Sebenarnya niat Maya datang ke acara pertunangan Andre dan Sherrin hanya untuk memberi ucapan selamat lalu pulang. Dia telah menerima kenyataan bahwa sang mantan terindah sudah bisa move on dengan cepat darinya. Tiga bulan saja cukup untuk berganti tunangan bagi Andre.
Blitz kamera wartawan menyerbu sosoknya di atas kursi roda. Mamanya menemaninya dengan mendorongnya dari belakang.
"Mbak Maya, apa Mbak sakit hati mengetahui Mas Andre sudah bertunangan lagi?!"
"Mbak Maya, kapan bisa kembali jadi model lagi?!"
"Apa Mbak Maya ingin menggagalkan acara pertunangan Andre dan Sherrin malam ini?!"
Rentetan pertanyaan yang tumpang tindih dilontarkan oleh mulut-mulut usil wartawan majalah gosip dan infotainment terus dilontarkan kepada Maya Angelita. Namun, gadis di atas kursi roda itu hanya bungkam tanpa satu jawaban pun meluncur dari mulutnya.
"Ma, bawa Maya ke pelaminan saja ya. Kita kasih Kak Andre selamat lalu pulang!" ujar Maya setengah berteriak melawan suara berisik di sekelilingnya.
"Oke, May. Ayo!" sahut Nyonya Melita Wahyuni lalu ia mendorong kursi roda itu menuju ke panggung memanjang di tepi kolam renang yang luas dan tampaknya dalam itu.
Nyonya Melita sedikit merasa takut tercebur ke kolam karena dia tidak bisa berenang. Sementara Maya yang bisa berenang sedang lumpuh. Dia pun mencoba menepis rasa takutnya dan terus mendorong kursi roda itu ke tempat tujuan mereka.
Di atas panggung pelaminan, Nyonya Astrid tersenyum licik, memang dialah yang mengirimkan undangan acara pertunangan puteranya dengan Sherrin Arthasena untuk Maya.
"Hai, Jeng Melita. Gimana kabarnya? Baik 'kan?" sapa Nyonya Astrid sok ramah kepada mantan besannya.
Dengan senyum terpaksa untuk sekadar membalas basa basi memuakkan dari mamanya Andre, wanita berwajah kalem itu menerima cium pipi kanan kiri mantan besannya seraya menjawab, "Hai juga, Jeng Astrid. Kabar kami baik, terima kasih. Selamat ya untuk calon mantu barunya!"
"Ohh ... terima kasih, semoga mereka langgeng. Oya, Maya apa masih lumpuh? Belum ada tanda dia bisa berjalan lagi ya?" sindir Nyonya Astrid seolah ia bersimpati, padahal hanya ingin membuat Maya malu.
Namun, Maya memilih mendekati Andre dan Sherrin tanpa menganggap penting untuk berbasa-basi dengan wanita berhati ular itu. Dia mengulurkan tangan kanannya ke Andre seraya berkata, "Kak Andre, selamat ya untuk pertunangannya dengan Sherrin."
Tangan Maya digenggam lama sekali oleh Andre yang pikirannya mendadak diserbu kenangan nostalgia masa-masa indahnya bersama gadis di kursi roda itu dulu sebelum kecelakaan. Matanya terasa panas berembun menatap Maya, lidahnya kelu. Ia merasa tak ubahnya seperti 'pengkhianat cinta' yang sempat menjadi judul film layar lebar yang ia bintangi beberapa bulan lalu dan laris manis di pasaran.
"Mas! Kok malah bengong sih?" tegur Sherrin dengan wajah yang tak menyenangkan. Dia dengki sekali kepada Maya sejak dulu. Ini pula malah muncul tiba-tiba di hari bahagianya. 'Mantan ya ... mantan, kenapa wanita sialan ini mesti bikin kacau suasana sih?!' rutuknya dalam hati.
Andre pun tersadar dan buru-buru melepaskan tangan Maya. Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan jengah. "Sorry ya Sher! Sepertinya aku kurang Aaqua aja," kelitnya sembari menyeringai jenaka.
Kemudian Sherrin pun berbicara kepada Maya dengan pedas tentunya, "Hehh ... udah deh, nggak perlu berlagak jadi gadis baik! Mas Andre ini sudah jadi punya gue. Ucapan selamat diterima, mendingan buruan pulang loe, jangan jadi 'party killer' ... paham 'kan maksud gue, May?!"
