Share

Bab 4. A Secret

“Tuan, Anda menerima Nona Debora Tansy sebagai sekretaris baru Anda?” Gene bertanya di kala Debora sudah pulang. Raut wajah Gene bingung sekaligus tak mengerti. Pancaran mata Gene menunjukan jelas keterkejutanya.

Fargo melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. “Debora membutuhkan pekerjaan. Dia bilang padaku sudah menjauh dari keluarganya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjauh dari keluarganya. Aku tidak berhak ikut campur akan kehidupan pribadi Debora. Alasan aku menerima Debora, karena Debora mengatakan memiliki anak yang masih sekolah. Aku tidak tega padanya.”  

“Anak?” Raut wajah Gene berubah mendengar perkataan Fargo. “Maaf, Tuan. Anda bilang kalau Nona Debora memiliki anak?” Gene bertanya memastikan. Gene takut, apa yang didengarnya ini salah.

Fargo mengangguk. “Ya, Debora sudah menikah dan memiliki anak. Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Wajar kalau sekarang Debora sudah menikah dan memiliki anak. Usianya sudah sangat cukup untuk berkeluarga.”

Kening Gene mengerut dalam. “Tuan, tapi dari data yang saya lihat Nona Debora Tansy belum menikah. Di data pun tidak tertulis kalau Nona Debora Tansy memiliki seorang anak.”

“Kau yakin, Gene?” Fargo menatap dingin dan tegas sang asisten.

“Saya tidak mungkin salah, Tuan. Setiap karyawan yang baru bergabung di perusahaan Anda, saya akan selalu memeriksa data pribadi dengan baik dan teliti,” jawab Gene sopan.

Fargo terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Gene. Detik itu juga ingatan Fargo teringat akan perkataan Debora yang mengatakan, sudah berpisah dari pasangannya. Debora tak pernah menyinggung soal suami wanita itu. Besar kemungkinan Debora belum menikah, dan anak yang Debora miliki adalah anak dari luar pernikahan.

Fargo masih diam seribu bahasa, belum mengatakan sepatah kata pun. Semua perkataan Gene seakan telah berperang menyatu di pikirannya, bercampur dengan kata-kata Debora. Namun tiba-tiba sesuatu hal muncul dalam benak Fargo. Raut wajah Fargo berubah menjadi terkejut. Buru-buru, Fargo menepis pikiran yang muncul.

‘Shit! Tidak mungkin!’ batin Fargo seraya memejamkan matanya.

“Maaf, Tuan, ada apa?” tanya Gene bingung melihat perubahan wajah Fargo.

Fargo mengembuskan napas kasar, menatap dingin dan penuh ketegasan sang asisten. “Gene, aku akan pulang lebih awal. Kau urus pekerjaanku. Dan untuk tentang Debora, besok dia sudah masuk bekerja. Kau tidak usah lagi mengusik kehidupan pribadi Debora. Bersikaplah professional. Debora adalah karyawan di sini.” 

Gene mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”

Tanpa lagi berkata, Fargo menyambar kunci mobilnya, dan melangkah pergi dari ruang kerjanya. Tampak Gene menundukan kepalanya, di kala Fargo sudah pergi meninggalkannya.

***

“Sayang, kau sudah pulang?” Carol yang baru saja selesai mandi, dan sudah mengganti baju, sedikit terkejut melihat kedatanga sang suami. Padahal di jam seperti ini sang suami tercintanya itu masih begitu sibuk.

“Aku pulang cepat. Kepalaku sedikit pusing.” Fargo menjawab seraya mengecup bibir Carol.

“Kau sakit?” Carol menyentuh rahang Fargo, memastikan suhu tubuh suaminya itu. 

“Aku hanya pusing, karena terlalu banyak pekerjaan.” Fargo meraih tangan Carol yang menyentuh rahangnya, lalu pria itu memberikan kecupan di punggung tangan sang istri. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit pusing. Nanti juga membaik.”

Carol menghela napas dalam. Wanita itu sangat takut kalau sampai sang suami sampai jatuh sakit. “Kau pasti telat makan. Kan aku sudah bilang berkali-kali, jangan sampai terlambat makan. Aku tidak mau kau sakit, Sayang.”

“Iya, maafkan aku. Lain kali aku akan memerhatikan kesehatanku.” Fargo menangkup kedua pipi Carol, mengecupi bibir sang istri. “Di mana putri kita? Apa dia sedang tidur?” tanyanya yang tak melihat keberadaan putri kecilnya.

