Tok, tok, tok!
“Mas Dexter! Ini saya!” ucap Safira yang sekarang berada di depan pintu pria itu, sepanjang jalan sampai ke pintu Safira menatap takjub pada pemandangan kota malam, kalau gelap tak terlalu mengerti jika di lihat. “Masuk aja!” Pintu itu Safira buka, terlihat Dexter masih fokus pada layar monitor besarnya, lalu matanya beralih ke laptop miliknya, seperti pria itu cukup sibuk hingga membuat dia pekerjaan di tempat yang berbeda. “Ada apa?” “Semua OB pada pulang mas!” Kacamata yang bertengger indah di wajahnya, pria itu lepaskan, kadang kala Dexter memakai kacamata jika melihat layar. “Terus kamu mau pulang juga?” “Saya terserah masnya aja, tapi saya gak ada temennya di bawah, dan katanya juga beberapa lantai udah gak ada penghuninya.” “Penghuni? Kamu pikir rumah hantu?” “Hehehe, maksudnya orang-orang gitu mas!” Tak lama Dexter terlihat berdiri, merapihkan beberapa hal juga menutup laptop. “Bantu aku beberes!” Mendengar hal itu Safira segera membantu pria tampan itu, setelah semuanya beres, Safira berinisiatif membawa tas yang berisi hal seperti tadi pagi.“Mau mampir dulu ke supermarket?” tanya Dexter yang kini sedang mematikan layar monitor dan hal lain di mejanya. Safira yang merasa bahan-bahan di rumah kurang segera mengangguk, ia merasa perlu memasak hal yang sehat untuk Dexter. “Iya mas, bahan di kulkas kurang, kali aja kalau mas Dexter libur saya bisa masak yang enak, gak cuma roti sama selai aja!” Tanpa kata satupun Dexter segera berjalan lebih dulu, membuat Safira yang merasa tak ada yang salah segera berpikir guna membeli apa yang ia butuhkan. ..Brokoli hijau, Safira ambil sambil menciuminya, walau ia tau ini masih terlihat segar. Ia takut kalau Dexter tak suka rasanya, jadi dia menciumnya guna mencari yang tidak menyengat juga segar. Sedangkan Dexter mendorong troli sambil melihat wanita di depannya, sedang fokus membeli apa yang dia mau. Baju Safira Sudah ganti, walau tidak mewah baju yang di berikan oleh Dexter terlihat amat cantik di tubuh langsingnya. “Mas doyan ini gak?” tanya Safira yang memberikan kembang kol padanya, terlihat segar juga manis di pandang mata. “Terserah, aku akan memaksa semua masakanmu.” “Mas ini, kalau tidak enak bagaimana?” “Kamu makan saja sendiri!” “Memang mas tidak sayang uang? Inikan uang mas!”“Uangku sudah cukup banyak. Membeli barang-barang kecil ini tidak akan membuatku miskin, lagipula sedekah itu menambah rezeki bukan?” Safira terdiam, entah kenapa dia merasa orang di depannya ini sangat sombong, kalau begitu ia menyesal memilih serius untuk pria itu. “Oh baiklah kalau mas kaya, aku tidak akan segan!” Dexter tak perduli tentang apa yang wanita itu mau lakukan, karena ia ingin pulang guna melanjutkan pekerjaannya. Dan benar saja Safira mengambil satu persatu bahan makanan yang ada di sana tanpa melihat harga, membuat Dexter heran. Hingga satu troli penuh belanja yang dia ambil, membuat Dexter merasa berat. Kala hendak mengambil lagi, pria itu menahan tangan Safira. “Cukup! Kamu mau membeli satu supermarket jika begini.” “Katanya mas gak masalah kalau saya belanja banyak, kenapa takut bangkrut?” tanya Safira dengan tangan melipat di dada, ia hanya kesal usaha tak dihargai. “Aku memang tidak masalah kamu mau membeli apapun, tapi ini sudah penuh, kita ini menghabiskan waktu di kantor bagaimana jika makanan ini tidak muat di kulkas dan tidak ke makan? Bukannya itu sama saja membuang-buang makanan?” Safira terdiam, membuang makanan itu tidak boleh, apalagi mengingat orang di luar sana mungkin kelaparan karena tak ada makanan, sedangkan dia malah ingin menghambur-hamburkan itu semua. “Taro lagi yang tidak butuh! Hanya membeli untuk keperluan kita selama 1 Minggu saja, tidak lebih. Dirumah