraya meletakkan piring sarapan puteranya di hadapannya.
Kemudian Ananda pun mengusap mulutnya dengan serbet makan, ia mengatakan, "Coba berikutnya biar Edu sarapan sesuai keinginannya dan makan sendiri saja, nggak usah disuapin. Lagian dia tuh sudah umur 8 tahun lho, Liv!"
Saat maminya ingin mendebat pamannya, Edward pun buru-buru berkata, "Om Nanda bener lho Mam. Mulai sekarang Edu mau makan sendiri dan pilih makanan yang aku pengin, oke?"
Dengan enggan Olivia pun mengalah menganggukkan kepalanya kepada putera tunggalnya itu. "Ya sudah, kalian berangkat sekarang aja daripada telat ke acara buku dongeng. Have fun ya Sayangnya Mami!" Dia mengecup kening Edward lalu mengantar mereka bertiga sampai teras depan rumah keluarga Kusuma.
Sebelum menjalankan mobil sedan Ferarri merahnya Nanda membuka kaca jendela mobilnya lalu berpamitan dengan adik perempuannya. "Oliv, aku pergi sama Edu ya! Bye bye," ucapnya melambaikan tangan bersama Edward dari dalam mobil yang juga berkata, "Dadah Mami Sayang! Edu pergi dulu ya."
"Take care ya kalian!" seru Olivia membalas lambaian tangan kakaknya dan Edward di teras lalu menatap kepergian mobil sport merah itu meninggalkan halaman luas depan rumahnya.
Untung saja mereka berdua berangkat pagi karena acara yang awalnya mereka pikir sepi ternyata pengunjungnya membludak.
"Om, kita duduk di kursi deretan depan ya, itu lho ada yang kosong dua—" Edward menunjuk dua buah kursi kosong di baris pertama dari depan panggung.
Sebetulnya dia merasa jengah juga harus berhadapan langsung dengan gadis yang dia sukai diam-diam. Namun, sepertinya kursi di tempat lainnya terlalu jauh ke belakang dan tak nyaman rasanya untuk mengikuti acara mendengarkan story telling dongeng. "Oke, ayo aja!" sahut Nanda mengikuti keponakan lalu duduk di kursi kosong baris terdepan itu.
"Selamat datang di acara jumpa fans dan story telling dongeng anak hari ini. Bersama kita ada Kakak Maya Angelita dan Kakak Andi Baskara. Beri tepuk tangan yuk biar semua semangat mengikuti acara yang seru pagi sampai siang nanti!" Pembawa acara membuka acara dengan antusias di atas panggung disambut dengan tepuk tangan yang membahana di hall Graha Cipta Karya.
Acara selanjutnya adalah pembacaan dongeng karya Maya Angelita, sebuah cerita yang berjudul Lumba-lumba Baik Hati dan Hiu yang Rakus. Semua fans Maya sudah tahu tentang kondisi kaki idola mereka yang lumpuh karena kecelakaan. Bahkan, di youtubes ada video dari orang tua dan anak kecil yang dulu diselamatkan oleh Maya di jalan yang mengatakan bahwa mereka berduka sedalam-dalamnya atas kecelakaan yang dialami Maya Angelita.
Maya menggerakkan kursi rodanya ke tengah panggung lalu berusaha meraih mikrofon yang diletakkan di stand mikrofon. Namun, sayang letaknya susah ia jangkau.
Tiba-tiba seseorang menurunkan mikrofon itu hingga ke posisi yang tepat di hadapan wajah Maya. Lampu sorot yang berasal dari balik sosok tinggi menjulang itu membuat Maya silau hingga ia harus memicingkan matanya untuk melihat seperti apa orang itu.
'Ahh ... tampan,' puji Maya dalam hatinya, dia seperti pernah bertemu dengan pria itu entah kapan dan dimana.
"Apa sudah pas tinggi mikrofonnya, Nona Maya?" tanya pria tampan bersuara husky bass merdu itu sembari bersitatap dengan Maya.
Gugup rasanya ditatap oleh sepasang mata monolid cemerlang itu dengan cara intens yang sulit Maya ungkapkan. Dia pun terbata menjawab, "Ehh—ohh ya ... emm sudah pas kok. Terima kasih ya Mas!"
