Share

Chapter 4

Bastian mulai mengabsen tubuh Mecca dengan jari jemarinya, membuat Mecca merasa tak nyaman. Beruntung, Mecca menggunakan celana panjang sehingga tak mudah bagi Bastian untuk membukanya.

“Jangan, Bastian!” Mecca menghentikan tangan Bastian yang hendak menyingkap kaos yang ia kenakan. Tapi, sudah terlambat, perutnya yang putih sudah terlihat dengan jelas. “Bastian, aku mohon….”

Tak mendengarkan, Bastian menarik kembali kaos tersebut hingga tampak gunung kembar yang tertutup bra berwarna beige. Sementara satu tangan menahan kaos agar tidak tertutup kembali, tangan yang lain hendak menyentuh benda kenyal tersebut. “Sudah aku bilang, jangan lakukan itu, Bastian!” Mecca mendorong tubuh Bastian dengan sekuat tenaga hingga ia berhasil lepas. “Kau sepertinya mabuk, lebih baik kita bertemu lain kali,” sambungnya. 

“Aku tidak mabuk, Sayang. Aku benar-benar merindukanmu.” Bastian berjalan mendekati Mecca. Namun, gadis tersebut dengan cepat keluar dari apartemen dan berlari sekuat tenaga.

Dengan nafas yang memburu, Mecca keluar dari apartemen Bastian. Ia bersandar di dalam lift seraya memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Ia tau bahwa keputusannya adalah yang terbaik kali ini. Kenangan-kenangan buruknya kembali muncul di pikirannya. Ia tak menyangka Bastian akan melakukan hal tersebut, pasalnya selama mejalin hubungan dengan Mecca, lelaki itu selalu menjaganya.

Mecca termenung di dalam mobil. Ia memikirkan kembali tentang adegan-adegan tak diinginkan bersama Bastian. “Dua bulan kamu di Inggris, kenapa kamu berubah menjadi seperti ini?” gumamnya.

Sementara itu, Bastian yang kesal karena gagal menikmati tubuh indah sang kekasih pun pergi ke sebuah bar, dimana ia sering berkumpul bersama teman-temannya. “Shit!” Bastian merebut gelas temannya dan meneguknya hingga habis begitu ia datang.

Teman-teman Bastian pun saling pandang melihat betapa buruk penampilan Bastian saat ini. Tapi, bukannya khawatir, mereku justru tertawa terbahak-bahak. Mereka membawa Bastian duduk di tengah-tengah dan bertanya dengan jelas tentang apa yang terjadi pada temannya tersebut.

“Aku gagal, bro,” keluhnya. Lalu, ia meneguk sayu sloki penuh minuman keras di hadapannya. Ia stress jika mengingat kembali bagaimana Mecca menolaknya. Tentu saja teman-teman Bastian semakin senang mendengar kata singkat tersebut.

Salah satu teman Bastian menuangkan kembali minuman keras untuk Bastian. “Jadi, bagaimana? Kau ingin kesempatan kedua atau mengaku kalah?” Ledeknya seraya menahan tawa. 

Bastian kembali meneguk habis minuman di tangannya. “Kau meragukan kemampuanku? Tentu saja aku masih ingin mencoba,” ujarnya dengan nada angkuh. Ia tak mau kalah dengan teman-temannya.

“Kau sudah berhasil bertahan lebih dari tiga bulan, tinggal satu langkah lagi kau akan menang taruhan, Bro.” Teman Bastian yang lain menepuk pundaknya seolah memberi semangat. “Menang taruhan sekaligus menikmati tubuh Mecca,” sambung temannya yang lain. Bastian tersenyum smirk mendengar ucapan teman-temannya yang menggiurkan.

“Oh, jadi selama ini kau menjadikan aku sebagai bahan taruhan, iya?” Bastian dan teman-temannya terkejut ketika seseorang datang dan menggebrak meja.

“Mecca?” Bastian membulatkan matanya melihat sang kekasih telah berdiri di samping mejanya dengan tatapan membunuh. “Aku bisa jelasin,” sambungnya seraya meraih lengan Mecca, namun dengan cepat dihempaskan oleh gadis tersebut.

“Semuanya sudah jelas, Bastian. Kau hanya ingin tubuhku, bukan aku. Mulai sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa-apa dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi.” Mecca meraih gelas yang ada di meja dan menyiramkan isinya ke arah Bastian. Tak bisa lagi menghindar, Bastian basah kuyup dengan minuman keras. 

