Carol mengusap perutnya yang masih rata. Senyuman di wajah Carol terlukis membayangkan usia kandungannya kini sudah delapan minggu. Menikah dengan pria yang dicintai adalah hal yang sangat indah. Hidupnya dilingkupi kebahagiaan yang tak terhingga.
“Sayang, aku harus berangkat dulu.” Fargo melangkah masuk ke dalam kamar, menatap penuh hangat dan cinta pada Carol.
“Kau ingin berangkat sekarang?” Carol melingkarkan tangannya di leher sang suami. Mata indah Carol tak lepas menatap manik mata sang suami.
Fargo memeluk pinggang Carol. Mengecupi leher sang istri. “Iya, aku harus berangkat sekarang. Ada meeting penting. Di mana Arabella, Sayang?” tanyanya.
Arabella Fargo Jerald. Putri pertama Fargo dan Carol itu sudah memasuki usia hampir 2 tahun. Bayi kecil cantik itu sudah sangat pintar berbicara, dan mulai aktif bermain. Meski demikian Arabella kerap menjadi anak penurut.
“Tadi Arabella, masih tidur, Sayang. Mungkin dia sudah bangun dan bermain dengan pengasuhnya. Ayo kita temui Arabella sebentar, sebelum kau berangkat.” Carol membelai rahang sang suami, mengajak sang suami tercinta untuk menemui putri pertama mereka.
Fargo mengangguk, setuju akan ucapan Carol. Lantas, Fargo merengkuh bahu Carol, mengajak Carol melangkah keluar dari kamar. Dan tiba-tiba, di kala Fargo dan Carol baru saja tiba di lantai bawah, mereka mendengar suara tangis Arabella dari taman. Sontak, Fargo dan Carol terkejut mendengar suara tangis putri kecil mereka.
“Sayang, Arabella kenapa?” seru Carol panik.
“Kita ke sana sekarang.” Fargo segera melangkah bersama dengan sang istri, menuju taman. Meski terburu-buru, tapi Fargo tetap menggenggam erat tangan Carol, menjaga sang istri tercinta—yang kini tengah mengandung buah cinta kedua mereka.
Setibanya di taman, Fargo dan Carol melihat Arabella yang menangis dengan lutut yang terluka. Mata Fargo dan Carol melebar. Refleks, mereka menghampiri Arabella dengan wajah yang begitu panik luar biasa.
“Princess.” Fargo menggendong Arabella. Pun Carol segera memeriksa lutut Arabella yang sedikit terluka.
“Tuan, Nyonya, kami minta maaf. Tadi Nona Arabella terjatuh saat sedang bermain. Lututnya terkena batu kecil, Tuan, Nyonya.” Dua pengasuh menundukan kepala, di hadapan Fargo dan Carol.
Fargo menatap tajam kedua pengasuh Arabella. Pria itu nampak begitu marah. “Apa kalian ini tidak becus bekerja! Kenapa kalian tidak menjaga dengan baik putriku!” serunya dengan nada geraman tertahan. Fargo ingin berteriak, dan memaki dua pengasuh bodoh di depannya itu, tapi Fargo tak bisa melakukan itu, karena Arabella sekarang tengah digendongannya.
“M-maaf, Tuan, Nyonya. Kami tadi sudah menjaga Nona Arabella dengan baik. Tapi saat kami ingin menahan tubuh Nona Arabella, beliau sudah lebih dulu jatuh, Tuan, Nyonya. Kami mohon maafkan kami.” Para pengasuh menundukan kepala, meminta maaf pada Fargo dan Carol.
“Mudah sekali kalian minta maaf! Kaki putriku terluka! Di mana letak otak kalian berpikir! Aku sudah membayar gaji kalian mahal, tapi kalian malah tidak becus bekerja!” seru Fargo dengan penuh emosi.
Tak ada kata yang mampu dua pengasuh itu katakan lagi, mereka menundukan kepalanya pasrah, dengan apa yang terjadi pada mereka berdua. Tampak jelas, dua pengasuh itu ketakutan dan penuh rasa bersalah.
Carol menghela napas dalam. Carol pun ingin marah pada para pengasuh, karena lalai penjaga putri kecilnya. Akan tetapi, melihat wajah dua pengasuh yang ketakutan dan bersalah, membuat Carol iba pada dua pengasuh itu.
“Sayang, tenangkan dirimu. Kalau kau marah, nanti Arabella malah takut.” Carol mengusap lengan kekar sang suami, meminta suaminya untuk tenang.
