Share

PART 3 : MENGANGGUK PATUH

Tok tok tok!

Suara ketukan di pukul 9 malam, membuat yang berada di dalam menatap pintu lalu melihat lagi pekerjaan yang ada di layar laptopnya. 

"Mas! Ini saya!" panggil Safira, yang membuat Dexter bangkit dari tempat tidurnya. 

Pintu terbuka menampakkan pria tampan itu, yang memakai setelan biasa, berupa kaos juga celana pendek berwarna biru tua. "Ada apa?" 

Tak lama satu piring nasi goreng, Safira berikan pada pria tampan itu, yang tentu saja membuat Dexter menatap piring itu dengan tak minat. 

"Ini udah malem, kan kita pulang sore nih mas, jadi saya buat makanan pengganjal perut, karena di kulkas mas gak ada apa-apa jadi saya buat itu aja!" 

"Sebenarnya aku gak terlalu lapar, tapi makasih," balas. Dexter yang hendak kembali masuk, namun di tahan oleh Safira. "Kenapa lagi?" 

"Mas mau sarapan apa nanti pagi? Saya juga mau nanya pasar, mau belanja makanan, kasian kulkas mas Dexter, udah bagus gede tapi gak ada isinya." 

"Ada roti di lemari atas dekat kompor juga selai coklat, kamu gak perlu masak apapun nanti lagi! Oh iya urusan belanja nanti habis pulang dari kantor kita ke supermarket dulu! Kamu paham!" 

Safira mengangguk pelan, walau ia agak ngelag dengan apa yang pria itu terangkan tapi nanti juga ia akan langsung paham. 

"Ada lagi yang mau di tanyain?" 

Kepala wanita itu menggeleng. "Enggak kok mas, saya mau ke bawah lagi, mau tidur."

"Hhhmm, jangan sampai kecapean!" ujar Dexter, yang setelahnya benar-benar masuk kedalam kamar, Safira yang melihat itu hanya tersenyum, pria itu tidak senyum saja sudah tampan, apa lagi jika tersenyum? Kenapa dia tidak pernah memperlihatkannya? 

.

.

Suara langkah kaki dari arah tangga membuat Safira yang sedang mengelap meja menoleh, terlihat Dexter yang memakai setelan jas biru turun dari atas dengan perlahan, wanita itu tak dapat menghindari pesonanya, apalagi mengingat pria itu begitu tampan. 

Tangan besar Dexter mengutak-atik layarnya ponselnya dengan mimik serius, lalu dia duduk di kursi makan. 

"Mas Dexter!" 

Pria itu menoleh.

"Masnya mau kopi atau teh?" 

"Kopi cappucino!" ujar Dexter yang setelahnya kembali menatap layar ponsel. Membuat Safira mengangguk, ada beberapa bungkus kopi di laci bawah yang ia temukan secara tak sengaja, dan isinya memang lebih dengan kopi instan yang siap seduh. 

Setelah membuatnya, wanita itu meletakkannya tepat di samping tangan Dexter, yang membuat pria itu menatapnya. "Kamu udah mandi?" 

"Udah, saya bangun dari jam 5 pagi tadi mas, bebersih dulu takut gak keburu, kan sekarang kalau pun mau berangkat saya siap." 

"Kamu punya pacar?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir Dexter, membuat Safira terdiam berpikir, alisnya sedikit menyatu bersamaan dengan gelombang 3 di kening membuat Dexter sekarang menatapnya khawatir. "Jangan berpikir terlalu keras! Nanti kepalamu sakit lagi!" 

"Ada kayaknya mas!" balas Safira spontan, saat Dexter mencegahnya berpikir. 

"Oh ya?" 

"Tapi dulu, kata ibu saya, saya punya pacar, tapi setelahnya ibu gak bilang apa-apa, mungkin kami putus." 

Pria itu terdiam sebentar, setelahnya dia memakan roti yang sedari tadi ada di piring depannya dengan cukup rakus, tentu saja hal itu membuat Safira heran. Apa dia membuat kesalahan? 

"Da-dan mas! Pasti punya pacar dong?! Masa mas udah ganteng kayak gitu belum punya pacar?" tanya Safira yang sedikit gugup, takut salah bicara. 

Kacamata yang tadinya bertengger di wajahnya, pria itu lepaskan. "Punya." 

Mendengar hal itu, entah kenapa Safira merasa sakit di hatinya, seakan ada percikan kecil yang mulai tumbuh di hatinya kala, tau Dexter memiliki kekasih. "Apa dia cantik?" 

