Share

Chapter 3

“Kalau dilihat-lihat, kau sering sekali bersama dia, Mecca. Jangan-jangan, kau selama ini berpacaran dengan dia?” tanya Mariam. Mecca membulatkan mata mendengarnya. Lalu, sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Mariam.

“IBU!” seru si kembar yang juga baru saja kembali dan sempat melihat ketegangan di antara Mariam dan Mecca. Tapi, mereka berdua hanya berdiri mematung, tak berani ikut campur.

Mariam memegangi pipinya yang terasa kebas akibat kerasnya tamparan dari putri sulungnya. “Sekarang bahkan kau sudah berani melawan,” ujarnya seraya menahan kesakitan.

“Itu karena Ibu sudah keterlaluan. Coba saja Ibu bisa sedikit mengontrol ucapan Ibu, hal ini tidak akan terjadi,” kali ini si kembar buka suara dan menyampaikan pendapat sesuai dengan apa yang ia lihat. Cukup sulit berada di tengah ketegangan antara kakak dan ibunya. Mereka tak tahu harus memihak yang mana. Tapi, si kembar bukanlah anak yang ceroboh, ia bisa bersikap netral dan menjadi penengah.

Matthew merangkul pundak Mariam, berusaha menenangkan. Sedangkan Matteo menggenggam erat tangan Mecca yang bergetar setelah menampar Mariam. “Bagaimana rasanya bertengkar dengan duplikat diri sendiri?” sarkas Matteo. 

Matthew membawa sang ibu yang diam membisu, tak mampu menjawab pertanyaan Matteo, menuju ke kamar. Begitupun Matteo yang berusaha menenangkan Mecca dengan dibantu oleh Hilya. “Matteo tahu bahwa Ibu sudah keterlaluan. Tapi, tidak seharusnya Kakak menampar Ibu. Bagaimana pun, Ibu adalah wanita yang sudah melahirkan kita,” ujarnya setelah membawa Mecca duduk di sofa ruang tamu. Sementara itu, Hilya yang menjadi saksi bisu kejadian tersebut tak berani berkomentar. Ia hanya mengusap-usap punggung Mecca, memberikan ketenangan. 

“Kakak mau mengalah dan meminta maaf, kan? Kakak tidak mau masalah ini semakin panjang, kan?” Matteo menggenggam erat tangan Mecca, juga memberikan energi positif kepada sang kakak.

Mecca mengajak Hilya kembali ke apartemennya, tanpa berbicara kepada Matteo. Bukan lari dari masalah, tapi Mecca ingin menenangkan diri sejenak sebelum nantinya ia akan kembali berhadapan dengan sang ibu. Mecca sadar, apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Tak seharusnya ia melayangkan sebuah tamparan kepada Mariam, walau hatinya terluka. Ia merasa gagal menjadi seorang kakak yang notabene adalah penutan bagi adik-adiknya.

Dengan kecepatan sedang, Mecca mengarahkan mobilnya bukan ke apartemen melainkan ke taman yang terletak di tepi danau. Mecca membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikirannya. Hilya yang tahu akan situasi selalu mendampingi kemana pun Mecca pergi. Ia hanya bisa menjadi support system bagi Mecca, tanpa ada hak untuk ikut campur ke dalam masalahnya. “Apa ada yang salah dengan persahabatan kita, Hilya?” tanyanya dengan tatapan sendu, hingga Hilya pun tak sanggup melihatnya.

“Bukan kita yang salah, tapi penilaian mereka. Lagipula, aku masih suka ditusuk, ya, sorry,” jawaban Hilya dengan nada centil dan mendapatkan cubitan di lengan kanannya. Bukannya kesakitan, justru Hilya tertawa terbahak-bahak karena berhasil menghibur Mecca walau candaannya terkesan biasa saja.

Suata dering ponsel membuat mereka kembali hening. Mecca mengeluarkan benda pipih miliknya tersebut dari dalam tas. Lalu, ia berjalan sedikit menjauh dari Hilya. Ia tak bisa menyembunyikan senyum kebahagiannya dan Hilya pun tahu siapa yang menghubungi Mecca.

“Halo, Sayang.” Mecca tersenyum manis ketika layar ponselnya menunjukkan wajah kekasih tercintanya, Bastian.

“Kamu lagi dimana, Sayang? Kenapa belum pulang?” tanya Bastian.

Mecca pun memberi tahu keberadaan dirinya bersama Hilya. Karena mereka melakukan panggilan video, Bastian tak perlu curiga Mecca akan berbohong. Setelah berbincang singkat bersama sang kekasih, Mecca seolah mendapatkan mood booster. Ia kembali menghampiri Hilya yang bersandar di kap mobil dan tiba-tiba berhambur ke pelukan gadis dengan mata sipit tersebut. “Lusa Bastian pulang dari Inggris, Hilya,” ujarnya dalam pelukan Hilya.

