Tok tok tok!
Suara ketukan di pukul 9 malam, membuat yang berada di dalam menatap pintu lalu melihat lagi pekerjaan yang ada di layar laptopnya. "Mas! Ini saya!" panggil Safira, yang membuat Dexter bangkit dari tempat tidurnya. Pintu terbuka menampakkan pria tampan itu, yang memakai setelan biasa, berupa kaos juga celana pendek berwarna biru tua. "Ada apa?" Tak lama satu piring nasi goreng, Safira berikan pada pria tampan itu, yang tentu saja membuat Dexter menatap piring itu dengan tak minat. "Ini udah malem, kan kita pulang sore nih mas, jadi saya buat makanan pengganjal perut, karena di kulkas mas gak ada apa-apa jadi saya buat itu aja!" "Sebenarnya aku gak terlalu lapar, tapi makasih," balas. Dexter yang hendak kembali masuk, namun di tahan oleh Safira. "Kenapa lagi?" "Mas mau sarapan apa nanti pagi? Saya juga mau nanya pasar, mau belanja makanan, kasian kulkas mas Dexter, udah bagus gede tapi gak ada isinya." "Ada roti di lemari atas dekat kompor juga selai coklat, kamu gak perlu masak apapun nanti lagi! Oh iya urusan belanja nanti habis pulang dari kantor kita ke supermarket dulu! Kamu paham!" Safira mengangguk pelan, walau ia agak ngelag dengan apa yang pria itu terangkan tapi nanti juga ia akan langsung paham. "Ada lagi yang mau di tanyain?" Kepala wanita itu menggeleng. "Enggak kok mas, saya mau ke bawah lagi, mau tidur.""Hhhmm, jangan sampai kecapean!" ujar Dexter, yang setelahnya benar-benar masuk kedalam kamar, Safira yang melihat itu hanya tersenyum, pria itu tidak senyum saja sudah tampan, apa lagi jika tersenyum? Kenapa dia tidak pernah memperlihatkannya? ..Suara langkah kaki dari arah tangga membuat Safira yang sedang mengelap meja menoleh, terlihat Dexter yang memakai setelan jas biru turun dari atas dengan perlahan, wanita itu tak dapat menghindari pesonanya, apalagi mengingat pria itu begitu tampan. Tangan besar Dexter mengutak-atik layarnya ponselnya dengan mimik serius, lalu dia duduk di kursi makan. "Mas Dexter!" Pria itu menoleh."Masnya mau kopi atau teh?" "Kopi cappucino!" ujar Dexter yang setelahnya kembali menatap layar ponsel. Membuat Safira mengangguk, ada beberapa bungkus kopi di laci bawah yang ia temukan secara tak sengaja, dan isinya memang lebih dengan kopi instan yang siap seduh. Setelah membuatnya, wanita itu meletakkannya tepat di samping tangan Dexter, yang membuat pria itu menatapnya. "Kamu udah mandi?" "Udah, saya bangun dari jam 5 pagi tadi mas, bebersih dulu takut gak keburu, kan sekarang kalau pun mau berangkat saya siap." "Kamu punya pacar?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir Dexter, membuat Safira terdiam berpikir, alisnya sedikit menyatu bersamaan dengan gelombang 3 di kening membuat Dexter sekarang menatapnya khawatir. "Jangan berpikir terlalu keras! Nanti kepalamu sakit lagi!" "Ada kayaknya mas!" balas Safira spontan, saat Dexter mencegahnya berpikir. "Oh ya?" "Tapi dulu, kata ibu saya, saya punya pacar, tapi setelahnya ibu gak bilang apa-apa, mungkin kami putus." Pria itu terdiam sebentar, setelahnya dia memakan roti yang sedari tadi ada di piring depannya dengan cukup rakus, tentu saja hal itu membuat Safira heran. Apa dia membuat kesalahan? "Da-dan mas! Pasti punya pacar dong?! Masa mas udah ganteng kayak gitu belum punya pacar?" tanya Safira yang sedikit gugup, takut salah bicara. Kacamata yang tadinya bertengger di wajahnya, pria itu lepaskan. "Punya." Mendengar hal itu, entah kenapa Safira merasa sakit di hatinya, seakan ada percikan kecil yang mulai tumbuh di hatinya kala, tau Dexter memiliki kekasih. "Apa dia cantik?" Mata Dexter menatap Safira yang membuat gadis itu menunduk sambil mengelap meja, entah kenapa dia grogi melihat tatapan lekat pria itu. Apa mungkin dia memiliki