*Carol, aku memiliki meeting pagi. Aku harus berangkat lebih awal. Maaf aku tidak membangunkanmu. Kau tidur terlalu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Aku akan usahakan pulang lebih awal. Your Husband—Fargo. J.*
Carol mengembuskan napas panjang membaca sebuah note yang tertuliskan tulisan tangan sang suami. Carol tak mengira kalau Fargo akan berangkat lebih awal. Tadi malam dirinya dan Fargo terlalu asik menemani Arabella bermain, sampai tak membahas apa pun selain menjaga Arabella. Andai saja Carol tahu Fargo memiliki meeting pagi, pasti Carol akan mengatur alarm lebih pagi lagi, agar bisa membantu sang suami bersiap-siap.
“Lebih baik aku ke kamar Arabella saja.” Carol bergumam pelan. Wanita itu memutuskan untuk ke kamar Arabella. Carol berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba benak Carol memikirkan sesuatu. Sesuatu di mana memunculkan ide dalam pikirannya.
“Nanti siang, aku bawakan saja makan untuk Fargo. Sudah lama aku tidak mengantarkan makanan ke kantor.” Carol kembali bergumam sambil tersenyum. Ya, Carol memiliki ide di mana dirinya memasak untuk sang suami, dan membawakan ke kantor suaminya itu. Carol ingat kesibukan Fargo belakangan ini kerap membuat suaminya itu, melupakan makan siang. Lagi pula, Carol pun ingin berkunjung ke kantor suami tercintanya.
***
“Project akhir tahun ini sudah matang. Aku harap jangan sampai ada yang membuat kesalahan. Aku tidak ingin membuat client-ku kecewa.” Fargo berucap dengan nada tegas, dan penuh peringatan pada marketing director yang ada di hadapannya.
“Baik, Tuan. Segala hal sudah disiapkan. Saya pastikan project akan berlangsung dengan lancar.” Sang marketing director menjawab ucapan Fargo, penuh keyakinan.
“Alright, kau boleh pergi sekarang. Selesaikan pekerjaanmu yang lain,” balas Fargo dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Saya permisi, Tuan.” Sang marketing director pamit undur diri dari hadapan Fargo.
Saat sang marketing director melangkah pergi, Gene masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Tampak Gene menundukan kepala di kala tiba di depan Fargo.
“Tuan,” sapa Gene sopan.
“Ada apa, Gene?” Fargo menatap dingin Gene.
“Tuan, Anda memiliki meeting penting di New York minggu ini. Tapi, Tuan, maaf saya tidak mungkin menemani Anda. Minggu ini kita kedatangan client dari Dubai. Saya harus menyambut client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Gene sopan.
Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Pria itu memijat pelipisnya pelan. “Aku berangkat sendiri saja. Tolong kau siapkan dokumen yang aku butuhkan selama di New York.”
“Tuan, banyak sekali dokumen yang harus Anda pegang. Anda tidak mungkin berangkat sendiri. Saya khawatir ada dokumen yang terlewat. Sekarang Anda sudah memiliki sekretaris baru. Tadi saya sempat memeriksa pekerjaan Nona Debora, beliau sangat rapi dalam mengerjakan pekerjaannya. Saran saya, Anda bisa pergi ke New York bersama dengan Nona Debora,” jawab Gene memberikan saran agar Fargo berangkat ke New York bersama Debora.
“Tidak mungkin, Gene. Aku tidak mungkin pergi ke New York bersama Debora.” Fargo berdecak kesal. Hari ini memang Debora sudah mulai bekerja. Hanya saja Fargo tak banyak bicara. Hari ini Fargo sibuk dengan meeting di luar, hingga menjelang siang. Pria itu baru saja tiba di kantor.
“Kenapa tidak mungkin, Tuan? Bukankah Anda yang bilang kita harus bersikap professional? Nona Debora Tansy sekarang adalah sekretaris Anda, Tuan,” ujar Gene sopan.
“Kau tidak mengerti, Gene.” Fargo memejamkan mata singkat.
“Maaf permisi?” Debora masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Menginterupsi percakapan Fargo dan Gene. Refleks, Fargo dan Gene mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.
“Ada apa, Debora?” Fargo menatap dingin Debora yang datang.