Fargo berusaha mengatur emosinya. Fargo mengingat sekarang Arabella masih menangis dalam pelukannya. Fargo tak mau sampai membuat putri kecilnya ketakutan.
Carol mengalihkan pandangannya, pada dua pengasuh di depannya itu. “Tolong, kalian lain kali hati-hati. Arabella masih kecil. Dia sangat aktif. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi. Aku dan suamiku, paling tidak suka kalau putri kecil kami sampai terluka.” Carol berkata penuh peringatan, dan ketegasan pada para pengasuh itu.
“Baik, Nyonya. Kami berjanji akan lebih berhati-hati. Kami juga berjanji tidak akan mengulangi kesalahan kami. Sekali lagi, maafkan kami, Tuan, Nyonya.” Para pengasuh itu menundukan kepala, memohon maaf pada Fargo dan Carol.
Carol mengangguk singkat merespon ucapan dua pengasuh itu. Detik selanjutnya, Carol memeluk lengan kiri sang suami—mengajak suami dan anaknya pergi dari sana. Tampak dua pengasuh itu terus menundukan kepala, di kala Carol dan Fargo pergi membawa Arabella.
***
Waktu menunjukan pukul tujuh malam. Fargo dan Carol berada di kamar, menjaga putri kecil mereka. Setelah lutut Arabella diobati, bayi kecil itu tertidur pulas. Tadi Arabella bangun, hanya untuk minum susu.
Ya, kejadian Arabella terjatuh membuat Fargo tak datang ke kantor. Pria itu menunda semua meeting penting, demi Arabella. Fargo tak tenang melihat putri kecilnya menangis. Apalagi tadi, Arabella hanya bisa tenang kala digendong Fargo.
“Carol, besok kita harus ke dokter. Kalau Arabella masih rewel, kita harus periksa ke dokter. Aku takut terjadi sesuatu pada Arabella,” ucap Fargo seraya mengusap lembut rambut Arabella. Bayi kecil cantik itu tertidur lelap di tengah-tengah antara Fargo dan Carol.
Carol tersenyum. “Sayang, putri kita baik-baik saja. Kau tenanglah. Tidak terjadi hal buruk pada putri kecil kita.”
Fargo mengecup pipi bulat Arabella. “Aku tidak suka melihat putri kecilku terluka.”
Carol membelai rahang Fargo. “Arabella sangat beruntung, memiliki Daddy yang hebat sepertimu.”
Fargo menatap hangat Carol. “Aku jauh lebih beruntung, karena memilikimu dan Arabella.”
Carol tersenyum tulus, merespon ucapan sang suami.
Suara dering ponsel Fargo terdengar. Fargo dan Carol mengalihkan pandangan mereka ke ponsel yang berdering tersebut. Detik itu juga, Fargo menolak panggilan telepon di ponselnya. Namun, dering ponsel Fargo kembali terdengar, seakan bahwa itu panggilan urgent.
“Sayang, jawablah teleponmu. Mungkin itu panggilan telepon penting,” ucap Carol seraya menatap ponsel sang suami yang tak henti berdering.
“Biarkan saja,” ucap Fargo seraya menolak kembali panggilan diteleponnya. Tetapi, dering ponselnya kembali berdering.
“Sayang, jawablah. Ponselmu terus berdering. Mungkin ada hal penting, Sayang,” ujar Carol lembut, meminta sang suami untuk menjawab panggilan telepon itu.
Fargo berdecak pelan kala ponselnya tak kunjung berhenti. Dengan raut wajah kesal, Fargo terpaksa menjawab panggilan telepon itu. Tertera di layar nomor Gene—asistennya—yang menghubunginya. Bukan tak memikirkan pekerjaan, tapi Fargo tengah fokus pada putri kecilnya.
“Ada apa, Gene?!” Fargo menjawab dengan nada kesal kala panggilan terhubung. Fargo berdiri jauh dari istri dan anaknya. Fargo tak mau suaranya membuat Arabella terbangun.
“T-Tuan, maaf mengganggu Anda. Tapi ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” ujar Gene panik.
Fargo mengembuskan napas kasar. “Ada apa, Gene? Tadi kan aku sudah bilang, aku tidak bisa ke kantor, karena putriku sedang sakit.”
Sebelumnya, Fargo sudah menghubungi Gene memberitahu bahwa dirinya tak bisa datang ke kantor, tapi malah sekarang asistennya itu mengganggunya. Hal itu yang membuat Fargo kesal luar biasa pada sang asisten.