Senyum geli terkembang di wajah mengesankan itu membuat Maya merona, pipinya terasa menghangat. Pria itu pun berjalan menjauh menuruni tangga dari panggung menuju ke kursinya tadi di samping bocah laki-laki tampan yang duga Maya mungkin putera pria tadi. Wajah kedua laki-laki berbeda generasi itu mirip.
"Selamat pagi, Semuanya. Aku Maya Angelita, apa kabar? Semoga semuanya dalam kondisi sehat dan gembira. Ehh ... kita mulai saja ya pembacaan cerita dongengnya! Di samudera dalam yang dihuni oleh jutaan makhluk dunia bawah air, hiduplah seekor hiu ganas berukuran besar. Giginya banyak ... dan runcing-runcing tajam, ia senang mencari mangsa ikan-ikan yang lebih kecil ukurannya dibanding dirinya—" Maya membacakan karya dengan suara jelas dan mengalun lembut berintonasi yang membuat kisah itu begitu seru dan tak membosankan.
Ananda memerhatikan gadis pendongeng yang cantik itu dengan seksama. Dia membayangkan seandainya sebelum ia tidur ada seorang gadis cantik yang bisa membelai-belai kepalanya sembari menceritakan kisah dongeng yang indah untuknya. 'Sepertinya luar biasa bukan?' batinnya tertarik.
Cara Maya Angelita tertawa serta tersenyum begitu anggun secantik bidadari. Ketika tatapan mereka bertemu sekali lagi .... 'Ohh—sial, kenapa jantungku mendadak berdetak tak beraturan begini?!' rutuk Ananda Kusuma meraba bagian dada kirinya dengan telapak tangan.
Acara itu berjalan dengan sukses, usai Maya bercerita dongeng karangannya. Seisi ruangan bertepuk tangan riuh mengapresiasi penampilannya.
Pendongeng selanjutnya adalah Andi Baskara, pria penulis cerita dongeng anak itu juga membawakan karyanya yang berjudul Gajah yang Pemberani membuat anak-anak terhanyut dalam keseruan kisahnya.
Melihat interaksinya serta bahasa tubuhnya dengan Maya, dalam hatinya Ananda menilai bahwa Andi Baskara berteman dengan gadis itu. Dia mengerutkan alisnya merasakan sedikit kecemburuan.
Seusai sesi story telling, acara selanjutnya adalah penandatanganan buku dan foto bersama penulis idola anak-anak tersebut. Antrean mengular begitu panjang, Edward begitu antusias karena dapat berinteraksi dengan idolanya. Dia ditemani oleh pamannya berdiri pada giliran ketigapuluh dari depan antrean.
"Wah panjang betul yang mau minta tanda tangan, Edu. Serius kamu nggak capek ngantre?" ujar Ananda berdiri bersedekap di sebelah keponakannya yang berdiri membawa buku dongeng karangan Maya Angelita di depan dadanya.
Edward mendongak menatap pamannya sembari menjawab, "Pokoknya Om Nanda harus nemenin aku sampai ketemu Kak Maya!"
Pria itu mengangkat kedua tangannya menyerah. "Oke, kalau begitu tunggulah dengan sabar, Edu!" tukasnya. Kemudian dia pun melayangkan pandangannya kepada gadis pendongeng yang cantik itu sembari bergerak maju selangkah demi selangkah seiring antrean yang mulai terurai di depannya.