“Fargo, maaf maksudku, Tuan Fargo, aku membutuhkan tanda tanganmu.” Debora memberikan dokumen yang ada di tangannya, ke hadapan Fargo. Debora meralat panggilannya pada Fargo. Debora tak enak kalau memanggil Fargo hanya nama saja.
Fargo mengambil dokumen yang diberikan oleh Debora, pria itu membaca teliti dan baik dokumen tersebut. Lantas, di kala Fargo sudah benar-benar yakin dokumen tersebut, dia segera membubuhkan tanda tangan di dokumen itu.
“Gene, kau keluarlah selesaikan pekerjaanmu yang lain. Nanti aku akan pikirkan solusi yang tepat untuk meeting-ku di New York,” ucap Fargo dingin pada Gene.
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Gene menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Fargo.
“Debora, apa semua pekerjaan sekretaris lamaku, sudah kau ketahui?” Fargo memberikan kembali dokumen yang telah dia tanda tangani, pada Debora.
Debora mengangguk. “Sudah, Tuan. Aku sudah mengetahui semua tugas sekretaris lamamu. Aku sudah mencatat dengan baik, apa saja pekerjaan yang masih tertunda.”
Fargo terdiam sebentar. “Kau bisa panggil namaku jika kita sedang berdua. Aku kurang nyaman kau memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’.”
Debora kembali mengangguk. “Iya, Fargo. Sekali lag, terima kasih telah menerimaku bekerja di sini. Aku sangat membutuhkan pekerjaan.”
Fargo bangkit berdiri, menghampiri Debora. Ada sesuatu hal mengganjal dalam hati Fargo, dan ingin bertanya langsung pada Debora, akan tetapi entah kenapa hati Fargo merasa berat untuk bertanya. Padahal semua pertanyaan itu sudah ada di dalam pikirannya.
“Fargo, kalau begitu aku harus pergi dulu. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Debora pamit undur diri dari hadapan Fargo, namun di kala Debora berbalik, tubuh wanita itu tak seimbang. Debora nyaris terjatuh. Refleks, Fargo menangkap tubuh Debora. Fargo memeluk pinggang Debora dengan erat.
Mata Fargo dan mata Debora saling menatap dalam satu sama lain. Seakan mereka hanyut akan tatapan itu. Fargo bahkan sama sekali tak menyadari kalau tengah memeluk Debora dengan erat. Namun…
Ceklek!
“Sayang—” Carol membuka pintu ruang kerja Fargo, sontak wanita itu terkejut di kala Fargo tengah memeluk erat seorang wanita. Raut wajah Carol berubah. Sorot mata Carol menunjukan kemarahannya.
Fargo panik melihat Carol. Buru-buru pria itu melepaskan pelukannya pada Debora. Fargo terkejut melihat Carol ada di depannya. Tetapi Fargo tetap berusaha untuk tenang, seolah tak terjadi apa pun.
“Sayang, ini Debora, sekretarisku. Tadi dia terjatuh. Aku membantunya.” Fargo segera memperkenalkan Debora pada Carol.
“Debora, itu Carol Jerald, istriku.” Fargo pun segera memperkenalkan Carol pada Debora.
Debora sedikit menundukan kepalanya di depan Carol. “Selamat siang, Nyonya Carol.”
Carol mendekat. Menatap tajam Debora. Raut wajah Carol tak bisa ditutupi begitu marah dan cemburu. Hamil memang membuat Carol sangatlah sensitive. Hanya saja, Carol berusaha mengendalikan diri. Walau tak dipungkiri itu sangatlah sulit.
“Kau sekretaris baru di sini?” tanya Carol dingin.
Debora mengangguk. “Benar, Nyonya. Aku sekretaris baru di sini.”
“Debora, pergilah, selesaikan pekerjaanmu. Aku ingin berdua dengan istriku. Kalau ada yang mencariku, katakan aku tidak bisa diganggu untuk dua jam ke depan,” ucap Fargo memberi perintah pada Debora.
“Baik, Tuan. Aku permisi, Tuan, Nyonya.” Debora pamit undur diri dari hadapan Fargo dan Carol.
Saat Debora sudah pergi, Fargo melangkah mendekat pada Carol, dan hendak memberikan pelukan pada sang istri, sayangnya pelukan Fargo ditolak oleh istrinya itu.
“Jangan menyentuhku. Tadi kau baru saja menyentuh wanita lain,” seru Carol kesal.