rasa suka. Namun mereka baru bertemu belum lama, rasanya terlalu serakah bila dia menyimpan rasa pada pria tampan itu. "Bagiku dia wanita tercantik di dunia ini, tidak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatiku," balas Dexter yang setelahnya berdiri, lalu berjalan menuju kamar guna bersiap-siap ke kantor. Membuat Safira menatap pria itu dengan tatapan sedih, hatinya sesak mendengar semua ucapan, seperti dia sangat mencintai kekasihnya, entah kenapa Safira merasa iri. Tak lama Dexter kembali kebawa membawa tas hitam yang berisikan laptop juga berkas yang ada di dalam, sontak saja membuat Safira mengambil tas itu untuk membawanya. "Kita langsung ke kantor aja, nanti baju karyawan kamu dapet di sana!"Safira mengangguk tanpa sepatah katapun, mulai sekarang ia harus sadar diri dan menerima kebaikan pria itu yang semata-mata hanya merasa kasihan padanya sebagai teman.Singkat cerita mereka akhirnya sampai di perusahaan itu, gedung bertingkat 20 membuat Safira menatap hingga keatas dengan takjub. Bahkan wanita itu masih tak percaya, kalau gedung tinggi bagus itu, yang ia lihat kala di jalan, sekarang ada di depan matanya dan ini milik pria itu. Karena masih merasa takjub Safira tak sadar kalau pria itu sudah berjalan masuk kedalam, hingga beberapa saat Safira mulai sadar dan tak melihat pria itu dimanapun. Dengan cepat Safira masuk kedalam guna mencari pria itu, karena tas hitam ini masih ada padanya jadi dia harus seger menyerahkannya. Baru masuk kedalam, ruangan yang amat luas seperti lapangan stadion membuat Safira terdiam, dia tak pernah melihat hal seluas ini. Di tempat paling bawah itu hanya ada meja resepsionis dan beberapa sofa di tengah-tengah dekat tangga seperti ini ruang tunggu. Saat Safira hendak bertanya pada Resepsionis yang sedang sibuk menelpon dan satunya tengah mencatat, tiba-tiba tangannya di raih, sehingga membuat wanita itu menoleh.Terlihat wanita paruh baya yang memakai seragam biru, mantapnya dengan wajah tak minat. “Kamu Safira?” Wanita itu hanya mengangguk. “Iya, saya!” “Kamu ikut saya!” ujar wanita itu, namun sekarang gantian Safira yang mencegahnya pergi. “Maaf bu! Saya perlu ngasih ini ke mas Dexter, dia ada di mana ya?” Wanita itu menaikan alisnya heran. “Mas?” “I-iya mas Dexter,” balas Safira yang merasa takut karena pertanyaan itu terdengar di tekan, dan tak percaya. “Tuan muda! Tuan muda Dexter! Harusnya kamu memanggilnya seperti itu di sini! Anak baru tidak tau sopan santun,” ucap wanita itu yang segera berbalik pergi dengan mimik, marah sehingga membuat Safira mengikuti sambil menggaruk kepalanya bingung. Sesampainya di tempat seperti dapur di area paling belakang lantai itu, ia di berikan sepasang baju biru yang sama dengan wanita paruh baya itu. “Pakai itu! Saya adalah kepala OB di sini, nama saya Karima, kamu bisa panggil saya Bu Rima!” Safira memeluk baju itu sambil mengangguk patuh, wanita di depannya ini begitu serius sekali. “Iya Bu.”“Ada beberapa dapur di beberapa lantai, tapi tidak semua. Tugas kamu sama sekali yang lain, memberikan apa yang karyawan butuhkan, pesankan makanan! Buatkan minum! Kadang mereka juga meminta bantuan yang lain, dan juga kebersihan di kantor ini harus bagus! Saya peringatkan kamu jangan malas-malasan!” Safira mengangguk paham, dia agak takut dengan mata tajam itu, bahkan Dexter yang notabenenya juga tak pernah tersenyum tak semengerikan orang di depannya. “Tapi Bu Rima, saya perlu memberikan ini pada Tuan muda!” Karima menatap apa yang di bawa Safira. “Dia berada di lantai paling atas! Kalau kamu mau ke sana tanyakan juga dia mau minum atau makan apa?” Safira kembali mengangguk patuh, dan setelah Wanita bernama Karima itu pergi meninggalkan sambil membawa perlengkapan