'Busettt julidnya sedari dulu emang terkenal si Sherrin, belum sembuh juga ternyata!' batin Maya bersitatap tajam dengan tunangan baru mantan kekasihnya itu. Dia lalu menjawab, "Ohh ... memang rencanaku begitu kok. Jangan kuatir, aku sekalian pamit pulang juga. Selamat berbahagia buat kalian berdua! Sampai jumpa."
Karena melihat mamanya masih berbicara dengan Nyonya Astrid maka Maya menjalankan kursi rodanya sendiri menuruni sisi lain panggung pelaminan itu. Melihat hal itu pikiran jahat Sherrin pun bekerja. Ia memberi kode Melinda, teman dekatnya sesama model yang juga iri kepada Maya dulu untuk mendorongnya ke kolam renang.
Ketika Maya turun dari panggung pelaminan, dia kembali diserbu para awak media yang menyorongkan alat perekam portable ke arah wajahnya. Hal itu membuat Maya sedikit kewalahan dan pening kepalanya. Dia tak menyadari bahwa kursi rodanya mengarah ke tepi kolam. Ada kekuatan yang mendorong kursi roda itu selain dirinya.
"BYUURRR!"
Suara ceburan kencang terdengar dan membuat heboh suasana pesta pertunangan Andre dan Sherrin. Tak ada yang mau menolong Maya karena pakaian pasti basah dan lagi kolamnya sedalam 2,5 meter di bagian tengah.
"Tol–tolong!" seru Maya berusaha mengapung ke permukaan meminta pertolongan. Sayangnya kakinya yang lumpuh tak dapat digerakkan hingga membuat badannya seolah terbebani. Tubuh Maya dengan cepat tenggelam ke dasar kolam. Kondisi itu terjadi bermenit-menit tanpa ada yang menolongnya.
Air mata Maya menyatu dengan air kolam renang yang jernih itu. Dia berharap Andre akan segera menolongnya, tetapi itu hanya harapan semu. Perlahan kesadarannya menghilang seiring kadar oksigen dalam paru-paru dan otaknya yang menipis.
Di tepi kolam renang, Nyonya Melita berteriak-teriak seperti orang hilang akal meminta siapapun menolong puterinya yang tenggelam. "Tolong! Tolong ... siapapun ... tolong! MAYAAA!"
Air mata mengalir deras di pipinya melihat tubuh Maya tenggelam lemas di dasar kolam yang sangat dalam itu. Wanita itu terus berteriak agar siapa saja dapat menolong Maya.
Tiba-tiba dari arah belakang Nyonya Melita, sesosok pria berlari kencang lalu terjun ke dalam kolam renang. Seorang pria bertubuh jangkung dengan kemeja putih dan celana panjang krem. Dia menyelam ke dasar kolam lalu menarik tubuh Maya yang lemas serta tak sadarkan diri itu menuju ke tepi kolam renang.
Dengan lengannya yang kokoh, pria itu mengangkat tubuh Maya keluar dari air dibantu oleh petugas sekuriti hotel yang mulai berdatangan bersama penjaga kolam renang yang tadi sedang tidak berada di posnya.
"Ya Tuhan, May ... Maya! Bangun, May!" seru Nyonya Melita panik menepuk-nepuk pipi Maya yang pucat pasi dengan bibir membiru. Dia sangat kuatir nyawa puterinya telah melayang akibat terlambat diselamatkan.
"Tolong menyingkir sebentar, saya perlu memberikan pernapasan buatan!" perintah tegas pria muda yang menyelamatkan Maya itu kepada Nyonya Melita.
Dengan segera mama Maya menyingkir sambil terus mengawasi apa yang dilakukan pria itu. Tekanan di dada dan perut Maya disertai tiupan ke mulut Maya secara bergantian dilakukan berulang kali dan lama. Tak jua ada tanda-tanda kehidupan. Namun, pria itu sepertinya tak mau menyerah.
Air keluar dari mulut Maya saat dada dan perutnya ditekan terus menerus. Akhirnya ...
"Uhuukk!" Suara batuk terdengar sekali lalu berlanjut seolah gadis itu sedang tersedak.
Pria muda tadi menghela napas lega lalu berseru, "Minta handuk!" Setelah itu ia menyerahkan proses selanjutnya ke petugas bagian kolam renang dan melangkah pergi dari tempat itu saat wartawan mulai mengerumuni Maya yang terkapar di tepi kolam renang.
Maya yang masih bingung tak melihat wajah penyelamatnya dengan jelas. Dia hanya teringat rasa kopi bercampur mint bibir kenyal yang berulang kali menempel dan memagutnya tak terhitung berapa kali untuk menghembuskan napas kehidupan kepadanya.
