Share

Chapter 6

“Aku akan memberikan apa yang kau mau jika kau patuh padaku.” Pria hidung belang tersebut menggiring Mecca menuju sebuah private room yang disediakan di bar tersebut. Namun, saat berada di ambang pintu, Mecca menghentikan langkahnya seraya memejamkan mata, apakah keputusannya sudah tepat?

Sejenak mematung, Mecca memantapkan hatinya untuk masuk demi mendapatkan uang. Namun, pintu tersebut tiba-tiba tertutup dan tangan Mecca ditarik oleh seseorang dan beralih masuk ke private room lainnya.

“Aku akan menggantikan pria itu,”

“Gyan?” Mecca mengerutkan keningnya melihat rekan kerjanya yang sudah berdiri di hadapannya tersebut. “Apa yang kamu lakukan disini?” sambungnya.

Mecca menghela nafas, lalu duduk di sofa sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Apa mungkin ia akan melayani temannya sendiri, alih-alih client yang tak dikenal. Bingung sekaligus malu membuat Mecca tak bisa berkata-kata.

Gyan yang duduk disamping Mecca pun menarik tangan Mecca. Kedua pasang netra coklat itu pun bertemu dan saling menatap selama beberapa saat. “Sebenarnya, aku tak sudah beberapa kali tidak sengaja mendengar bahwa kamu membutuhkan pekerjaan tambahan. Tapi, aku sama sekali tidak menyangka kamu akan senekat ini.” Gyan memalingkan wajahnya dari wanita yang masih menatap dirinya tersebut.

Tak ada pilihan lain, Mecca pun menceritakan apa yang terjadi di hidupnya sehingga nekat melakukan itu. Mecca tak peduli jika Gyan menganggapnya sebagai wanita yang buruk, toh selama ini ia tak pernah mengatakan bahwa dirinya wanita baik. “Aku tidak ingin dikasihani. Aku hanya menceritakan alasanku,” ujar Mecca setelah berbicara panjang lebar. Ia meremas jari jemari tangannya, berusaha untuk menutupi kegugupannya.

“Aku hanya membutuhkanmu sebagai teman, tidak lebih,” ujar Gyan seraya menyandarkan tubuhnya pada sofa empuk yang mereka duduki. Mecca mengerutkan keningnya mendengar kalimat yang keluar dari mulut rekan kerjanya tersebut. Bukankah mereka berdua sudah berteman sejak mereka bekerja di perusahaan yang sama. 

Gyan menegakkan kembali tubuhnya agar sejajar dengn Mecca, “Aku kesepian. Jadi, temanilah aku. Berapapun tarifmu, aku akan membayarnya,” ujar Gyan berusaha meyakinkan Mecca. Namun, tentu saja Mecca masih belum paham akan apa yang diinginkan oleh pria dengan tubuh jangkung tersebut. 

“Kau bisa mempercayaiku.” Gyan kembali menyandarkan tubuhnya, ia pun pasrah dengan keputusan Mecca. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya sendiri. Sementara itu, Mecca termenung, memikirkan tawaran Gyan. Ia memang butuh pekerjaan, tapi ia tak mau dianggap mengambil keuntungan dan memanfaatkan keadaan. 

Terlalu lama menunggu, Gyan pun mengajak Mecca keluar dari bar tersebut. Gyan ingin merubah suasana agar Mecca bisa berpikir jernih sehingga pembicaraan mereka tidak berhenti di topik yang sama. Dengan mengendarai mobil merah milik Mecca, mereka berdua menuju cafe favorit Gyan. Design cafe yang klasik yang didominasi ornamen kayu membuat suasana tampak tenang dan nyaman.  

Mecca memilih duduk di bangku yang letaknya tepat di samping jendela. Ia sangat senang memandangi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. “Apa yang harus aku lakukan agar aku menjadi ‘teman’ seperti yang kau inginkan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.

“Kau hanya perlu mengikuti kemanapun aku pergi. Kau bisa tinggal di apartemenku atau kembali ke tempatmu sendiri, itu terserah kau,” jelas Gyan sambil memilih menu yang akan ia pesan. “Aku berjanji tidak akan menyentuhmu,” sambungnya setelah ia selesai menentukan menu dan pelayan sudah pergi.

Mecca menatap lekat netra coklat milik rekan kerjanya itu—mencari kebohongan disana Namun, Mecca tak menemukannya, sepertinya Gyan memang tulus ingin membantunya. “Baiklah, aku akan menjadi apapun yang kau mau,” jawab Mecca dengan penuh keyakinan, disambut senyuman hangat dari Gyan. “Tapi, tolong rahasiakan kesepakatan kita berdua dari siapapun,” lanjut Mecca dan Gyan langsung menyetujuinya. Lagipula, gyan membutuhkan Mecca untuk dirinya sendiri, bukan untuk konsumsi publik.