sayuran ini akan lebih cepat busuk, paham!” ujar Dexter, yang membuat Safira mengangguk patuh. Dengan cepat gadis itu menaruh lagi bahan-bahan yang ia pilih asal. Setelah selesai memiliki, dia memberikan troli itu pada Dexter yang menunggu di dekat kasir. “Sudah mas!” “Sudah?” Safira mengangguk. “Iya mas.” “Gak mau milih yang lain lagi?” “Enggak.” “Kalau begitu, berikan pada kasir! Aku akan membayar semua totalnya lalu kita pulang.” Safira mengangguk lagi, lalu berjalan pergi. Tentu saja perubahan mood itu membuat Dexter menghembuskan nafas kasar. “Sifatnya tidak pernah berubah.” Setelah menjumlahkan semuanya, kasir wanita itu pun bersiap untuk membacakan totalnya. “Semua jadi satu juta tiga ratus lima ribu rupiah, mau cash atau transfer?” Mata Safira tak percaya pada angkat yang wanita itu bacakan, padahal semua sudah terlihat jelas di monitor di depannya. Dexter mengambil kode barcode yang ada di sana. “Sudah saya transfer.” “Baiklah silahkan! terimakasih sudah berbelanja,” ucap kasir itu yang mendorong tas belanjaan mereka, membuat Dexter segera mengambil karena banyak barang yang mereka beli. Setelah keluar dari area itu, Safira mendekati majikannya dengan mimik bersalah. “Mas bagaimana ini?” “Apanya yang bagaimana?” tanya Dexter heran. “Padahal kita cuma berbelanja segini, kenapa totalnya mahal sekali? Tau begitu kita ke pasar saja!” ucap Safira yang merasa panik, takut Dexter marah lagi karena dia sudah menghabiskan banyak uang, apalagi jika Satu troli waktu itu, mungkin hasil akan jadi 5 juta lebih. “Kamu pikir saja, mana ada pasar jam segini! Lagipula di sana kotor, aku benar-benar tidak akan makan jika kamu membelinya di sana.” “Kan di cuci mas, gak bakal kotor lah. Itu juga semua dari tanah kan, sama-sama kotor.” “Tetap saja aku tidak terbiasa, sudah! Lebih baik kamu pikirkan mau masak apa dengan semua ini, jangan sampai ada yang mubazir di rumahku!” “Siap bos!” balas Safira yang menatap sambil bergerak hormat, tentu saja hal itu tak membuat suasana berubah justru menjadi ambigu, pria di sampingnya benar-benar tidak bisa di ajak bercanda. Sesampainya di rumah, Dexter menaruh itu semua di meja makan, lalu setelah dia duduk di sofa guna menghilangkan rasa penatnya, setelah seharian ini hanya duduk di depan laptop. “Mas mau makan?” tanya Safira yang membawa satu lagi tas belanjaan yang tertinggal. “Berikan saja kopi pait, aku harus bekerja lagi hari ini, astaga leherku!” ucap Dexter sambil memijat lehernya, Safira yang paham segera membuatkan itu semua sambil merapihkan barang-barang yang baru saja mereka beli. “Jangan begadang Mulu mas! Gak baik!”“Besok aku ada rapat, jadi harus selesai hari ini.” “Emang mas gak ada yang ngebantuin? Kayaknya capek sendiri banget.” “Ada, tapi dia lagi ngurus hal di luar negri. Jadi terpaksa saya yang ngerjain hal penting.” Safira mengangguk paham, setelah kopi itu jadi Safira memberikannya pada Dexter. Dapur juga ruang keluarga amat dekat, mungkin karena rumah ini tidak terlalu besar. “Mas sakit leher?” “Hhhmm, badanku juga sakit semua. Aku harus olahraga jika begini.” “Masa sakit oleh raga Sih mas? Kalau pegal-pegal itu ya di pijitin!” “Olahraga yoga juga bagus buat perenggangan otot, niat gak pada kaku banget. Lagipula gak ada yang mijitin.” Tangan Safira tiba-tiba menyentuh pundaknya, membuat Dexter menoleh. “Ada apa?” Pijitan pelan wanita itu berikan, membuat Dexter merasa agak nyaman namun juga nyeri kala bagian yang sakitnya di sentuh.