Share

Chapter 5

“Bagaimana? Kapan kau akan memberikan uang untuk membayar hutang? Atau kau menerima tawaran menikah dengan Pak Adrian?” Mariam menghadang Mecca yang hendak masuk ke dalam rumah. Tentu saja si kembar bisa mendengar dengan jelas pertanyaan sang ibu kepada kakaknya karena pintu rumah masih terbuka lebar.

Mecca memundurkan langkahnya dan berusaha mengumpulkan ketenangan untuk melawan ibunya. “Secepatnya, pasti Mecca akan berikan uangnya, Bu,” jawabnya dengan lembut. 

“Kapan? Kau bekerja di ruangan ber AC, mengendarai mobil yang nyaman bahkan makan makanan enak setiap hari. Tapi, kenapa kau selalu menunda memberikan uang itu padaku, hah?” Mariam berkacak pinggang seraya menatap tajam ke arah putri sulungnya.

Mecca memutar bola matanya, malas jika ibunya membahas tentang semua fasilitas yang ia miliki. “Apa semua yang aku punya pemberian dari Ibu? Bukan! Semua yang aku punya murni kerja kerasku sendiri sampai aku bisa membiayai kuliah adikku,” jawab Mecca dengan sedikit penekanan, membuat Mariam semakin tak terima.

“Ibu tidak usah khawatir, Ibu pasti akan berhasil membayar hutang tepat waktu tanpa harus menjadikan aku sebagai tumbal,” ujarnya dengan nada angkuh. Lalu, ia berlalu pergi dari rumah yang tak pernah memberikan kenyamanan untuknya.

Dengan menahan air mata, Mecca kembali mengemudikan mobilnya memecah keheningan malam. Hanya apartemen Hilya, satu-satunya tempat yang menjadi tujuan akhir Mecca. Disanalah Mecca bisa menenangkan diri dan bisa sedikit bersantai. Andai ia tak memikirkan hutang, mungkin ia akan membeli apartemennya sendiri.

Hilya mengerutkan keningnya melihat Mecca pulang dengan wajahnya yang tak karuan, seperti ada kemarahan sekaligus kesedihan tergurat disana. Tapi, Hilya tak akan bertanya sebelum Mecca siap untuk bercerita. “Istirahatlah, Mecca. Kau pasti lelah,” titah Hilya.

Dengan langkah gontai, Mecca mendekat dan duduk di tepi ranjang. Air mata yang ia tahan beberapa waktu lalu pun lolos. Ia tak pernah bisa menyembunyikan kesedihan dari Hilya. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Kenapa?” ujar Mecca dengan sesenggukan. Ia menunduk, kedua tangannya menutupi wajah dengan siku yang bertumpu pada lututnya. 

Mecca menceritakan semua hal yang terjadi padanya dalam sekejap. Hidupnya seolah hancur karena membiarkan si kembar bekerja paruh waktu untuk membantunya, begitupun sang ibu yang tak pernah menghargainya. Ditambah lagi, memiliki kekasih berwajah palsu seperti Bastian.

“Aku sudah menduga Bastian pasti memiliki niat terselubung.” Hilya merangkul pundak Mecca, berusaha memberikan kenyamanan dan ketenangan.

Mecca mengusap sisa-sia air mata di pipi dengan kedua tangannya. “Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanyanya. Hilya menghela nafas, mendengar pertanyaan Mecca. “Orang yang sedang jatuh cinta itu buta dan tuli. Mereka tidak akan percaya sebelum mengalaminya sendiri,” sarkasnya.

Meskipun tak menanggapi, tapi Mecca membenarkan ucapan Hilya. Andai Hilya mengatakan keburukab Bastian di awal, tentu Mecca tak akan percyaa karena belum ada bukti yang kuat. Sekarang, apa yang ia alami sudah menjadi bukti otentik dan membuatnya tersadar.

Akhir pekan digunakan Mecca untuk mengembalikan moodnya yang memburuk. Ia bersama Hilya pergi ke sebuah pusat perbelajaan. Tak ada yang ingin ia beli, ia hanya ingin bersenang-senang. Lalu, ia memutuskan untuk menonton bioskop setelah melihat bahwa film yang ia tunggu-tunggu telah tayang. “Sebentar saja, Hilya, ayolah,” bujuk Mecca dengan memasang tampang puppy eyes.

“Kau tahu aku tidak berani menonton film horor, Mecca,” tolak Hilya. Namun, bukan Mecca namanya jika tak berhasil memaksa Hilya untuk mengikuti kemauannya. Mereka berdua pun masuk dan duduk di bangku keempat dari depan, cukup dekat hingga Hilya gemetaran.

Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya lagi. Akan tetapi, Mecca dan Hilya belum ada niat untuk pulang. Mereka masih bersenang-senang dengan membeli beberapa makanan di food court yang berjajar rapi. Kegiatan mereka terhenti ketika ponsel Mecca mendapat notifikasi beruntun. “Si kembar ada di bawah,” ujarnya. Mecca dan Hilya pun menunggu si kembar di dekat eskalator supaya mudah menemukan mereka.

Kini, mereka berempat kembali ke food court. Mecca begitu memanjakan si kembar dan berusaha menuruti apapun yang mereka mau. Namun, si kembar bukan lagi anak kecil. Mereka tahu situasi dan kondisi sehingga hanya meminta secukupnya kepada Mecca.

“Besok kalian ada kelas pagi, kan? Lebih baik kita pulang sekarang,” ajak Mecca dan langsung disetujui oleh si kembar. Ketika Mecca hendak mengantarnya pulang, si kembar menolak dan lebih memilih meminta uang untuk naik taksi. Mereka tak mau melihat kakakny kembalu berdebat dengan sang ibu.

Mereka berpisah di halaman parkir. Mecca dan Hilya menuju mobil sementara si kembar mencari taksi yang akan mengantarnya pulang. Sebagai kakak yang baik, Mecca memastikan bahwa si kembar benar-benar masuk ke dalam taksi sebelum akhirnya ia pulang ke apartemen Hilya.

Akhir pekan berakhir. Kini, sudah saatnya bagi para karyawan untuk kembali bergulat dengan deadline pekerjaan masing-masing. Baru saja Mecca duduk di tempatnya, ia sudah dipanggil untuk menghadap Ivan, sang atasan.

Tanpa ada rasa curiga sedikitpun, Mecca masuk ke ruangan Ivan. Disana, Ivan sudah menunggunya dengan raut wajah yang tak bisa diartikan. “Mecca, kamu tahu bahwa NR corp. adalah karyawan penting, kan?” tanyanya saat Mecca baru saja duduk di hadapannya. Mecca pun menganggukkan kepala, mengiyakan.

Ivan memberikan sebuah ipad kepada Mecca. Dan tanpa menunggu lama, Mecca menerima ipad tersebut dan melihat apa yang berusaha Ivan tunjukkan. Ia terkejut melihat editing design dan juga iklan yang sangat tidak sesuai dengan kemauan klien. “Maaf, Tuan. Ini sepenuhnya kesalahan saya. Saya akan memperbaikinya segera,” ujarnya dengan penuh rasa bersalah.

Ivan mengambil kembali ipad miliknya dari tangan Mecca. “Selesaikan hari ini juga atau tinggalkan posisimu!”

Gawat. Nasibnya sekarang tengah berada di ujung tanduk. Ia harus memperbaiki semua kesalahannya sebelum ia jatuh ke dasar jurang. Mecca kembali ke mejanya dan segera mencari salinan file iklan milik NR corp. Gyan yang melihat kegusaran Mecca pun berniat membantu, tapi diurungkan karena ia memiliki tugas dadakan dari Ivan.

Ponsel Mecca berdering, ia terpaksa menghentikan pekerjaannya untuk menjawab telepon dari sang ibu. “Ada apa, Bu? Mecca sedang bekerja sekarang,” Mecca mematung mendengar sang ibu kembali membahas soal hutang dan ancaman pernikahan. 

Pekerjaan Mecca selesai begitu larut, tapi tidak apa-apa karena ia berhasil memperbaiki kesalahannya tepat waktu. Ia meregangkan tubuhnya yang kaku karena seharian duduk. Lalu, Mecca pulang setelah menyerahkan pekerjaannnya kepada Ivan melalui surel.

Mecca kembali terbayang-bayang tentang hutang yang ibunya katakan. Kebetulan, Mecca melewati sebuah club malam yang sarat akan prostitusi. Nekat, Mecca masuk ke dalam club tersebut dengan pakaian formal dan wajah yang linglung.

“Anak manis, kau butuh bantuan?” Seorang pria matang merangkul pundak Mecca dan memperlihatkan segepok uang kertas di saku jasnya. Mecca pun mengangguk cepat dan menurut saja ketika pria tersebut menuntunnya ke sebuah private room. Namun, belum sempat Mecca masuk, tangannya di tarik oleh seseorang dan masuk ke sebuah private room yang lain.

“Aku akan menggantikan pria itu,”

“Gyan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status