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya
"Oke, aku pulang dulu ya, Maya. Lusa kita lanjutkan fisioterapinya. Tetap semangat ya!" pamit Ananda Kusuma kepada Maya di teras depan rumah berhalaman asri siang itu.Gadis cantik di atas kursi roda itu melambaikan tangannya melepas kepergian perawat barunya yang baik dan sangat perhatian. "Mas Nanda pulangnya hati-hati ya! Nggak usah ngebut," pesan Maya sembari melengkungkan bibirnya untuk tersenyum manis."Pasti. Tenang saja, May! Aku 'kan jago ngepot di jalan raya," jawab Ananda mencandai Maya seraya terkekeh sebelum mengenakan helm standar di kepalanya. Kemudian pria itu melambaikan tangannya ke arah Maya sebelum tancap gas sepeda motor menuju ke rumah keluarga Kusuma. Dia akan berangkat siang ke kantor, tetapi dengan diantar oleh sopir pribadinya. Badannya agak kelelahan setelah melakukan banyak pekerjaan ala rakyat jelata yang dia kesalkan dalam hatinya.Memang naik sepeda motor membuatnya tak terlalu buang waktu dengan kemacetan yang merajalela di ibu kota. Ananda sampai di r
Sesaat Aji Prasetyo sampai di kantor managemen Mall Cakrawala Indonesia, sebuah pesan masuk ke inbox ponselnya. Dia duduk di balik meja sekretaris dan membaca isi pesan dari Ipda Purnomo yang tadi memproses laporan kriminal darinya."Pelaku pendorongan korban ke kolam renang sudah teridentifikasi yaitu Melinda Riana, Mas Aji. Terima kasih atas laporannya. Tersangka akan kami jemput di rumahnya untuk diminta keterangannya terkait kasus kriminal tersebut." Isi pesan dari Ipda Purnomo untuknya. Aji pun merasa bahwa ia harus segera melaporkan hasil investigasi kepolisian ini ke bosnya. Maka ia pun bergegas mengetok pintu ruangan CEO."TOK TOK TOK." Ananda sedang sibuk membaca penawaran rekanan bisnis yang menyewa venue di mall miliknya. Namun, ia pun berhenti dan menyuruh tamunya masuk.Dengan tenang Aji duduk di kursi seberang bosnya lalu melapor, "Selamat sore, Pak Nanda. Saya baru saja mendapat kabar dari kepolisian. Emm—pelaku yang mendorong Mbak Maya itu seorang model juga namanya Me
"P—pak ... emm ... sa—saya nggak sengaja itu," ucap Melinda terbata-bata membela dirinya di hadapan bapak komandan polisi yang berkarisma itu.Pria itu tersenyum tipis seraya mendengkus lalu menyahut, "Nggak sengaja itu bisa jadi nyawa orang ilang lho. Kamu sadar nggak, waktu dorong kursi roda itu ke kolam 2.5 meter?"Kepala dengan rambut panjang lebat bergelombang hitam legam bak model iklan shampo itu tertunduk tak berani menatap Kompol Dani Kurniawan. Namun, hal itu justru membuat Pak Dani terkekeh geli. "Coba bilang ke saya, alasan kamu apa hingga melakukan tindakan berbahaya itu, Non?" bujuk Kompol Dani yang perlu mengetahui motif pelaku tindak kriminal di hadapannya.Helaan napas lembut meluncur dari gadis itu diikuti oleh sebuah pengakuan yang mengejutkan. "Saya hanya membantu sahabat saya saja, Pak. Maya itu mantan tunangan Andre yang malam itu bertunangan dengan Sherrin. Dia hadir ke acara itu membuat kehebohan, saya nggak suka ditambah Sherrin memberi kode agar saya mendoro
Saat terbangun di pagi hari Aji memeriksa pesan di inbox ponselnya. Dia membaca pesan yang terkirim semalam dari Ipda Purnomo. Ternyata kasus Maya Angelita telah ditutup dengan jalur damai. Alis Aji berkerut, dia menebak bosnya tidak akan suka bila tahu mengenai hal ini. Pak Nanda itu seorang yang tak bisa membiarkan orang yang membuat kesalahan tidak mendapat hukuman setimpal. Dia pun menghela napas lalu meletakkan ponselnya kembali ke nakas samping tempat tidurnya lalu bergegas mandi. Jam kerjanya akan dimulai 2 jam lagi, dia harus mencari sarapan dan berjibaku dengan lalu lintas ibu kota yang tak ramah untuk sampai ke kantornya di tengah kota.Hari ini Ananda Kusuma libur dari pekerjaan sampingan rahasianya merawat Maya di rumahnya. Besok ia akan menemui gadis cantik yang lumpuh itu lagi untuk memberikan fisioterapi. Namun, pagi ini dia sudah berada di perjalanan ke kantornya dengan mengendarai sedan Ferrari merah kesayangannya."Pesona indah wajahmu mampu mengalihkan duniaku. Tak