Malam itu, tak banyak yang bisa mereka lakukan, mengingat mereka masih harus bekerja esok hari. Gyan megantar Mecca kembali ke apartemen Hilya. “Jadi, kau tinggal disini?” Gyan menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi tersebut. “Aku numpang di apart Hilya,” jawab Mecca apa adanya.

Saat Gyan pamit pulang, Mecca sempat menawarkan agar Gyan membawa mobilnya, tapi ia memilih untuk naik taksi karena ia harus mengambil mobilnya di depan bar tempat mereka bertemu. Mecca tersenyum tipis menatap kepergian pria dengan hoodie berwarna hitam tersebut.

“Darimana saja kamu?” tanya Hilya saat Mecca baru saja melangkahkan kakinya di dalam apartemen. Gadis itu tengah sibuk dengan laptop di pangkuannya sehingga tidak terlalu memperhatikan raut wajah Mecca. “Aku tadi pulang sebentar.” Mecca langsung masuk ke kamar mandi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari sang sahabat.

Keesokan harinya, akhir pekan selalu menjadi ajang bermalas-malasan bagi para karyawan yang telah bekerja keras selama satu minggu penuh. Tak heran jika Hilya dan juga Mecca masih menikmati mimpi indah mereka masing-masing. Namun, Mecca harus membuka matanya ketika dering ponsel memekakkan telinga.

“Buang saja kalau masih berisik,” celetuk Hilya yang terganggu dengan suara ponsel Mecca. Tak menjawab, Mecca mendudukkan tubuhnya dan meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas. Ia seketika membulatkan mata melihat nama yang tertera di layar benda pipih tersebut.

“Halo, selamat pagi,” sapa Mecca berusaha untuk tetap ramah.

“Apa? Sekarang?” Nada bicara Mecca yang sedikit meninggi membuat Hilya semakin kesal. Hilya menutupi telinganya dengan bantal, lalu berusaha melanjutkan tidurnya.

Setelah menutup panggilan tersebut, Mecca beranjak menuju kamar mandi dan bersiap sesegera mungkin. Ia hanya punya waktu 20 menit untuk menyelesaikan semuanya dan turun ke lobi.

“Selamat pagi, cantik,” sambut pria dengan setelan casual yang tengah senyum sumringah di hadapan Mecca. 

“Kerja sih kerja, Gyan. Tapi, minimal kasih tau dari kemarin jangan dadakan,” dengus Mecca yang berhasil turun tepat waktu dengan dandanan ala kadarnya. Namun, justru memancarkan aura cantik yang natural.

Gyan membawa Mecca masuk ke dalam mobil. Lalu, ia melajukan mobilnya memecah keramaian jalanan ibu kota di pagi hari. Mecca tak bisa menutupi rasa kantuknya, ia beberapa kali menguap dan Gyan pun menyadarinya.

“Tidur aja dulu, perjalanan kita masih panjang.” Gyan mengusap puncak kepala Mecca dengan lembut, tanpa memecah fokusnya dalam mengemudi.

Mecca yang masih kesal dengan Gyan memilih untuk diam dan membuang muka ke arah jendela. Melihat banyaknya kendaraan di sampingnya, Mecca seolah dihipnotis dan tak lama kemudian ia terlelap.

Sementara itu, Mariam yang tengah menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya tampak tak tenang. Meski tak mengatakannya, tapi si kembar tentu tahu hanya dari ekspresi ibundanya.

“Ibu kenapa? Nungguin kakak?” celetuk Matthew yang sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. 

Mariam menghela nafasnya, “Kakak kalian itu sangat tidak patut untuk di contoh. Punya rumah sendiri, bukannya pulang malah nginep di rumah temennya. Kalau begini terus kapan bisa bayar hutang,” keluhnya. 

Matteo dan Matthew saling tatap. Tapi, tak ada salah satu dari mereka pun yang ingin menanggapi ucapan Mariam. Mereka tak ingin menambah panjang obrolan yang menyangkut pautkan sang kakak. Biar bagaimanapun, mereka sudah dewasa dan bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah.

Terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras hingga terasa pintu hampir saja lepas dari tempatnya. Mariam pun bergegas membukakan pintu–meninggalkan si kembar yang masih sarapan.

“Mencari sia… pa?” Mariam tertegun melihat dua pria dengan tubuh atletis dan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.

“Bayar hutangmu!” ucap pria itu. Tak membentak, tapi nada bicaranya sangat mengintimidasi.

“Beri aku waktu satu minggu lagi, Tuan,” pinta Mariam dengan wajah memelas. Si kembar yang mendengar percakapan mereka pun ikut keluar dan berdiri di belakang sang ibu.

“Bayar sekarang juga, atau….”

“Atau apa? Katakan berapa hutangnya biar aku yang bayar.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status