mengepelnya.Pintu lift terbuka, membuat Safira menatap sekitar sambil keluar, besar saja ini lantai paling atas, tingginya pandangan yang wanita itu lihat, membuat dia menutup mata sebentar agar tidak gemetaran. Ia takut pada ketinggian, setelah merasa tenang, dia berjalan di lorong yang cukup panjang dan hanya ada satu pintu di sana. Dengan hati-hati dia mengetuk pelan. “Permisi Tuan muda!” “Siapa?” tanya seseorang dari dalam, membuat Safira merapihkan pakaiannya guna terlihat rapih. “Ini saya Safira!” “Masuk aja!” Karena mendapatkan lampu hijau, Safira masuk kedalam ruangan milik Dexter, pertama kali masuk terlihat kaca besar dibelakang pria itu, yang menghadap langsung pada pemandangan kota seperti di luar, cat ruangan hanya di dasari putih, dengan garis coklat di bagian bawah. Wanita berumur 24 tahun itu menaruh tas hitam milik Dexter di meja dengan hati-hati, karena isinya berat ia yakin ada barang elektronik di dalamnya. “Ini milik anda, Tuan muda!” Dexter menatap Safira dengan hera
Tok, tok, tok!“Mas Dexter! Ini saya!” ucap Safira yang sekarang berada di depan pintu pria itu, sepanjang jalan sampai ke pintu Safira menatap takjub pada pemandangan kota malam, kalau gelap tak terlalu mengerti jika di lihat. “Masuk aja!” Pintu itu Safira buka, terlihat Dexter masih fokus pada layar monitor besarnya, lalu matanya beralih ke laptop miliknya, seperti pria itu cukup sibuk hingga membuat dia pekerjaan di tempat yang berbeda. “Ada apa?” “Semua OB pada pulang mas!” Kacamata yang bertengger indah di wajahnya, pria itu lepaskan, kadang kala Dexter memakai kacamata jika melihat layar. “Terus kamu mau pulang juga?” “Saya terserah masnya aja, tapi saya gak ada temennya di bawah, dan katanya juga beberapa lantai udah gak ada penghuninya.” “Penghuni? Kamu pikir rumah hantu?” “Hehehe, maksudnya orang-orang gitu mas!” Tak lama Dexter terlihat berdiri, merapihkan beberapa hal juga menutup laptop. “Bantu aku beberes!” Mendengar hal itu Safira segera membantu pria tampan itu,
Pagi harinya, suara masakan membuat Dexter yang baru saja bangun langsung beranjak pergi kebawah guna mengetahui apa yang dimasak wanita itu untuknya. Aroma semerbak masakan membuat perutnya lapar, Dexter tak pernah menyewa pembantu di rumahnya. Kadang kalau dia sedang rajin, dia akan memasak makanan yang ia inginkan. Dan kalau malas, maka roti dengan salai coklat adalah pilihan yang paling menjanjikan. “Masak apa kamu?” Safira yang memakai celemek pink yang tak sengaja ia temukan menoleh pada sang majikan, ia melirik jam yang ada di dapur. Masih jam setengah enam, apa dia terlalu kencang menggoreng masakannya?“Ah ini mas, masak capcay sama ayam goreng, mas mau sarapan?”“Rajin banget kamu,” ucap Dexter yang duduk di kursi, sambil menatap masakan Safira. “Hehehe tangan saya gatel mas, mau langsung masak. Di kampung ibu saya jualan apapun yang ada dan di kreasikan gitu.” Dexter mengangguk, dia segera mengambil piring dan memakan masakan Safira. Wanita yang baru saja membuat wedan
Safira segera keluar setelah memberikan kopi pada Dexter, dan itu membuat Angelina menatap tak percaya padanya. Entah apa yang terjadi barusan, tapi wanita itu seperti tidak mengenali keduanya. “Dexter, apa itu Safira?” Dexter yang hendak meminum kopinya terhenti, udara panas membuat dia meniup air hitam dalam gelas itu. “Seperti yang kamu lihat!” “Tapi kenapa dia tidak mengenaliku? Sombong sekali dia.” “Dia tidak sombong—hanya tidak ingat pada kita.” “Memang apa yang terjadi padanya?” tanya Angelina penasaran. “Amnesia.” Dexter menaruh minuman dan menyalakan laptop guna kembali bekerja, hari ini terlihat dari jadwal banyak pertemuan yang harus ia hadiri, termasuk nanti malam. Angelina terdiam lalu berjalan pergi. “Jangan ganggu dia! Jika kamu melakukan sesuatu yang tidak-tidak, aku tidak akan membiarkanmu berada di sampingku lagi!’ ujar Dexter pada Angelina sebelum wanita itu benar-benar pergi dari ruangannya.Brak! Pintu di tutup dengan keras, membuat Dexter hanya dapat meng