“Arabella baru saja tidur setelah minum susu. Sekarang dia semakin pintar. Setiap kali dia minum susu, dia selalu menanyakan keberadaanmu, dan apa yang kau lakukan. Dia selalu merindukanmu,” ucap Carol memberitahu Fargo tentang Arabella.

Fargo tersenyum hangat mendengar cerita Carol tentang Arabella. “Dia memang putri kecil kita yang sangat cantik dan pintar.”

Carol pun tersenyum, dan memeluk Fargo, menghirup aroma parfume di tubuh sang suami. “Oh, ya, Sayang. Waktu itu kau bilang, kau akan mencari sekretaris baru, apa kau sudah menemukan sekretaris baru untukmu?” tanyanya. Entah kenapa ingatan Carol, mengingat perkataan sang suami yang tengah mencari sekretaris baru. Alasan sang suami mencari sekretaris baru, karena sekretaris lama suaminya itu resign setelah melahirkan.

Fargo berdeham sebentar kala mendengar pertanyaan Carol. Pria itu berusaha tenang, seakan tak terjadi apa pun. “Ya, aku sudah mendapatkan sekretaris baru. Besok dia mulai bekerja.”

Carol mendongakan kepalanya, menatap Fargo. “Siapa nama sekretarismu, Sayang?”

“Debora, namanya Debora.”

“Apa dia cantik?”

“Carol, kenapa kau bertanya konyol seperti itu?”

“Sayang, aku hanya bertanya memastikan saja. Apa dia cantik?”  

Fargo mengecup bibir Carol. “Kau adalah wanita tercantik yang pernah aku kenal.”

Carol melingkarkan tangannya di leher Fargo. Menyipitkan mata, menatap sang suami penuh kecurigaan. “Kau itu semakin tua semakin tampan. Aku hanya waspada. Jaman sekarang banyak sekali wanita yang mencoba merebut suami orang. Ingat satu hal, kalau kau berani berselingkuh dariku, aku tidak akan memaafkanmu.”

Fargo menggigit bibir bawah Carol gemas, hingga membuat Carol sedikit meringis. “Jangan berkata konyol. Aku tidak berniat selingkuh. Aku hanya menginginkanmu.” Lalu, Fargo menggendong Carol melangkah menuju kamar mandi. Carol terkejut di kala Fargo membawanya menuju kamar mandi. Akan tetapi, Carol sudah mengerti akan tindakan sang suami. Well, tentu akan selalu berakhir dengan Carol wajib menemani sang suami untuk mandi.

***

Di sisi lain, sebuah apartemen sederhana nampak seorang wanita cantik duduk di sofa, seraya menyesap wine di tangannya. Raut wajah wanita itu menunjukan kerapuhan dan keputusasaan. Kemuramannya melingkupi jelas wajah wanita cantik itu.

“Mom, kau sudah pulang?” Seorang bocah laki-laki berusia 9 tahun, menghampiri Debora—yang tengah duduk di sofa ruang tengah.

Debora tersenyum melihat putranya. Wanita itu langsung memeluk putranya itu erat. “Mommy merindukanmu, Sayang.”

“Aku juga merindukan Mommy,” jawab bocah laki-laki itu polos. “Hari ini Mommy pergi ke mana?” tanyanya.

Debora menangkup kedua pipi putranya. “Hari ini Mommy bertemu dengan CEO di perusahaan Mommy bekerja. Besok Mommy sudah bisa bekerja, Sayang. Mommy punya pekerjaan, dan Mommy bisa membelikanmu mainan baru, Andrew.”

“Yeay! Thank you, Mommy.” Bocah laki-laki bernama Andrew nampak begitu senang. “Hm, tapi artinya nanti Mommy akan sibuk dan tidak memiliki waktu untukku?” Raut wajah Andrew berubah menjadi muram.

“Andrew, Mommy akan selalu memiliki waktu untukmu.” Debora membelai pipi Andrew. “Mommy berjanji setiap kali libur kerja, akan selalu mengajakmu berjalan-jalan.”

Andrew tersenyum hangat. “Oke, Mommy. Oh, ya, Mommy bilang bulan ini Mommy akan mengajakku bertemu dengan Daddy. Kapan kita bertemu Daddy, Mommy?” ujarnya bersemangat.

Mata Debora langsung berkaca-kaca. Akan tetapi mati-matian Debora menahan air mata itu agar tak tumpah. “Kau akan segera bertemu dengan Daddy-mu, Sayang. Tunggulah, di waktu yang tepat.” Lalu, Debora memeluk erat putra tunggalnya, dengan penuh kasih sayang. Kerapuhan di wajah Debora begitu terlihat jelas di kala Andrew menagih janjinya. Janji yang sangat sulit Debora tepati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status