Share

PART 8 : TAK PERNAH BERUBAH

“Apa hubungan kita lebih dari teman?”

“Memangnya kamu berharap apa?”

Safira hanya menunduk setelahnya. “Maaf mas, saya selama ini sudah sering merepotkan.”

Dexter duduk di sofa yang ada di ruangan itu, kacamata yang terpasang di wajahnya ia lepaskan. “Gak usah di pikirin! Yang terpenting kamu sehat! Dokter bilang kamu minum itu kalau-kalau kepala kamu sakit lagi!”

“Saya janji akan bekerja dengan tekun, demi membalas kebaikan, mas,” ucap Safira dengan penuh yakin, membuat Dexter mengangguk tanpa banyak bicara.

“Laper gak?”

“Sedikit sih mas,” balas Safira yang malu-malu, dia merasa semua kebaikan pria itu pasti ada alasannya, apa mungkin mereka sahabat, jadi pria itu amat baik seperti ini?

“Aku sudah bilang jangan banyak berpikir!” ujar Dexter yang sekarang terlihat, memainkan ponselnya entah sedang apa.

“Habis semua ini kayak teka-teki yang harus di pecahin gitu mas, saya penasaran banget soalnya.”

Mata pria itu sekarang melihat kearahnya, yang membuat Safira merasa agak canggung. Apalagi dengan wajah tampan nan rupawan itu, ia yakin wanita yang melabraknya pasti menyukai pria ini hingga berbuat seperti itu. “K-kenapa mas?”

Dexter menggeleng, tingkah pria itu sulit sekali di artikan, seperti ada rahasia besar yang Dexter sembunyikan darinya, namun tenggorokan seperti terkunci hingga dia tak bisa mengatakan sebenarnya.

“Aku hanya berharap kamu cepat sembuh!” ucap Dexter, yang setelahnya melihat ke ponsel miliknya. “Mau ayam?”

Safira yang merasa sudah mengamini doa yang diberikan pria itu, terlihat berpikir kala Dexter memberikan pertanyaan.

“Boleh deh mas,” balas Safira yang membuat Dexter mengangguk, dokter bilang setelah cairan infusnya habis mereka boleh pulang.

Setelah selesai memesan lewat internet, Dexter menatap Safira yang sedang melihat tangannya, yang lagi-lagi bertengger selang infus. “Aku harus keluar kota selama beberapa hari.”

Wanita itu menatap Dexter heran, kenapa tiba-tiba? “Kapan mas?”

“Mungkin besok, kamu tidak apa-apa sendiri di rumah?” tanya Dexter yang membuat Safira terdiam sebentar, lalu mengangguk tanda setuju.

“Mas biasa kerja keluar kota ya?”

“Iya, tapi tidak sering. Dari jauh juga bisa mengontrol semuanya, hanya aku ingin menengok seseorang.”

“Siapa mas?” tanya Safira penasaran.

“Apa semua harus aku beritahu?” tanya Dexter yang membuat Safira menutup mulutnya rapat, karena hal itu. Pria ini kadang terbuka dan kadang juga membuat penasaran.

.

.

Sebuah mobil hitam terparkir di perkampungan, tepatnya di rumah yang sederhana namun tidak juga buruk. Orang di dalamnya membuka sabuk pengaman, lalu melihat jam. Pukul 10 malam.

Setelah perjalanan jauh akhirnya ia sampai juga, namun hal pertama yang ia lakukan adalah menelpon seseorang. Ada rasa khawatir meninggalkan wanita itu sendiri di rumah, tapi ia juga tak dapat membawanya karena akan repot nantinya.

Tak lama telepon terhubung, Dexter memberikan ponsel lamanya pada Safira, agar ia bisa menghubungi wanita itu. “Hallo mas!”

“Sudah tidur?” tanya Dexter yang mendengar suara serak dari sebrang sana.

“Hhmm, iya mas udah nyampe?”

Mata Dexter melihat bangunan yang ada di sampingnya. “Iya udah.”

“Alhamdulillah kalau gitu, mas jaga kesehatan! Lagian kenapa gak punya supir sih, apalagi ini malem baru nyampe?!” tanya Safira yang sedari tadi merasa khawatir pada keselamatan majikannya itu, dia tak mengira pria itu akan berangkat sendiri.

Walau kerja di perusahaan besar, seperti Dexter sayang sekali mengeluarkan uang sekedar membayar jasa supir, bahkan satpam di rumah ini pun tidak ada.

