Share

Bab 5. Jealousy

*Carol, aku memiliki meeting pagi. Aku harus berangkat lebih awal. Maaf aku tidak membangunkanmu. Kau tidur terlalu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Aku akan usahakan pulang lebih awal. Your Husband—Fargo. J.*

Carol mengembuskan napas panjang membaca sebuah note yang tertuliskan tulisan tangan sang suami. Carol tak mengira kalau Fargo akan berangkat lebih awal. Tadi malam dirinya dan Fargo terlalu asik menemani Arabella bermain, sampai tak membahas apa pun selain menjaga Arabella. Andai saja Carol tahu Fargo memiliki meeting pagi, pasti Carol akan mengatur alarm lebih pagi lagi, agar bisa membantu sang suami bersiap-siap.  

“Lebih baik aku ke kamar Arabella saja.” Carol bergumam pelan. Wanita itu memutuskan untuk ke kamar Arabella. Carol berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba benak Carol memikirkan sesuatu. Sesuatu di mana memunculkan ide dalam pikirannya.  

“Nanti siang, aku bawakan saja makan untuk Fargo. Sudah lama aku tidak mengantarkan makanan ke kantor.” Carol kembali bergumam sambil tersenyum. Ya, Carol memiliki ide di mana dirinya memasak untuk sang suami, dan membawakan ke kantor suaminya itu. Carol ingat kesibukan Fargo belakangan ini kerap membuat suaminya itu, melupakan makan siang. Lagi pula, Carol pun ingin berkunjung ke kantor suami tercintanya.

***

“Project akhir tahun ini sudah matang. Aku harap jangan sampai ada yang membuat kesalahan. Aku tidak ingin membuat client-ku kecewa.” Fargo berucap dengan nada tegas, dan penuh peringatan pada marketing director yang ada di hadapannya.

“Baik, Tuan. Segala hal sudah disiapkan. Saya pastikan project akan berlangsung dengan lancar.” Sang marketing director menjawab ucapan Fargo, penuh keyakinan.

Alright, kau boleh pergi sekarang. Selesaikan pekerjaanmu yang lain,” balas Fargo dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

“Saya permisi, Tuan.” Sang marketing director pamit undur diri dari hadapan Fargo.

Saat sang marketing director melangkah pergi, Gene masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Tampak Gene menundukan kepala di kala tiba di depan Fargo.

“Tuan,” sapa Gene sopan.

“Ada apa, Gene?” Fargo menatap dingin Gene.

“Tuan, Anda memiliki meeting penting di New York minggu ini. Tapi, Tuan, maaf saya tidak mungkin menemani Anda. Minggu ini kita kedatangan client dari Dubai. Saya harus menyambut client kita dari Dubai, Tuan,” jawab Gene sopan.

Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Pria itu memijat pelipisnya pelan. “Aku berangkat sendiri saja. Tolong kau siapkan dokumen yang aku butuhkan selama di New York.”

“Tuan, banyak sekali dokumen yang harus Anda pegang. Anda tidak mungkin berangkat sendiri. Saya khawatir ada dokumen yang terlewat. Sekarang Anda sudah memiliki sekretaris baru. Tadi saya sempat memeriksa pekerjaan Nona Debora, beliau sangat rapi dalam mengerjakan pekerjaannya. Saran saya, Anda bisa pergi ke New York bersama dengan Nona Debora,” jawab Gene memberikan saran agar Fargo berangkat ke New York bersama Debora.

“Tidak mungkin, Gene. Aku tidak mungkin pergi ke New York bersama Debora.” Fargo berdecak kesal. Hari ini memang Debora sudah mulai bekerja. Hanya saja Fargo tak banyak bicara. Hari ini Fargo sibuk dengan meeting di luar, hingga menjelang siang. Pria itu baru saja tiba di kantor. 

“Kenapa tidak mungkin, Tuan? Bukankah Anda yang bilang kita harus bersikap professional? Nona Debora Tansy sekarang adalah sekretaris Anda, Tuan,” ujar Gene sopan.  

“Kau tidak mengerti, Gene.” Fargo memejamkan mata singkat.

“Maaf permisi?” Debora masuk ke dalam ruang kerja Fargo. Menginterupsi percakapan Fargo dan Gene. Refleks, Fargo dan Gene mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu.

“Ada apa, Debora?” Fargo menatap dingin Debora yang datang.

“Fargo, maaf maksudku, Tuan Fargo, aku membutuhkan tanda tanganmu.” Debora memberikan dokumen yang ada di tangannya, ke hadapan Fargo. Debora meralat panggilannya pada Fargo. Debora tak enak kalau memanggil Fargo hanya nama saja.

Fargo mengambil dokumen yang diberikan oleh Debora, pria itu membaca teliti dan baik dokumen tersebut. Lantas, di kala Fargo sudah benar-benar yakin dokumen tersebut, dia segera membubuhkan tanda tangan di dokumen itu.

“Gene, kau keluarlah selesaikan pekerjaanmu yang lain. Nanti aku akan pikirkan solusi yang tepat untuk meeting-ku di New York,” ucap Fargo dingin pada Gene.

“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Gene menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Fargo.

“Debora, apa semua pekerjaan sekretaris lamaku, sudah kau ketahui?” Fargo memberikan kembali dokumen yang telah dia tanda tangani, pada Debora.

Debora mengangguk. “Sudah, Tuan. Aku sudah mengetahui semua tugas sekretaris lamamu. Aku sudah mencatat dengan baik, apa saja pekerjaan yang masih tertunda.”