“Carol, tadi aku hanya membantu Debora saja. Aku mohon jangan berpikiran aneh-aneh, Carol. Debora hanya sekretarisku.” Fargo membelai pipi Carol lembut, memberikan pengertian pada sang istri.
“Sekretarismu sangat cantik, bahkan lebih cantik dariku. Kau pasti menyukainya. Itu yang membuatmu menolongnya, kan?” tuduh Carol seraya menatap Fargo tajam. Mata Carol sudah memerah, menahan amarah akibat kecemburuannya.
Fargo berdecak seraya mengumpati keadaan di mana Carol datang tepat dirinya membantu Debora. “Carol, kaki Debora masih belum benar-benar pulih. Aku menabraknya, Carol.”
“Apa maksudmu?” Kemarahan Carol sedikit meredam mendengar penjelasan Fargo.
Fargo menangkup kedua pipi Carol, menyeka air mata yang keluar dari sudut bibir sang istri. “Kau ingat, kan waktu itu aku bilang padamu, kalau aku menabrak seorang wanita?”
Carol mengangguk pelan. “Ya, aku mengingatnya.”
“Wanita yang aku tabrak waktu itu adalah Debora, sekretaris baruku. Waktu itu aku tidak tahu kalau Debora, melamar pekerjaan di perusahaanku. Aku juga baru tahu kemarin. Maaf, aku belum bercerita ini padamu.” Fargo mengecup bibir Carol, memberikan pengertian. Fargo memilih menceritakan, walau tak semuanya. Fargo tak bisa menceritakan pada Carol tentang hubungannya dengan Debora di masa lalu. Fargo tak ingin membuat Carol berpikir negative. Kehamilan membuat Carol mudah sekali berpikiran aneh-aneh. Itu kenapa Fargo memilih untuk tidak bercerita.
“Wanita yang kau tabrak itu, Debora?” ulang Carol memastikan.
“Iya, Sayang. Apa yang kau lihat tadi salah paham.” Fargo mengecupi kedua mata Carol. “Aku murni hanya membantu Debora atas dasar kasihan. Tidak lebih dari itu.” Fargo menatap dalam mata indah Carol. “Dan aku tidak suka kau membandingkan dirimu dan Debora. Di mataku, kau adalah yang tercantik.”
Carol mulai tenang mendengar penjelasan Fargo. Carol membenamkan wajahnya di dada bidang Fargo sambil berkata, “Maafkan aku sudah mencurigaimu.”
Fargo mengusap punggung Carol. “Tidak apa-apa, aku mengerti.”
Carol mendongakan wajahnya, menatap wajah sang suami. “Ayo kita makan bersama. Aku sudah membuatkanmu makanan.” Carol menunjukan paper bag yang ada di tangannya pada Fargo.
Fargo tersenyum dan mencium gemas bibir Carol. “Terima kasih sudah membuatkan makanan untukku.” Lalu, Fargo merengkuh bahu Carol—membawa Carol menuju kamar pribadinya yang ada di dalam ruang kerjanya.
Di sisi lain, Debora masih berdiri di ambang pintu, melihat dari sela-sela pintu kemesraan dan keintiman Fargo dan Carol. Tampak mata Debora sudah berkaca-kaca. Air mata wanita itu sudah tak lagi bisa tertahan. Hatinya sakit luar biasa melihat kemesraan Fargo dan Carol.
“Andai kau tahu kenyataan yang sebenarnya, Fargo,” gumam Debora lirih.