“Aku lebih suka menyetir sendiri!”

“Tapikan bahaya mas.”

“Justru lebih bahaya kalau yang bawa mobil bukan orang berpengalaman, yang penting aku udah nyampe. Intinya jangan kemana-mana! Mungkin aku pulang besok atau lusa, paham?”

“Iya mas, paham. Ya udah.”

“Hhhmm.”

Telepon Dexter matikan, tangannya beralih ke galeri ponselnya, lalu dia mencari foto lama. Dimana Dexter tersenyum lebar bersama seorang gadis di sampingnya.

Saat hendak mengusap layar ponsel itu, sebuah ketukan di meja, membuat Dexter menoleh. Kaca dari luar tak nampak di dalam membuat pria itu dapat melihat seseorang sedang serius melihat kedalam mobilnya.

Kunci mobil ia buka, dan pintu terbuka membuat wanita paruh baya yang sedang mengintip mobil siapa yang ada di depan rumahnya terkejut.

“Bu! Apa kabar?” tanya Dexter yang membuat wanita itu semakin, syok. Air mata menetes tanpa terasa, dia memegang tubuh Dexter sambil menangis.

“Nak Dexter, hiks!” Tangisan yang keluar dari mulutnya, membuat Dexter menuntut wanita paruh baya itu ke bangku panjang di depan rumahnya. “Kamu apa kabar nak? Sehat aja kan? Baik-baik aja?”

Dexter mengangguk, sehingga wanita itu segera mengelap air matanya dan menatap ke arah mobil. “Safira tidak ikut.”

“Apa dia gak apa-apa?”

“Dia selalu pingsan kalau terlalu banyak mengingat.”

“Ya Allah, padahal ibu udah bilang jangan pergi, tapi anak itu ngeyel banget, tapi ibu seneng kalau dia bareng kamu.”

Dexter mengangguk kembali, ya di depannya ini adalah ibu Safira. Dia menjenguk wanita itu, karena ingin tau kebenarannya.

“Sebenarnya apa yang terjadi sama Safira, Bu? Kenapa dia jadi kayak gitu?”

Wanita itu menggeleng sambil menghembuskan nafas. “Ibu juga gak tau, tapi dia kecelakaan waktu pulang, dan setelah itu gak ingat apa yang terjadi.”

Tangan dengan mengepal kuat, tapi wajahnya masih memasang tampang tenang, walau hatinya amat kesal. “Maaf ya Bu, mungkin karena Dexter, Safira jadi kayak gitu.”

Wanita itu kembali menggeleng. “Enggak, ibu gak menyalahkan siapa-siapa di sini, mungkin takdir Safira memang seperti itu. Ibu cuma minta kamu jaga anak itu! Dia hanya anak polos yang baru mengenal dunia.”

Dexter kembali mengangguk, ibu Safira yang merasa kalau tamunya tak di suguhi apa-apa segera berdiri. “Kamu mau minum, atau makan?”

“Bikin aja nasi goreng, buatan ibu selalu aku mau sejak dulu!”

Wanita paruh baya itu tersenyum. “Iya ya, kamu doyan banget sama nasi goreng ibu, nanti ibu buatkan, tapi kamu nginep atau Gimana?”

“Hhhmm, udah lama aku gak main.”

“Ya udah ibu siapain kamar kamu, ayo masuk!” ujar ibu Safira yang membuat Dexter mengangguk sambil berdiri guna mengambil barang-barangnya.

Rumah itu hanya tembok sederhana, tak besar juga tidak kecil, jika di tanya berapa tahun dia dekat dengan Safira maka Dexter akan menjawab tak lama, namun hanya bersama dua orang itu, dia merasa berada di dalam keluarga.

Mereka tak menyediakan kemewahan yang dia inginkan, namun kehangatan yang mereka berikan membuat dia nyaman. Setelah membawa tas juga hal lain, Dexter masuk kedalam rumah yang beralaskan karpet diatas tanah, sejak dulu tak pernah berubah, namun itu lebih baik dari pada besar megah tapi tak memberikan kebahagiaan yang dia dambakan.

Senyuman sedikit terbit dari bibirnya, kesibukan yang terus menenggelamkan, membuat dia tak pernah keluar dari lingkungan itu setelah kepergian Safira, hingga ia seakan lupa dengan arah dimana rumah ini berada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status