“Shit!” Bastian menggebrak meja setelah kepergian Mecca. Jika ia putus dengan Mecca, itu artinya Bastian kalah telak dalam taruhan dengan teman-temannya. Ia akan kehilangan sejumlah uang, juga kehilangan kesempatan untuk menyetubuhi sang kekasih.

Mecca keluar dari bar dengan air mata yang membasahi pipinya. Ia tak menyangka bahwa kekasih yang ia cintai ternyata hanya memanfaatkannya. Tak main-main, keperawanan Mecca menjadi bahan taruhan kali ini. Beruntung Mecca tak termakan tipu daya Bastian dan berhasil membongkar semua rahasia busuk lelaki bejat tersebut.

Setelah cukup lama menenangkan diri di dalam mobil, Mecca mengemudikan mobilnya tak tanpa tujuan di malam hari yang sepi. Ingin sekali ia merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh telah menjalin hubungan dengan lelaki seperti Bastian, walau ia tak memberikan apa yang Bastian dambakan selama ini. Kepalanya terasa berat mengingat kejadian di masa lalu yang terulang kembali. “Semua orang menginginkan tubuhku. Kenapa tidak kalian bunuh saja aku?” Mecca tersenyum kecut membayangkan wajah dua pria yang memiliki kelakuan yang sama terhadapnya.

Meskipun berkendara sambil melamun, Mecca masih sempat melihat si kembar di depan sebuah cafe yang baru saja tutup. Ia pun menepikan mobilnya untuk memastikan apa ia lihat. “Matt!” panggilnya. Karena letak mobil yang tak begitu jauh dari area cafe, tentu suara Mecca bisa terdengar dengan jelas.

“Kakak?” Si kembar terkejut melihat sang kakak. Mereka berdua pun sibuk melepas apron yang ia kenakan dan segera mengampiri Mecca di mobil. “Kenapa kakak ada disini?” tanya Matteo tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.

Mecca berusaha menutupi kecurigaannya dengan senyuman. “Selesaikan kegiatan kalian. Kita pulang bersama!” titah Mecca lembut. Ia tak mungkin marah tanpa alasan kepada adik-adik kesayangannya sebelum mendapat kejelasan.

Tak lama menunggu, akhirnya si kembar masuk ke dalam mobil. Mereka berdua masih tak bisa menyembunyikan kegugupannya walau sang kakak tampak santai dan terus tersenyum manis.

“Kak, maafkan kami,” ujar Matteo yang duduk di bangku depan, sementara Matthew yang duduk di bangku tengah tak berani bersuara. “Kami bekerja paruh waktu di cafe,” sambungnya.

Mecca menghela nafas mendengar penjelasan dari adiknya tersebut. “Kenapa kalian melakukannya? Apa uang saku yang kakak berikan kurang?” tanyanya, masih dengan nada lembut. Alih-alih marah, ia justru merasa sangat bersalah kepada si kembar. 

“Tidak, Kak. Uang yang Kakak berikan sudah cukup. Hanya saja… Kami ingin membantu Kakak membayar hutang,” kali ini Matthew yang bersuara. Mecca tak sanggup lagi untuk bersuara mendengarkan niat baik sang adik.

“Itu bukan tanggung jawab kalian, Sayang. Yang harus kalian lakukan hanyalah belajar, bermain, dan bersenang-senang,” jelas Mecca.

“Tapi, kami tidak bisa bersenang-senang diatas penderitaan Kakak,” sahut Matteo dengan cepat disambut senyuman hangat dari Mecca. Matthew memajukan tubuhnya dan mengusap punggung sang kakak seolah memberi tahu bahwa mereka berdua selalu ada untuk Mecca.

“Terima kasih, adik-adik Kakak yang baik. Tapi, tetap atur waktu dengan baik, jangan sampai mengganggu kuliah kalian,” ujar Mecca tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi. 

Setibanya di rumah, tampak Mariam tengah duduk santai di teras rumah dengan ponsel di tangan. Melihat ketiga anaknya kembali, Mariam bangkit dari duduknya. “Kalian kemana saja? Pasti lelah, kan? Cepat mandi dan tidur,” ujarnya kepada si kembar dan mereka pun mengiyakan.

“Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status