Fargo menegak vodka di tangannya, seraya memejamkan mata singkat. Pria itu berdiri di balik kaca besar yang ada di ruang kerja mansionnya. Tampak tatapan mata Fargo menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang telah berhasil mengusik ketenangan hati dan pikirannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Fargo mengalihkan pandangannya, pada ponselnya yang ada di atas meja. Fargo mendekat, mengambil ponsel itu—menatap ke layar tertera nomor Gene di sana. Fargo mengembuskan napas kasar. Pria itu enggan untuk menjawab, karena pusing di kepalanya. Tetapi, Fargo khawatir kalau ada hal penting yang ingin Gene katakan padanya. Akhirnya, Fargo memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.“Ada apa, Gene?” jawab Fargo kala panggilan terhubung.“Selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memastikan minggu ini, Anda terbang ke New York bersama siapa?” tanya Gene penuh sopan dari seberang sana. Fargo terdiam mendengar pertanyaan Gene. Fargo
“Mommy.” Andrew berlari, memeluk Debora dengan begitu erat. Bocah laki-laki itu nampak senang karena ibunya sudah pulang dari kantor. Pun Debora membalas pelukan Andrew tak kalah erat. Debora menundukan tubuhnya, bersejajar pada tubuh Andrew.“Anak Mommy yang tampan, apa kau merindukan Mommy, Sayang?” Dobora mengelus pipi Andrew, dan memberikan kecupan di pipi putranya itu.Andrew menganggukan kepalanya. “Ya, Mommy. Aku sangat merindukanmu.”Debora tersenyum. “Bagaimana dengan sekolahmu, Sayang? Semua lancar, kan?”“Mommy, aku di sekolah mendapatkan nilai A. Mommy tenang saja, aku smart boy,” kata Andrew dengan senyuman riang di wajahnya.“Good, kau memang anak Mommy yang pintar.” Debora mencium pipi Andrew. “Sayang, ada hal yang Mommy ingin katakan padamu.”“Apa, Mommy?” tanya Andrew polos seraya menatap Debora.“Minggu ini, Mommy memiliki perjalanan bisnis ke New York. Tidak akan lama. Hanya dua haru saja. Kau tidak apa-apa, kan ditinggal bersama pengasuhmu?” ujar Debora lembut.“Ja
Awan putih mengumpul menutupi daratan. Keheningan sempat menyelimuti pesawat pribadi yang telah mengudara. Ketinggian puluhan ribu kaki dari daratan, membuat hanya awan putih yang menjadi object pandang.“Fargo, putrimu sangat cantik. Dia mirip sekali denganmu.” Debora memulai sebuah percakapan. Setelah berjam-jam keheningan menyelimuti, akhirnya wanita itu memiliki memberanikan diri untuk mengeluarkan suara. Debora memang sudah sejak tadi menahan diri. Dia ingin sekali menanyakan tentang kehidupan pribadi Fargo.“Thanks,” jawab Fargo singkat dengan tatapan yang masih fokus pada laporan di tangannya.“Siapa nama lengkap putrimu dan berapa usianya, Fargo?”“Arabella Fargo Jerald. Usianya hampir 2 tahun.” “Nama yang indah. Kau beruntung memiliki istri dan putri yang sangat cantik.” Fargo terdiam sebentar. Tatapan pria itu mulai teralih pada Debora. Fargo hendak mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ada di pikiran. Akan tetapi, semua pertanyaan itu seakan sulit untuk lolos dari mul
Dua hari sudah Fargo dan Debora berada di New York. Sejak kejadian tempo hari, mereka sudah jarang berbicara kecuali membahas pekerjaan. Lebih tepatnya di kala Debora ingin berusaha membahas tentang di luar pekerjaan, maka Fargo selalu saja memilih menghindar dari Debora. Sepertinya Fargo tak mau membahas apa yang telah terjadi di masa lalu.Hal itu membuat Debora tak bisa mengatakan apa pun di luar pekerjaan. Debora hanya bisa pasrah di kala Fargo mulai bersikap dinginnya. Fargo seakan memasang dinding tinggi, pengahalang agar Debora tak bisa mendekat. Tak menampik tindakan Fargo membuat Debora menunjukan lukanya.“Debora, apa kau sudah siap? Kita harus ke bandara sekarang,” ucap Fargo seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat jelas Fargo yang begitu tak sabar ingin segera kembali ke Los Angeles.Ya, hari ini adalah hari di mana Fargo dan Debora kembali ke Los Angeles. Sesuai dengan rencana Fargo, bahwa pria itu hanya menginginkan dua hari saja di New Yo