“T-Tuan, kita ada masalah.”
“Masalah apa, Gene?”
“Gedung penyimpanan barang terbakar. Puluhan karyawan kita mengalami luka bakar serius, dan banyak diantaranya yang meninggal dunia, Tuan.”
Raut wajah Fargo terkejut luar biasa mendengar apa yang dikatakan oleh Gene. Mata Fargo melebar. Kilat matanya memancarkan jelas kemarahan.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Gene!”
“M-maaf, Tuan. S-saya belum tahu kenapa bisa terjadi kebakaran di gudang penyimpanan barang. Saat ini, saya masih menyelidiki semuanya, Tuan.”
Fargo segera menutup panggilan tersebut. Amarah dalam diri Fargo kian menelusup. Makian dan umpatan kasar tak henti lolos dalam hatinya.
“Sayang, ada apa?” Carol mendekat pada Fargo, wanita itu bingung melihat sang suami emosi.
“Carol, aku harus pergi sekarang. Gudang penyimpanan barang kebakaran. Puluhan karyawanku terluka, dan bahkan ada yang sampai meninggal dunia,” ucap Fargo yang sontak membuat Carol terkejut.
“Ya Tuhan, kenapa itu bisa terjadi, Sayang?” seru Carol panik. Carol iba banyak korban jiwa yang berjatuhan akibat kebakaran di gudang penyimpanan barang.
“Aku tidak tahu. Aku harus pergi sekarang untuk melihat keadaan di sana. Kau bisa kan jaga Arabella sendiri?” ujar Fargo cepat.
Carol membelai rahang Fargo, dan tersenyum. “Tenanglah. Aku akan menjaga putri kecil kita dengan baik. Kau jangan khawatir, Sayang. Lebih baik kau ke sana, lihat apa yang terjadi. Tapi aku mohon, kau harus berhati-hati. Ingatlah selalu, aku dan Arabella menunggumu pulang.”
“Aku pasti akan selalu berhati-hati. Aku berjanji tidak akan lama. Setelah urusanku selesai, aku akan segera pulang.” Fargo mengecup bibir Carol.
Carol menganggukan kepalanya. Lantas, Fargo mengambil kunci mobilnya, dan melangkah pergi meninggalkan Carol. Tepat di kala Fargo sudah pergi, Carol kembali membaringkan tubuhnya di ranjang, memeluk Arabella yang masih terlelap.
Di perjalanan, Fargo melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Fargo menatap lurus ke depan dengan emosi yang masih terselimuti. Fargo yakin gudang penyimpanan barang dijaga ketat oleh pihak security. Pun belum pernah ada kejadian korsleting listrik di sana.
Hal yang membuat Fargo semakin emosi adalah, banyaknya korban jiwa berjatuhan. Jika hanya gudang yang terbakar, Fargo masih tak akan sampai seemosi ini. Fargo menginjak pedal gas, menambah laju mobilnya. Namun, tiba-tiba di kala Fargo tengah menambah laju mobil, ada seorang wanita yang lewat di hadapannya. Dan …
Brakkk
Fargo menabrak wanita itu, hingga membuat wanita itu tersungkur. Fargo panik. Beruntung, dia mampu rem mendadak mobilnya. Meski demikian, Fargo tahu wanita itu pasti tetap terluka. Buru-buru, Fargo segera turun menghampiri wanita itu.
“Aw—” Seorang wanita cantik berambut pirang meringis kesakitan. Kakinya sudah penuh dengan darah. Luka di kakinya pun cukup besar.
“Nyonya?” Fargo yang baru saja turun dari mobil, segera menghampiri wanita itu. “Bagaimana keadaanmu? Ikutlah denganku. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
“Tidak usah, Tuan. Ini salahku. Aku baik-baik saja.” Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap Fargo. Namun, seketika di kala mata wanita itu bertemu dengan mata Fargo, wanita nampak begitu terkejut. Begitu pun dengan Fargo yang juga terkejut melihat sosok wanita yang dirinya tabrak itu.
“Debora?”