“Apa hubungan kita lebih dari teman?” “Memangnya kamu berharap apa?” Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.” Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!” “Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara. “Laper gak?” “Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini? “Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa. “Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.” Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak cangg
Safira bangun dari tidurnya, kala mendengar suara ketukan pintu, dia pikir jika Dexter sudah pulang, padahal pria itu bilang paling lambat malam nanti atau lusa, tapi kenapa tiba-tiba menjadi pagi. Pintu terbuka lebar, dengan Safira yang mengucek matanya, karena sedikit silau oleh cahaya matahari. "Mas, kok pulangnya cepet banget sih?" "Kamu?!" ucap Seorang wanita yang membuat Safira, melihat kedepannya dengan lebih teliti lagi. Ternyata itu bukan Dexter namun wanita berbibir merah dengan gelang emas banyak tak lupa dengan pakaian yang terlihat mahal juga mencolok itu. "Maaf, ibu siapa ya?" tanya Safira yang tak tau kalau di depannya ini, ibu Dexter. Tiba-tiba wanita itu menarik rambut, Safira dengan cukup kencang, tentu saja hal itu membuat Safira merasa kesakitan dan tak paham. "Aw aduh sakit, Bu." "Dasar jalang sialan, hilang selama bertahun-tahun sekarang kamu balik lagi dengan muka gak tau malu ya?" tanya wanita itu marah dan terus menarik rambut Safira. "Sa-saya salah apa
Suara petir yang tiba-tiba juga kilatannya membuat Safira memeluk tubuhnya dengan takut, dia tak pernah membayangkan akan berjalan tanpa arah tujuan seperti ini. Niat hati ingin membantu ibunya, malah dia yang sekarang butuh di bantu.Mengingat ibunya dia jadi rindu, bagaimana kabar wanita itu? Apa dia baik-baik saja? Suara derasnya hujan tiba-tiba juga tetesan air itu membuat Safira terpaksa berteduh di depan toko yang tutup.Dia melihat keatas langit, dimana bunga api yang menjalar itu membuat langit tampak seperti siang hari, terang, namun setelah kembali gelap. Apa itu yang dinamakan bahagia sesaat, kala ia sudah merasa cukup puas dengan hidup ada saja hal yang membuat semua itu luntur. Air mata menetes begitu saja, bersama dingin malam yang semakin lama semakin menusuk kulitnya. Safira memeluk tubuh sendiri guna menghangatkan badan, ia ingin pulang tapi kemana?Sedangkan uang yang ia pegang sudah habis, untuk makan hari ini. Lalu bagaimana sekarang dan ke depannya? Dia harus me
Matahari nampak begitu cerah bagi sebagian orang, namun bagi pria berumur 19 tahun itu sama sekali tak ada cahaya yang terlihat, hidupnya selalu kosong. Bahkan kala melihat semua anak tahun ajaran baru yang berjejer rapih di lapangan, dia masih merasa kalau di dunia tak pernah ada orang di sana. Saat ini Dexter muda sedang berada di balkon sekolah, telah di lantai tiga dimana seluruh murid kelas 12 berada. Dexter tak pernah tertarik pada acara sekolah, dia cenderung menutup diri dan hanya tau menyibukkan hidup dengan belajar. Banyak piala yang dia dapatkan karena olimpiade atau perlombaan lainnya, itu pun para guru yang selalu menyuruhnya, kalau tidak dia tak akan mau. Sekaleng soda sudah dia tenggak habis, sambil terus menatap ke bawah. Manik matanya tak sengaja mengarahkan pada gadis yang menatap ke sana-kemari dengan mimik polos. "Dor!" ucap Angelina muda, yang mengangetkan Dexter, namun seperti biasa pria itu tak pernah terkejut, malah bersikap santai sambil melempar kaleng d