Share

Friend With Benefit
Friend With Benefit
Penulis: Sean Abraham

Chapter 1

“Ibu tidak mau tau, kamu harus menikah dengan Pak Adrian. Kalau tidak….”

“Kalau tidak apa, Bu? Mecca sudah tidak peduli lagi dengan semua yang ibu ucapkan. Apa perjuangan Mecca selama ini masih belum cukup?” Gadis dengan rambut panjang yang tergerai indah itu pun membanting sendoknya di meja makan. Ia beranjak tanpa memedulikan tatapan kemarahan dari sang ibu.

“Kak….”

Suara itu berhasil menghentikan langkah Mecca. Namun, bukan bararti Mecca ingin kembali duduk di meja makan dan melanjutkan sarapan. “Kakak akan berangkat bekerja. Kalian segera lah berangkat ke kampus setelah sarapan nanti. Sampai jumpa.” Gadis itu melanjutkan langkah kakinya keluar dari rumah seraya menahan air mata agar tidak menetes membasahi pipinya. Perjuangannya untuk membantu menghidupi keluarganya ternyata tidak membuat ibunya puas.

“Dasar anak tidak tahu diuntung!” Wanita paruh baya menggebrak meja setelah kepergian Mecca, membuat putra kembarnya terkejut dengan ulahnya. Namun, mereka tak berani bersuara dan memilih untuk menghabiskan makanan masing-masing.

Setelah selesai sarapan, si kembar pun menuruti ucapan sang kakak untuk segera berangkat menuju kampus. “Matthew, apa kamu tidak kasihan dengan kakak?” tanyanya saat mereka dalam mobil.

Matthew mengedikkan bahunya, “Apa yang bisa kita lakukan? Aku rasa ibu sudah keterlaluan, Matteo?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan dan tetap fokus mengemudi.

Sementara itu, Mecca yang baru saja memarkirkan mobilnya masih berdiam diri di dalam. Rasanya ia enggan sekali untuk turun dan beraktifitas, lagipula tak ada yang menghargai kerja kerasnya. Tiba-tiba, kaca mobilnya diketuk dari luar, “Mecca, ayo keluar!” titah seorang gadis sebaya dengannya.

Mecca menghela nafas dan keluar dari mobil dengan wajah masamnya, membuat gadis yang menunggu dirinya pun terheran-heran. “Kamu kenapa?” tanyanya.

“Hilya, apa kau tidak ada info tentang pekerjaan tambahan? Aku sangat membutuhkannya.” Mecca menyandarkan diri pada mobilnya, lesu, seakan tak memiliki kekuatan lagi untuk berjalan.

Tak menjawab, Hilya justru mengerutkan keningnya hingga kedua alisnya hampir saja menyatu. Ia berusaha untuk mengerti keadaan temannya tersebut, tapi sangat sulit dicerna olehnya. “Bukankah gajimu bahkan lebih banyak dariku? Kenapa kamu masih menginginkan pekerjaan tambahan?” Ia memberanikan diri untuk bertanya.

Mecca menundukkan kepalanya hingga sebagian wajahnya tertutup oleh rambutnya. “Hilya, hutang yang seharusnya dibayar oleh lelaki brengsek itu, sekarang harus ditanggung oleh ibuku dan….” 

Belum selesai dengan kalimatnya, bulir bening lolos dari pelupuk mata Mecca. Hilya yang tahu pun segera membawa Mecca kedalam pelukannya seraya mengusap-usap punggung temannya tersebut. “Aku tahu apa yang akan kau ucapkan, Mecca. Sekarang lebih baik kau buang jauh-jauh semua hal tentang keluargamu. Kita pikirkan solusinya nanti,”

Seperti yang Hilya katakan, Mecca berusaha untuk membuang jauh-jauh pikiran tentang ucapan sang ibu yang menyuruhnya untuk menikah dengan rentenir. Akan ada saatnya Mecca memikirkan bagaimana caranya terbebas dari segala macam masalah yang menimpa dirinya. Ia lebih baik melewati tebing curam daripada jalan pintas yang pada akhirnya akan membuatnya kembali menderita.

“Teman-teman semua, Tuan Ivan meminta kita untuk berkumpul di ruang meeting sekarang juga,” ujar seorang wanita dengan setelan formal berwarna abu-abu. 

Karena berbeda divisi dengan Hilya, Mecca harus mandiri kali ini. Ia melakukan latihan nafas beberapa kali untuk menenangkan pikiran dan membuatnya fokus dengan pekerjaan. “Come on, Mecca. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,”

Mecca masuk ke ruang meeting bersama lima orang temannya. Mereka duduk di bangku masing-masing dan menunggu sang atasan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Beberapa dari mereka sibuk menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh sang atasan, sedangkan sebagian yang lain lebih memilih untuk diam, termasuk Mecca.