“Bagaimana? Enak mas?” Dexter menatap menatap keatas dimana Safira berada, mata sekarang mereka bertemu, tentu saja hal itu membuat detak jantung Safira tak karuan, sepertinya ia familiar dengan rasa ini.Pagi harinya, suara masakan membuat Dexter yang baru saja bangun langsung beranjak pergi kebawah guna mengetahui apa yang dimasak wanita itu untuknya. Aroma semerbak masakan membuat perutnya lapar, Dexter tak pernah menyewa pembantu di rumahnya. Kadang kalau dia sedang rajin, dia akan memasak makanan yang ia inginkan. Dan kalau malas, maka roti dengan salai coklat adalah pilihan yang paling menjanjikan. “Masak apa kamu?” Safira yang memakai celemek pink yang tak sengaja ia temukan menoleh pada sang majikan, ia melirik jam yang ada di dapur. Masih jam setengah enam, apa dia terlalu kencang menggoreng masakannya?“Ah ini mas, masak capcay sama ayam goreng, mas mau sarapan?”“Rajin banget kamu,” ucap Dexter yang duduk di kursi, sambil menatap masakan Safira. “Hehehe tangan saya gatel mas, mau langsung masak. Di kampung ibu saya jualan apapun yang ada dan di kreasikan gitu.” Dexter mengangguk, dia segera mengambil piring dan memakan masakan Safira. Wanita yang baru saja membuat wedan
Safira segera keluar setelah memberikan kopi pada Dexter, dan itu membuat Angelina menatap tak percaya padanya. Entah apa yang terjadi barusan, tapi wanita itu seperti tidak mengenali keduanya. “Dexter, apa itu Safira?” Dexter yang hendak meminum kopinya terhenti, udara panas membuat dia meniup air hitam dalam gelas itu. “Seperti yang kamu lihat!” “Tapi kenapa dia tidak mengenaliku? Sombong sekali dia.” “Dia tidak sombong—hanya tidak ingat pada kita.” “Memang apa yang terjadi padanya?” tanya Angelina penasaran. “Amnesia.” Dexter menaruh minuman dan menyalakan laptop guna kembali bekerja, hari ini terlihat dari jadwal banyak pertemuan yang harus ia hadiri, termasuk nanti malam. Angelina terdiam lalu berjalan pergi. “Jangan ganggu dia! Jika kamu melakukan sesuatu yang tidak-tidak, aku tidak akan membiarkanmu berada di sampingku lagi!’ ujar Dexter pada Angelina sebelum wanita itu benar-benar pergi dari ruangannya.Brak! Pintu di tutup dengan keras, membuat Dexter hanya dapat meng
“Apa hubungan kita lebih dari teman?” “Memangnya kamu berharap apa?” Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.” Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!” “Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara. “Laper gak?” “Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini? “Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa. “Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.” Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak cangg
Safira bangun dari tidurnya, kala mendengar suara ketukan pintu, dia pikir jika Dexter sudah pulang, padahal pria itu bilang paling lambat malam nanti atau lusa, tapi kenapa tiba-tiba menjadi pagi. Pintu terbuka lebar, dengan Safira yang mengucek matanya, karena sedikit silau oleh cahaya matahari. "Mas, kok pulangnya cepet banget sih?" "Kamu?!" ucap Seorang wanita yang membuat Safira, melihat kedepannya dengan lebih teliti lagi. Ternyata itu bukan Dexter namun wanita berbibir merah dengan gelang emas banyak tak lupa dengan pakaian yang terlihat mahal juga mencolok itu. "Maaf, ibu siapa ya?" tanya Safira yang tak tau kalau di depannya ini, ibu Dexter. Tiba-tiba wanita itu menarik rambut, Safira dengan cukup kencang, tentu saja hal itu membuat Safira merasa kesakitan dan tak paham. "Aw aduh sakit, Bu." "Dasar jalang sialan, hilang selama bertahun-tahun sekarang kamu balik lagi dengan muka gak tau malu ya?" tanya wanita itu marah dan terus menarik rambut Safira. "Sa-saya salah apa
