Share

Chapter 2

“Tidak ada siapapun disini, Mecca.” Jari jemari yang terasa sedikit kasar sibuk mengekspos wajah cantik Mecca.

Mecca menutup matanya rapat-rapat. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Tubuhnya di tindih sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri. “Lepaskan aku!” pintanya yang mulai tak berdaya.

Pria tersebut tak mendengarkan ucapan Mecca. Kini, tangan nakalnya mulai bergerilya di tubuh mungil Mecca. “Anak baik harus nurut, Mecca. Aku ini ayahmu, bukan?” bisiknya tepat di telinga Mecca, membuat Mecca bergirik ngeri.

“Kamu bukan ayahku! Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mengakui pria bejat sepertimu sebagai ayahku.” Mecca berusaha mendorong tubuh pria tersebut sekuat tenaga. Merasakan sesuatu yang menonjol tepat di perutnya, membuat Mecca semakin gusar. Namun, semakin Mecca berontak, Franky semakin menggila. Tangannya berhasil menyibakkan rok yang Mecca kenakan sehingga apa yang ia inginkan tereskpos dengan jelas.

“Jangan!”

“Tolong, lepaskan aku!”

“Jangan lakukan itu, aku mohon,”

Bulir bening lolos begitu saja dari pelupuk mata Mecca yang masih tertutup rapat. “Mecca, bangun!” tepukan lembut di pipinya berhasil membuat Mecca segera tersadar dan membuka mata.

“Hilya, aku mimpi buruk lagi.” Mecca beranjak duduk dan memeluk sang sahabat dengan erat. Hilya mengusap punggung Mecca dengan penuh kasih sayang, memberi ketenangan dan juga kekuatan. 

Pikiran Mecca kembali kacau karena mimpi yang mengingatkan pada situasi buruk yang pernah terjadi di hidupnya. Seseorang sempat memberi saran agar Mecca pergi ke psikiater, tapi Mecca tak mengindahkan karena ia merasa bisa mengatasinya sendiri. Akan tetapi, hingga saat ini ia masih terus terbayang-bayang. Badannya tengah duduk menatap komputer, tapi entah jiwanya ada dimana.

Gyan yang baru saja tiba pun mengerutkan keningnya melihat Mecca melamun di pagi hari. Lama ia menatap gadis itu hingga seseorang memanggil namanya. “Baik, Tuan Ivan. Saya akan segera kesana.” Gyan meletakkan tas miliknya di atas meja sementara dirinya pergi menemui Tuan Ivan di ruangannya, meninggalkan rasa penasaran tentang Mecca.

“Papamu baru saja menghubungiku.” Ivan duduk di tepi meja kerjanya dengan tangan yang disilangkan di depan dadanya. “Kenapa kamu memilih pekerjaan ini, alih-alih menjadi pewaris?” sambungnya.

Gyan duduk di sofa seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Tidak ada notifikasi apapun. Kalau beliau menginginkanku, kenapa tidak menghubungiku, Paman?” pria dengan hidung mancung tersebut tersenyum smirk.

Ivan menghela nafasnya melihat sikap Gyan yang begitu angkuh. “Kamu tahu, apa yang kamu lakukan sekarang menyulitkanku, Gyan?” ujar Ivan.

Tak menjawab, Gyan hanya sibuk dengan ponsel di tangannya. Ia terlalu malas untuk membahas sesuatu yang tidak penting baginya di awal hari. “Aku tidak minat berebut kekuasaan dengan saudara tiriku.” Gyan beranjak dari duduknya tanpa mengalihkan pandangannya dari beda pipih yang ia pegang. “Paman tenang saja. Aku akan bekerja dengan baik dan tidak menimbulkan masalah apapun,” sambungnya. Lalu, ia keluar dari ruangan Ivan dan kembali ke meja kerjanya.

“Kau pikir, dengan begini kau terbebas dari semua masalah? Mustahil, anak muda.” Ivan menggelengkan kepalanya seraya menatap punggung Gyan dari sela-sela kaca ruangannya.

Mecca hampir saja melewatkan makan siang jika Gyan tak mengingatkannya. Sempat menolak, tapi Gyan berhasil membuat Mecca setuju untuk makan siang bersamanya. Mereka berdua pun menuju cafe yang jaraknya paling dekat dengan kantor untuk menghemat waktu. Tak disangka, mereka bertemu dengan Hilya di cafe tersebut. Mecca pun mengajak Hilya untuk bergabung dan tentu saja Hilya tak menolak.