Tubuh Fargo membatu melihat sosok wanita yang ada di hadapannya itu. Mata cokelat Fargo memancarkan jelas keterkejutannya. Sosok wanita yang telah lama tak dia lihat, kini ada di depan mata Fargo. Ya, Fargo dan sosok wanita di hadapannya, masih saling diam membisu, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tampak manik mata wanita biru wanita itu begitu memancarkan kerinduan pada Fargo. Ada hasrat keinginan dalam diri wanita itu, untuk menyentuh wajah Fargo, tapi mati-matian wanita itu mengendalikan diri, agar tak melewati batasan.Saat mereka saling beradu pandang, Fargo lebih dulu berhasil menyadarkan diri. Fargo pun kini memberikan tatapan dingin dan tegas, serta terselimuti rasa khawatir. Terlebih pria itu melihat kaki wanita yang ditabraknya itu terluka cukup parah.“Debora, kakimu terluka cukup parah.” Fargo berbicara dengan nada dingin.“Ah, ini tidak apa-apa, Fargo. Hanya luka kecil,” jawab wanita bernama Debora dengan nada pelan.“Itu bukan luka kecil. Kakimu mengeluarkan banyak d
“Carol, aku harus berangkat sekarang. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, dan tidak bisa ditunda.” Fargo berpamitan pada sang istri, seraya membenarkan posisi arloji di pergelangan tangannya. Tampak jelas Fargo begitu terburu-buru.“Apa kau tidak mau sarapan dulu, Sayang?” Carol mendekat pada sang suami sambil menggendong Arabella. Putri kecilnya itu begitu tenang dan tak rewel. Hanya di keadaan tertentu membuat Arabella rewel. Padahal seaslinya, Arabella adalah anak yang tenang dan juga patuh pada orang tua.“Tidak, Sayang. Aku akan sarapan di kantor. Hari ini banyak sekali yang harus aku urus.” Fargo mencium bibir Carol, dan pipi bulat Arabella. “Nanti aku akan menghubungimu, kalau aku sudah tiba di kantor.” Fargo melanjutkan ucapannya pada sang istri.Carol menghela napas dalam. “Baiklah, tapi jangan sampai tidak sarapan. Aku tidak mau sampai kau sakit.”“Yes, Mrs. Jerald.” Fargo memberikan kecupan di bibir dan hidung Carol. “Jangan khawatir. Aku pasti akan selalu menjaga diri
“Tuan, Anda menerima Nona Debora Tansy sebagai sekretaris baru Anda?” Gene bertanya di kala Debora sudah pulang. Raut wajah Gene bingung sekaligus tak mengerti. Pancaran mata Gene menunjukan jelas keterkejutanya.Fargo melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. “Debora membutuhkan pekerjaan. Dia bilang padaku sudah menjauh dari keluarganya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjauh dari keluarganya. Aku tidak berhak ikut campur akan kehidupan pribadi Debora. Alasan aku menerima Debora, karena Debora mengatakan memiliki anak yang masih sekolah. Aku tidak tega padanya.” “Anak?” Raut wajah Gene berubah mendengar perkataan Fargo. “Maaf, Tuan. Anda bilang kalau Nona Debora memiliki anak?” Gene bertanya memastikan. Gene takut, apa yang didengarnya ini salah.Fargo mengangguk. “Ya, Debora sudah menikah dan memiliki anak. Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Wajar kalau sekarang Debora sudah menikah dan memiliki anak. Usianya sud
*Carol, aku memiliki meeting pagi. Aku harus berangkat lebih awal. Maaf aku tidak membangunkanmu. Kau tidur terlalu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Aku akan usahakan pulang lebih awal. Your Husband—Fargo. J.*Carol mengembuskan napas panjang membaca sebuah note yang tertuliskan tulisan tangan sang suami. Carol tak mengira kalau Fargo akan berangkat lebih awal. Tadi malam dirinya dan Fargo terlalu asik menemani Arabella bermain, sampai tak membahas apa pun selain menjaga Arabella. Andai saja Carol tahu Fargo memiliki meeting pagi, pasti Carol akan mengatur alarm lebih pagi lagi, agar bisa membantu sang suami bersiap-siap. “Lebih baik aku ke kamar Arabella saja.” Carol bergumam pelan. Wanita itu memutuskan untuk ke kamar Arabella. Carol berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba benak Carol memikirkan sesuatu. Sesuatu di mana memunculkan ide dalam pikirannya. “Nanti siang, aku bawakan saja makan untuk Fargo. Sudah lama aku tidak mengantarkan makanan ke kantor.” Car