Suara petir yang tiba-tiba juga kilatannya membuat Safira memeluk tubuhnya dengan takut, dia tak pernah membayangkan akan berjalan tanpa arah tujuan seperti ini. Niat hati ingin membantu ibunya, malah dia yang sekarang butuh di bantu.Mengingat ibunya dia jadi rindu, bagaimana kabar wanita itu? Apa dia baik-baik saja? Suara derasnya hujan tiba-tiba juga tetesan air itu membuat Safira terpaksa berteduh di depan toko yang tutup.Dia melihat keatas langit, dimana bunga api yang menjalar itu membuat langit tampak seperti siang hari, terang, namun setelah kembali gelap. Apa itu yang dinamakan bahagia sesaat, kala ia sudah merasa cukup puas dengan hidup ada saja hal yang membuat semua itu luntur. Air mata menetes begitu saja, bersama dingin malam yang semakin lama semakin menusuk kulitnya. Safira memeluk tubuh sendiri guna menghangatkan badan, ia ingin pulang tapi kemana?Sedangkan uang yang ia pegang sudah habis, untuk makan hari ini. Lalu bagaimana sekarang dan ke depannya? Dia harus me
Matahari nampak begitu cerah bagi sebagian orang, namun bagi pria berumur 19 tahun itu sama sekali tak ada cahaya yang terlihat, hidupnya selalu kosong. Bahkan kala melihat semua anak tahun ajaran baru yang berjejer rapih di lapangan, dia masih merasa kalau di dunia tak pernah ada orang di sana. Saat ini Dexter muda sedang berada di balkon sekolah, telah di lantai tiga dimana seluruh murid kelas 12 berada. Dexter tak pernah tertarik pada acara sekolah, dia cenderung menutup diri dan hanya tau menyibukkan hidup dengan belajar. Banyak piala yang dia dapatkan karena olimpiade atau perlombaan lainnya, itu pun para guru yang selalu menyuruhnya, kalau tidak dia tak akan mau. Sekaleng soda sudah dia tenggak habis, sambil terus menatap ke bawah. Manik matanya tak sengaja mengarahkan pada gadis yang menatap ke sana-kemari dengan mimik polos. "Dor!" ucap Angelina muda, yang mengangetkan Dexter, namun seperti biasa pria itu tak pernah terkejut, malah bersikap santai sambil melempar kaleng d
Beberapa hari kemudian, setelah di rasa benar-benar sembuh keduanya berangkat ke kantor agak siangan, walau sudah mengontrol dari rumah tapi tetap saja kerjaan nyata menumpuk semua di kantor pusat milik keluarganya.Saat baru masuk ke dalam lantai satu, tubuh Safira di peluk seseorang dari belakang. "Dor!" Dexter yang ada di belakang menoleh termasuk Safira yang kaget. "Aduh Neneng, ngagetin saya aja, kalau saya punya penyakit jantung Gimana?" Neneng teman baru Safira tak berani menjawab karena sang majikan ada di depannya, tepatnya sedang memperhatikan keduanya dengan serius. Karena tak ada jawaban, Safira menatap arah penglihatan teman barunya tersebut."Tuan muda, mau kopi pait atau apa? Nanti saya antar keruangan," ujar Safira, tapi Dexter malah mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. "Beli sesuatu, nanti bagi ke semua karyawan!" ujar Dexter. Mata keduanya menatap tak percaya pada uang yang diberikan oleh bos mereka.Ada sekitar 3 juta di tangannya, tapi mereka bingung denga
Mereka menaruh kue bolu yang sudah mereka bawa, ini baru sebagian sisanya masih banyak lagi, tapi kedua orang itu sudah sangat capek. "Gila rasanya kayak mau mati, udah mirip hajatan aja ini kalau di lihat-lihat," ucap Neneng yang ingin sekali mengangkat tangan ke arah kamera, kalau ada. "Mau gimana lagi? Sisanya masih banyak lagi, untung aja tukang kuenya garcep banget, kalau enggak sampai sore kayak gini." "Gini amat nyari duit, untung aja pakek motor kalau enggak udah gempor nih kaki." "Udah jangan ngeluh Mulu! Gak baik." "Intinya gue minta jatah ini mah," balas Neneng yang membuat Safira menggeleng, dia membawa kue-kue itu ke lantai selanjutnya, nanti mereka akan balik lagi untuk mengambil sisanya. "Kak, beli bunganya kak!" ucap seseorang yang membuat keduanya menoleh. Terlihat beberapa tangkai mawar merah yang sangat cantik di bungkus dengan plastik yang hias sedemikian rupa. "Maaf dek, gak minat bunga," ucap Neneng, tapi Safira menatap kasihan pada gadis muda yang mencond