Penanggungjawab kolam renang mencarikan Maya pakaian kering petugas bagian kolam renang untuk dikenakan agar tidak terkena hipotermia. Kemudian memanggilkan mobil fasilitas antar jemput tamu milik hotel bintang 5 itu untuk mengantar Maya dan mamanya pulang.
"Maafkan atas peristiwa tidak mengenakkan ini ya, Bu, Mbak Maya. Tolong jangan tuntut kami, kalau perlu nanti akan ada biaya ganti rugi secara materi dari pihak hotel kalau Anda menghendaki!" ujar pria yang bernama Yoga Indrawan yang membawahi bagian kolam renang itu.
"Tenang, Pak Yoga. Ini murni kecelakaan karena tadi terdorong oleh para wartawan," jawab Maya lalu ia berpamitan sebelum mobil itu melaju mengantarkan dirinya dan Nyonya Melita ke rumah.
Diam-diam Ananda Kusuma menatap kepergian mobil milik hotelnya yang mengantarkan gadis lumpuh yang tadi tercebur di kolam renang dan juga ibundanya pulang ke rumah. Sungguh pertemuan tak terduga baginya karena tadi ia sebenarnya hanya memeriksa event akbar pertunangan artis yang menyewa tempat di hotelnya. Langkahnya terhenti saat hendak meninggalkan venue acara yang tiba-tiba heboh dengan teriakan histeris minta tolong. Namun, herannya tak ada satu orang pun yang tergerak menolong sosok yang tenggelam di kolam renang hotelnya. Ananda sempat merutuk karyawannya yang seharusnya bertanggung jawab di area kolam renang, mereka tidak stand by di posisi tugas seharusnya.Alhasil dia sendiri yang berlari melompat ke dalam air karena cemas dengan kasus tenggelam di kolam renang hotelnya yang bisa mencoreng reputasi hotel bintang 5 miliknya. Namun, ketika melihat sosok gadis yang tenggelam di dasar kolam sedalam 2.5 meter itu, jantung Ananda serasa terpukul. Seraut wajah cantik yang tak akan
Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya."Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya
"Oke, aku pulang dulu ya, Maya. Lusa kita lanjutkan fisioterapinya. Tetap semangat ya!" pamit Ananda Kusuma kepada Maya di teras depan rumah berhalaman asri siang itu.Gadis cantik di atas kursi roda itu melambaikan tangannya melepas kepergian perawat barunya yang baik dan sangat perhatian. "Mas Nanda pulangnya hati-hati ya! Nggak usah ngebut," pesan Maya sembari melengkungkan bibirnya untuk tersenyum manis."Pasti. Tenang saja, May! Aku 'kan jago ngepot di jalan raya," jawab Ananda mencandai Maya seraya terkekeh sebelum mengenakan helm standar di kepalanya. Kemudian pria itu melambaikan tangannya ke arah Maya sebelum tancap gas sepeda motor menuju ke rumah keluarga Kusuma. Dia akan berangkat siang ke kantor, tetapi dengan diantar oleh sopir pribadinya. Badannya agak kelelahan setelah melakukan banyak pekerjaan ala rakyat jelata yang dia kesalkan dalam hatinya.Memang naik sepeda motor membuatnya tak terlalu buang waktu dengan kemacetan yang merajalela di ibu kota. Ananda sampai di r
Sesaat Aji Prasetyo sampai di kantor managemen Mall Cakrawala Indonesia, sebuah pesan masuk ke inbox ponselnya. Dia duduk di balik meja sekretaris dan membaca isi pesan dari Ipda Purnomo yang tadi memproses laporan kriminal darinya."Pelaku pendorongan korban ke kolam renang sudah teridentifikasi yaitu Melinda Riana, Mas Aji. Terima kasih atas laporannya. Tersangka akan kami jemput di rumahnya untuk diminta keterangannya terkait kasus kriminal tersebut." Isi pesan dari Ipda Purnomo untuknya. Aji pun merasa bahwa ia harus segera melaporkan hasil investigasi kepolisian ini ke bosnya. Maka ia pun bergegas mengetok pintu ruangan CEO."TOK TOK TOK." Ananda sedang sibuk membaca penawaran rekanan bisnis yang menyewa venue di mall miliknya. Namun, ia pun berhenti dan menyuruh tamunya masuk.Dengan tenang Aji duduk di kursi seberang bosnya lalu melapor, "Selamat sore, Pak Nanda. Saya baru saja mendapat kabar dari kepolisian. Emm—pelaku yang mendorong Mbak Maya itu seorang model juga namanya Me