“Selamat pagi. Apa kabar semuanya?” Sapaan hangat dari pria matang dengan setelan jas berwarna navy membuat Mecca tersenyum sumringah, setidaknya masih ada yang menanyakan kabar walau hanya untuk basa-basi. Pandangan Mecca tertuju pada seorang pria tampan yang berdiri di belakang Ivan, wajahnya tampak tak asing baginya.

“Baiklah, semuanya, saya akan memperkenalkan teman baru kalian, Gyanamurthy. Dia akan membantu kalian dengan photography,” ujar Ivan dengan penuh kesenangan.

“Panggil saja Gyan. Salam kenal, semuanya,” sahut pria dengan wajah blasteran tersebut.

Setelah sesi perkenalan antar teman, mereka kembali ke meja masing-masing untuk melanjutkan pekerjaan. Kali ini, Mecca memiliki tugas khusus menjadi pemandu ‘office tour’ untuk Gyan yang notabene adalah karyawan baru. Berkeliling bersama Gyan membuat Mecca bisa melepas semua beban pikirannya. Dengan wajah cueknya, ternyata Gyan orang yang asyik diajak bercanda. Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan ‘Don’t judge a book by this cover’.

Pantry adalah tempat terakhir yang mereka datangi. Karena Gyan tak pernah membuat kopi sendiri sebelumnya, ia pun meminta Mecca untuk mengajarinya. “Kalau kau masih belum yakin, aku bisa sekalian membuatkanmu setiap hari,” tawar Mecca melihat Gyan yang sibuk melihat-lihat tombol yang ada di mesin pembuat kopi.

“Lebih baik aku ikut denganmu saat membuat kopi, supaya aku juga bisa belajar,” jawab Gyan. Lalu, Mereka berdua pun kembali ke meja kerja masing-masing.

Mecca begitu sibuk dengan pekerjaan yang sudah mendekati waktu deadline hingga melewatkan makan siang. Karena terlalu fokus dengan pekerjaannya tersebut, tak terasa sudah saatnya bagi Mecca untuk pulang.

“Mecca!”

Suara nyaring tersebut berhasil membuat Mecca mengalihkan pandangannya dari layar komputer. “Kau sudah selesai?” tanyanya dengan wajah yang begitu lesu.

Hilya berdiri tepat di belakang Mecca dan melihat layar komputer yang menyibukkan sahabatnya tersebut. Memastikan bahwa pekerjaan Mecca selesai, Hilya segera mengajak sang sahabat untuk pulang. Hilya tentu tahu kebiasaan buruk Mecca yang selalu melewatkan makan siang ketika sibuk dikejar deadline. “Kau bisa menginap di apartemenku malam ini,” tawarnya. Tak pikir panjang, Mecca pun mengiyakan tawaran Hilya.

Sementara itu, Mariam sibuk berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan berkacak pinggang. Wajahnya gusar seolah memikirkan sesuatu yang penting. “Selamat malam, ibu,” ujar si kembar yang baru saja kembali dari kampus. Tak mendapat jawaban dari sang ibu, Matthew pun berdiri tepat di hadapan Mariam. “Astaga, kau membuat ibu terkejut!” seru Marian yang hampir saja menabrak putranya. Sedangkan Matteo hanya memperhatikan dari jauh.

“Apa yang ibu pikirkan? Bagaimana keadaan ayah?” tanya Matteo to the point. Mendengar pertanyaan tersebut, Mariam berhenti mondar mandir dan memilih duduk di sofa, diikuti oleh si kembar. “Ayah kalian sudah jauh lebih baik sekarang. Tapi, ibu sedang memikirkan bagaimana caranya agar Mecca mau menikah dengan Pak Adrian.” Mariam menatap putra kembarnya secara bergantian, seolah meminta saran kepada mereka.

Matteo beranjak dari duduknya, “Matt, sudah saatnya untuk tidur. Besok kita ada kelas pagi,” ajaknya. Matthew yang tahu maksud dari saudara kembarnya pun menurut saja. 

“Hei, kalian mau kemana? Tidakkah kalian akan membantu ibu membujuk Mecca?” teriak Mariam melihat putra kembarnya meninggalkan dirinya sendiri di ruang tamu. “Ibu pikirkan sendiri saja, kami sudah terlalu lelah memikirkan pelajaran,” jawab Matthew. Mariam mendengus kesal mendengar jawaban Matthew.

Malam yang gelap dan suasana yang tenang di apartemen Hilya membuat Mecca bisa istirahat dengan nyaman. Rasa lelah yang melanda, membuat Mecca tertidur lebih cepat dari biasanya. 

“Jangan!”

“Tolong, lepaskan aku!”

“Jangan lakukan itu, aku mohon,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status