Fargo menegak vodka di tangannya, seraya memejamkan mata singkat. Pria itu berdiri di balik kaca besar yang ada di ruang kerja mansionnya. Tampak tatapan mata Fargo menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang telah berhasil mengusik ketenangan hati dan pikirannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Fargo mengalihkan pandangannya, pada ponselnya yang ada di atas meja. Fargo mendekat, mengambil ponsel itu—menatap ke layar tertera nomor Gene di sana. Fargo mengembuskan napas kasar. Pria itu enggan untuk menjawab, karena pusing di kepalanya. Tetapi, Fargo khawatir kalau ada hal penting yang ingin Gene katakan padanya. Akhirnya, Fargo memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.“Ada apa, Gene?” jawab Fargo kala panggilan terhubung.“Selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memastikan minggu ini, Anda terbang ke New York bersama siapa?” tanya Gene penuh sopan dari seberang sana. Fargo terdiam mendengar pertanyaan Gene. Fargo
“Mommy.” Andrew berlari, memeluk Debora dengan begitu erat. Bocah laki-laki itu nampak senang karena ibunya sudah pulang dari kantor. Pun Debora membalas pelukan Andrew tak kalah erat. Debora menundukan tubuhnya, bersejajar pada tubuh Andrew.“Anak Mommy yang tampan, apa kau merindukan Mommy, Sayang?” Dobora mengelus pipi Andrew, dan memberikan kecupan di pipi putranya itu.Andrew menganggukan kepalanya. “Ya, Mommy. Aku sangat merindukanmu.”Debora tersenyum. “Bagaimana dengan sekolahmu, Sayang? Semua lancar, kan?”“Mommy, aku di sekolah mendapatkan nilai A. Mommy tenang saja, aku smart boy,” kata Andrew dengan senyuman riang di wajahnya.“Good, kau memang anak Mommy yang pintar.” Debora mencium pipi Andrew. “Sayang, ada hal yang Mommy ingin katakan padamu.”“Apa, Mommy?” tanya Andrew polos seraya menatap Debora.“Minggu ini, Mommy memiliki perjalanan bisnis ke New York. Tidak akan lama. Hanya dua haru saja. Kau tidak apa-apa, kan ditinggal bersama pengasuhmu?” ujar Debora lembut.“Ja
Awan putih mengumpul menutupi daratan. Keheningan sempat menyelimuti pesawat pribadi yang telah mengudara. Ketinggian puluhan ribu kaki dari daratan, membuat hanya awan putih yang menjadi object pandang.“Fargo, putrimu sangat cantik. Dia mirip sekali denganmu.” Debora memulai sebuah percakapan. Setelah berjam-jam keheningan menyelimuti, akhirnya wanita itu memiliki memberanikan diri untuk mengeluarkan suara. Debora memang sudah sejak tadi menahan diri. Dia ingin sekali menanyakan tentang kehidupan pribadi Fargo.“Thanks,” jawab Fargo singkat dengan tatapan yang masih fokus pada laporan di tangannya.“Siapa nama lengkap putrimu dan berapa usianya, Fargo?”“Arabella Fargo Jerald. Usianya hampir 2 tahun.” “Nama yang indah. Kau beruntung memiliki istri dan putri yang sangat cantik.” Fargo terdiam sebentar. Tatapan pria itu mulai teralih pada Debora. Fargo hendak mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ada di pikiran. Akan tetapi, semua pertanyaan itu seakan sulit untuk lolos dari mul
Dua hari sudah Fargo dan Debora berada di New York. Sejak kejadian tempo hari, mereka sudah jarang berbicara kecuali membahas pekerjaan. Lebih tepatnya di kala Debora ingin berusaha membahas tentang di luar pekerjaan, maka Fargo selalu saja memilih menghindar dari Debora. Sepertinya Fargo tak mau membahas apa yang telah terjadi di masa lalu.Hal itu membuat Debora tak bisa mengatakan apa pun di luar pekerjaan. Debora hanya bisa pasrah di kala Fargo mulai bersikap dinginnya. Fargo seakan memasang dinding tinggi, pengahalang agar Debora tak bisa mendekat. Tak menampik tindakan Fargo membuat Debora menunjukan lukanya.“Debora, apa kau sudah siap? Kita harus ke bandara sekarang,” ucap Fargo seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat jelas Fargo yang begitu tak sabar ingin segera kembali ke Los Angeles.Ya, hari ini adalah hari di mana Fargo dan Debora kembali ke Los Angeles. Sesuai dengan rencana Fargo, bahwa pria itu hanya menginginkan dua hari saja di New Yo