Mata Dexter menatap Safira yang membuat gadis itu menunduk sambil mengelap meja, entah kenapa dia grogi melihat tatapan lekat pria itu. Apa mungkin dia memiliki rasa suka. 

Namun mereka baru bertemu belum lama, rasanya terlalu serakah bila dia menyimpan rasa pada pria tampan itu. 

"Bagiku dia wanita tercantik di dunia ini, tidak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatiku," balas Dexter yang setelahnya berdiri, lalu berjalan menuju kamar guna bersiap-siap ke kantor. 

Membuat Safira menatap pria itu dengan tatapan sedih, hatinya sesak mendengar semua ucapan, seperti dia sangat mencintai kekasihnya, entah kenapa Safira merasa iri. 

Tak lama Dexter kembali kebawa membawa tas hitam yang berisikan laptop juga berkas yang ada di dalam, sontak saja membuat Safira mengambil tas itu untuk membawanya. 

"Kita langsung ke kantor aja, nanti baju karyawan kamu dapet di sana!"

Safira mengangguk tanpa sepatah katapun, mulai sekarang ia harus sadar diri dan menerima kebaikan pria itu yang semata-mata hanya merasa kasihan padanya sebagai teman.

Singkat cerita mereka akhirnya sampai di perusahaan itu, gedung bertingkat 20 membuat Safira menatap hingga keatas dengan takjub. 

Bahkan wanita itu masih tak percaya, kalau gedung tinggi bagus itu, yang ia lihat kala di jalan, sekarang ada di depan matanya dan ini milik pria itu. 

Karena masih merasa takjub Safira tak sadar kalau pria itu sudah berjalan masuk kedalam, hingga beberapa saat Safira mulai sadar dan tak melihat pria itu dimanapun. 

Dengan cepat Safira masuk kedalam guna mencari pria itu, karena tas hitam ini masih ada padanya jadi dia harus seger menyerahkannya. 

Baru masuk kedalam, ruangan yang amat luas seperti lapangan stadion membuat Safira terdiam, dia tak pernah melihat hal seluas ini. Di tempat paling bawah itu hanya ada meja resepsionis dan beberapa sofa di tengah-tengah dekat tangga seperti ini ruang tunggu. 

Saat Safira hendak bertanya pada Resepsionis yang sedang sibuk menelpon dan satunya tengah mencatat, tiba-tiba tangannya di raih, sehingga membuat wanita itu menoleh.

Terlihat wanita paruh baya yang memakai seragam biru, mantapnya dengan wajah tak minat. “Kamu Safira?” 

Wanita itu hanya mengangguk. “Iya, saya!” 

“Kamu ikut saya!” ujar wanita itu, namun sekarang gantian Safira yang mencegahnya pergi. “Maaf bu! Saya perlu ngasih ini ke mas Dexter, dia ada di mana ya?” 

Wanita itu menaikan alisnya heran. “Mas?” 

“I-iya mas Dexter,” balas Safira yang merasa takut karena pertanyaan itu terdengar di tekan, dan tak percaya. 

“Tuan muda! Tuan muda Dexter! Harusnya kamu memanggilnya seperti itu di sini! Anak baru tidak tau sopan santun,” ucap wanita itu yang segera berbalik pergi dengan mimik, marah sehingga membuat Safira mengikuti sambil menggaruk kepalanya bingung. 

Sesampainya di tempat seperti dapur di area paling belakang lantai itu, ia di berikan sepasang baju biru yang sama dengan wanita paruh baya itu. “Pakai itu! Saya adalah kepala OB di sini, nama saya Karima, kamu bisa panggil saya Bu Rima!” 

Safira memeluk baju itu sambil mengangguk patuh, wanita di depannya ini begitu serius sekali. “Iya Bu.”

“Ada beberapa dapur di beberapa lantai, tapi tidak semua. Tugas kamu sama sekali yang lain, memberikan apa yang karyawan butuhkan, pesankan makanan! Buatkan minum! Kadang mereka juga meminta bantuan yang lain, dan juga kebersihan di kantor ini harus bagus! Saya peringatkan kamu jangan malas-malasan!” 

Safira mengangguk paham, dia agak takut dengan mata tajam itu, bahkan Dexter yang notabenenya juga tak pernah tersenyum tak semengerikan orang di depannya. “Tapi Bu Rima, saya perlu memberikan ini pada Tuan muda!” 

Karima menatap apa yang di bawa Safira. “Dia berada di lantai paling atas! Kalau kamu mau ke sana tanyakan juga dia mau minum atau makan apa?” 

Safira kembali mengangguk patuh, dan setelah Wanita bernama Karima itu pergi meninggalkan sambil membawa perlengkapan mengepelnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status