Keesokan harinya, Mecca kembali bekerja seperti biasa. Jika tidak, dirinya tak akan mungkin bisa membayar biaya kuliah si kembar. Bukan tanggung jawab Mecca, tapi dengan sukarela Mecca membiayai kedua adik kesayangannya karena ia ingin mereka berdua mendapat pendidikan yang layak dan menjadi orang sukses kelak. 

Mecca bersama rekan satu timnya melakukan meeting untuk membahas kemajuan proyek yang hampir mendekati deadline. Meeting yang dipimpin langsung oleh Ivan berlangsung cukup lama karena ada beberapa detail yang harus mereka benahi. “Kalau kita mengulang pengambilan gambar, mungkin akan menyita lebih banyak waktu, Tuan. Bagaimana kalau….”

“Serahkan padaku. Aku tahu betul apa yang diinginkan klien ini.” Gyan memotong kalimat sang ketua tim, membuat semua orang melihat ke arahnya. “Tapi, Mecca harus membantuku,” sambungnya.

“Semua tim harus membantumu, Gyan. Baiklah, saya serahkan kembali kepada kalian karena deadline proyek ini hanya tersisa dua hari lagi,” ujar Ivan. Setelah itu, ia menutup meeting tersebut dan keluar dari ruang meeting terlebih dahulu.

Setelah kepergian Ivan, semua orang menghela nafas lega. Namun, mereka merasa keberatan dengan ide Gyan yang menurut mereka sangat merepotkan. Mengulang proses dari awal hingga menjadi bahan jadi pasti memakan waktu yang cukup lama. “Aku tidak meminta kalian semua membantu, kalian kerjakan sesuai jatah kalian. Urusan gambar dan editing serahkan padaku dan Mecca,” sarkas Gyan karena melihat teman-temannya sibuk berbisik tentang dirinya.

Tidak ada pilihan lain, Mecca harus membantu Gyan karena nasib pekerjaannya pun sedang ditaruhkan. Mendapat klien yang banyak mau bukan sekali dua kali. Tapi, baru kali ini ada rekan satu tim yang menyarankan untuk mengulang pengambilan gambar. Mecca benar-benar disibukkan dengan pekerjaan tersebut hingga tak terasa bahwa hari sangat cepat berganti.

Beruntung, berkat kerjasama tim yang hebat, pekerjaan mereka selesai tepat waktu tanpa harus lembur untuk kedua kalinya. Setelah menyerahkan semuanya kepada ketua tim, Mecca pamit pulang. Gyan sempat mengajak Mecca untuk makan malam bersama, tapi ditolak dengan dalih sudah ada janji.

Mecca kembali ke apartemen bersama Hilya. Tapi, kali ini ia seperti dikejar-kejar waktu. Belum sempat ia bersantai, ia harus bersiap-siap untuk menuju ke suatu tempat. Hilya hanya tersenyum tipis melihat Mecca, “Dandan yang cantik, kan mau ketemu pacar,” sindirnya.

Setelah hampir satu jam lamanya bersiap, Mecca mengemudikan mobilnya ke sebuah gedung apartemen yang cukup mewah jika di bandingkan dengan apartemen Hilya. Mecca sudah tak asing lagi dengan gedung tersebut karena ia sudah sering sekali berkunjung.

“Selamat datang, Sayang.” Bastian merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Mecca. 

Mecca berhambur ke dalam pelukan Bastian. Lalu, lelaki dengan hair cut mullet tersebut mengecup bibir Mecca. Berawal dengan kecupan, lama kelamaan berubah menjadi lumatan-lumatan lembut. Mecca mulai menikmati permainan tersebut hingga akhirnya ia mendorong tubuh Bastian karena lelaki tersebut menyentuh bagian sensitif di tubuhnya.

“Kenapa, Sayang? Aku sangat merindukanmu.” Bastian kembali mendekat. Tangannya membelai pipi mulus Mecca, lalu turun ke leher dan berhenti di dada yang menonjol. Tatapannya sudah tidak bisa diartikan lagi.

Mecca menggelengkan kepalanya, berusaha menyadarkan sang kekasih. “Aku juga merindukanmu, Sayang. Tapi, aku mohon jangan seperti ini.” Mecca menggenggam tangan Bastian yang berlabuh di dadanya. Lalu, membawa tangan tersebut untuk mengelus wajahnya.

Bastian mendorong tubuh Mecca hingga terjatuh di sofa. “Kau bilang, kau merindukanku. Tapi, kenapa kau menolak ketika aku menginginkanmu?” Bastian mengabsen tubuh Mecca dengan jari jemarinya, membuat Mecca merasa tak nyaman.

“Jangan, Bastian!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status