Lidah Fargo kelu tak mampu mengeluarkan sebuah kata. Tubuhnya membeku di kala ada seorang bocah laki-laki memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’. Fargo dilanda kebingungan. Pria itu tak mengerti ada apa dengan semua ini.“Daddy, ayo masuk! Aku sudah merindukanmu.” Andrew tersenyum pada Fargo, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Sedangkan Fargo masih tetap bergeming. Kaki Fargo seakan berat untuk melangkah masuk. Semua yang ada di pikirannya seakan berperang dengan isi hatinya.“Fargo, masuklah. Andrew sangat merindukanmu. Setelah ini aku akan menjelaskan padamu,” jawab Debora pelan dengan senyuman di wajahnya. Tatapan Debora begitu hangat, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Wanita itu berjanji akan menceritakan semuanya pada Fargo, tanpa terkecuali.Fargo mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Sorot mata Fargo seakan menunjukan menuntut penjelasan. Detik selanjutnya, Fargo mendekat ke arah Andrew. Bocah laki-laki itu nampak sangat senang akan kehadirannya, membuat hati Fargo bergetar
“Momny, I want Daddy. I want Daddy, Mommy. Please, I want Daddy.” Arabella menangis seraya menarik-narik dress Carol. Balita kecil cantik itu meraung meminta bertemu dengan ayahnya. Terlihat jelas bahwa Arabella begitu merindukan ayahnya.“Sayang, sabarlah. Daddy pasti akan pulang.” Carol menghela napas dalam, sudah lebih dari lima kali dirinya menghubungi Fargo tapi suaminya itu tak menjawab ponselnya. Waktu menunjukan pukul 8 malam. Harusnya Fargo sejak tadi sudah pulang. Pun Carol sudah melihat radar pesawat kalau pesawat pribadi milik suaminya telah mendarat di Los Angeles. Tapi entah kenapa malah Fargo tak kunjung pulang.Arabella berguling di lantai, mengamuk ingin bertemu dengan ayahnya. Sontak Carol dibuat terkejut. Carol hendak menggendong Arabella, namun Arabella menolak. Balita kecil itu tak henti memanggil ‘Daddy’.Carol berdecak kesal. Arabella adalah anak yang pintar. Carol sudah berjanji pada Fargo kalau Fargo akan pulang, jadi wajar saja kalau Arabella menagih janjinya
Fargo menegak vodka di tangannya. Raut wajah Fargo sangat kacau, akibat pikiran yang menghantui dirinya. Pagi ini, Fargo memang sengaja berangkat ke kantor lebih awal, demi menghindar dari sang istri. Setiap kali Fargo melihat Carol, maka yang timbul hanyalah sebuah rasa bersalah. Fargo tak pernah mengira kalau dirinya memiliki anak dari Debora. Kesalahan satu malam di masa lalunya, membuat masa depannya sekarang dipertaruhkan. Hal yang paling rumit adalah Fargo bingung bagaimana menjelaskannya, pada Carol. Fargo terlalu takut Carol tak bisa menerima semuanya. Ditambah dirinya harus berkali-kali bohong demi menutupi tentang kenyataan yang ada.“Tuan?” Gene melangkah menghampiri Fargo.“Ada apa, Gene?” tanya Fargo seraya menatap Gene dingin.“Tuan, hari ini Anda memiliki jadwal bertemu dengan—”“Gene, kosongkan jadwalku hari ini. Aku tidak mau bertemu dengan siapa pun. Tunda semua pertemuanku.” Fargo langsung memotong ucapan Gene.Gene mengangguk sopan. “Baik, Tuan.”“Gene, apa mungki
Fargo menatap Andrew yang kini tengah tertidur pulas di ranjang. Setelah puas bermain, Andrew akhirnya tertidur. Bocah laki-laki itu nampak begitu nyenyak terlelap dalam pelukan Fargo. Ya, Fargo menemani Andrew bermain sampai bocah itu terlelap.Fargo tak sendiri. Di samping Andrew tepat di sisi kiri ada Debora yang juga menemani Andrew bermain. Andrew tak hanya bermain dengan Fargo saja, tapi Debora pun menemani sesuai dengan keinginan Andrew.Posisi kecanggungan terjadi. Fargo berada di kamar Andrew bersama dengan Debora, layaknya pasangan suami istri yang telah menidurkan anak mereka. Sungguh, kondisi seperti ini membuat Fargo sangat tak nyaman. Hati Fargo terus merasa bersalah pada Carol.“Debora, Andrew sudah tidur. Aku harus pulang sekarang,” ucap Fargo dingin dan penuh ketegasan. Nadanya pelan, tapi menekankan.“Apa tidak lebih baik kau menginap saja, Fargo? Ini sudah malam,” ujar Debora menawarkan Fargo untuk menginap. Tatapan mata wanita itu tak lepas menatap Fargo penuh keri