“Jadi, kamu fotografer baru di bagian periklanan?” tanya Hilya basa-basi. Gyan hanya menganggukkan kepala, mengiyakan. 

“Tapi, bukankah mereka itu punya….”

Belum sempat Hilya melanjutkan ucapannya, makanan pesanan mereka pun datang. “Cepat makan! Jangan terlalu banyak bicara!” titah Mecca.

Mereka bertiga pun menikmati makan siang dengan diselingi obrolan-obrolan tak tentu arah. Mecca senang memiliki teman yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Ia tak pernah tahu, apa jadinya jika tak memiliki teman seperti Hilya khususnya. Ia juga bahagia mendapat teman baru yang begitu baik dan memerhatikan dirinya.

Jam istirahat sudah hampir berakhir, artinya mereka harus segera kembali ke kantor sebelum terlambat. Akan tetapi, memilih cafe terdekat pun tak membuat mereka bisa kembali tepat waktu. Jalanan yang cukup padat di jam makan siang berhasil menjebak mereka bertiga. Hilya yang awalnya berangkat bersama temannya dengan mengendarai motor pun menyesal telah ikut Mecca dan Gyan dengan mobil.

“Kalian baru kembali? Sudah jam berapa ini?” Ivan yang kebetulan baru saja keluar dari lift basemen pun terkejut melihat karyawannya yang masih berkeliaran. Hilya tak berani menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya karena merasa bersalah.

“Maaf, Tuan. Jalanan cukup padat sehingga kami terlambat kembali ke kantor,” ujar Mecca mewakili kedua temannya. Ivan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Lalu, ia menghela nafas melihat ketiga karyawan yang berdiri tepat di hadapannya. “Kembalilah bekerja! Jangan menyia-nyiakan waktu. Aku harus pergi sekarang,” ujar Ivan sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan mereka bertiga. Ucapan terima kasih dari ketiganya pun terdengar cukup nyaring, tapi Ivan hanya bisa menjawab dengan lambaian tangan.

Kepergian Ivan, tak membuat kinerja para karyawan mengendur, begitupun Mecca. Setelah besenda gurau dengan kedua temannya, Mecca bisa melupakan tentang mimpinya dan seperti memiliki kekuatan tambahan untuk bekerja. “Mecca, kau ada acara besok?” tanya Gyan dengan berbisik. Ia takut menganggu teman yang lain karena pertanyaannya pun tak ada hubungannya dengan pekerjaan.

“Tidak, memangnya kenapa?” tanya Mecca balik. Namun, Gyan tak menjawab. Ia justru mengedipkan salah satu matanya ke arah Mecca. Lalu, menghilang begitu saja dari hadapan gadis tersebut.

Tingkah aneh Gyan pun tak terlalu dipikirkan oleh Mecca. Ia menyelesaikan pekerjaannya dan segera pulang, seperti teman-teman yang lain. Meskipun Mecca keluar sedikit terlambat, Hilya dengan setia menunggu sang sahabat di basemen parkir. “Apa kau akan menginap lagi malam ini?” tanya Hilya yang dijawab anggukan kepala oleh Mecca. “Tapi, aku harus pulang sebentar. Kau boleh ikut.” Mecca melemparkan kunci mobilnya agar Hilya mengambil alih kemudi.

Masih sama seperti biasanya, Mecca mendapat tatapan tak suka dari Mariam ketika dirinya tiba di rumahnya bersama Hilya. Namun, Mecca berusaha mengesampingkan hal tersebut. Ia tak ingin berdebat dengan sang ibu di depan Hilya.

“Kemana saja kau, Mecca? Sudah pintar lari dari masalah rupanya,” Mariam berkacak pinggang seraya berjalan mendekati Mecca yang bahkan masih berada di ambang pintu. Mecca mengela nafas, mencoba rileks dan tidak terpancing emosi. “Mecca menginap di tempat Hilya, Bu,” jawabnya.

Mariam tersenyum smirk dan menatap kedua gadis cantik di hadapannya. “Kalau dilihat-lihat, kau sering sekali bersama dia, Mecca. Jangan-jangan, kau selama ini berpacaran dengan dia?” tanya Mariam. Mecca membulatkan mata mendengarnya. Lalu, sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi Mariam.

“IBU!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status