Fargo terdiam sebentar. “Kau bisa panggil namaku jika kita sedang berdua. Aku kurang nyaman kau memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’.”

Debora kembali mengangguk. “Iya, Fargo. Sekali lag, terima kasih telah menerimaku bekerja di sini. Aku sangat membutuhkan pekerjaan.”

Fargo bangkit berdiri, menghampiri Debora. Ada sesuatu hal mengganjal dalam hati Fargo, dan ingin bertanya langsung pada Debora, akan tetapi entah kenapa hati Fargo merasa berat untuk bertanya. Padahal semua pertanyaan itu sudah ada di dalam pikirannya.

“Fargo, kalau begitu aku harus pergi dulu. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Debora pamit undur diri dari hadapan Fargo, namun di kala Debora berbalik, tubuh wanita itu tak seimbang. Debora nyaris terjatuh. Refleks, Fargo menangkap tubuh Debora. Fargo memeluk pinggang Debora dengan erat.

Mata Fargo dan mata Debora saling menatap dalam satu sama lain. Seakan mereka hanyut akan tatapan itu. Fargo bahkan sama sekali tak menyadari kalau tengah memeluk Debora dengan erat. Namun…

Ceklek!  

“Sayang—” Carol membuka pintu ruang kerja Fargo, sontak wanita itu terkejut di kala Fargo tengah memeluk erat seorang wanita. Raut wajah Carol berubah. Sorot mata Carol menunjukan kemarahannya.

Fargo panik melihat Carol. Buru-buru pria itu melepaskan pelukannya pada Debora. Fargo terkejut melihat Carol ada di depannya. Tetapi Fargo tetap berusaha untuk tenang, seolah tak terjadi apa pun.

“Sayang, ini Debora, sekretarisku. Tadi dia terjatuh. Aku membantunya.” Fargo segera memperkenalkan Debora pada Carol.

“Debora, itu Carol Jerald, istriku.” Fargo pun segera memperkenalkan Carol pada Debora.

Debora sedikit menundukan kepalanya di depan Carol. “Selamat siang, Nyonya Carol.”

Carol mendekat. Menatap tajam Debora. Raut wajah Carol tak bisa ditutupi begitu marah dan cemburu. Hamil memang membuat Carol sangatlah sensitive. Hanya saja, Carol berusaha mengendalikan diri. Walau tak dipungkiri itu sangatlah sulit.  

“Kau sekretaris baru di sini?” tanya Carol dingin.

Debora mengangguk. “Benar, Nyonya. Aku sekretaris baru di sini.”

“Debora, pergilah, selesaikan pekerjaanmu. Aku ingin berdua dengan istriku. Kalau ada yang mencariku, katakan aku tidak bisa diganggu untuk dua jam ke depan,” ucap Fargo memberi perintah pada Debora.

“Baik, Tuan. Aku permisi, Tuan, Nyonya.” Debora pamit undur diri dari hadapan Fargo dan Carol.

Saat Debora sudah pergi, Fargo melangkah mendekat pada Carol, dan hendak memberikan pelukan pada sang istri, sayangnya pelukan Fargo ditolak oleh istrinya itu.

“Jangan menyentuhku. Tadi kau baru saja menyentuh wanita lain,” seru Carol kesal.

“Carol, tadi aku hanya membantu Debora saja. Aku mohon jangan berpikiran aneh-aneh, Carol. Debora hanya sekretarisku.” Fargo membelai pipi Carol lembut, memberikan pengertian pada sang istri.

“Sekretarismu sangat cantik, bahkan lebih cantik dariku. Kau pasti menyukainya. Itu yang membuatmu menolongnya, kan?” tuduh Carol seraya menatap Fargo tajam. Mata Carol sudah memerah, menahan amarah akibat kecemburuannya.

Fargo berdecak seraya mengumpati keadaan di mana Carol datang tepat dirinya membantu Debora. “Carol, kaki Debora masih belum benar-benar pulih. Aku menabraknya, Carol.”

“Apa maksudmu?” Kemarahan Carol sedikit meredam mendengar penjelasan Fargo.

Fargo menangkup kedua pipi Carol, menyeka air mata yang keluar dari sudut bibir sang istri. “Kau ingat, kan waktu itu aku bilang padamu, kalau aku menabrak seorang wanita?”

Carol mengangguk pelan. “Ya, aku mengingatnya.”

“Wanita yang aku tabrak waktu itu adalah Debora, sekretaris baruku. Waktu itu aku tidak tahu kalau Debora, melamar pekerjaan di perusahaanku. Aku juga baru tahu kemarin. Maaf, aku belum bercerita ini padamu.” Fargo mengecup bibir Carol, memberikan pengertian. Fargo memilih menceritakan, walau tak semuanya. Fargo tak bisa menceritakan pada Carol tentang hubungannya dengan Debora di masa lalu. Fargo tak ingin membuat Carol berpikir negative. Kehamilan membuat Carol mudah sekali berpikiran aneh-aneh. Itu kenapa Fargo memilih untuk tidak bercerita.

“Wanita yang kau tabrak itu, Debora?” ulang Carol memastikan.

“Iya, Sayang. Apa yang kau lihat tadi salah paham.” Fargo mengecupi kedua mata Carol. “Aku murni hanya membantu Debora atas dasar kasihan. Tidak lebih dari itu.” Fargo menatap dalam mata indah Carol. “Dan aku tidak suka kau membandingkan dirimu dan Debora. Di mataku, kau adalah yang tercantik.”

Carol mulai tenang mendengar penjelasan Fargo. Carol membenamkan wajahnya di dada bidang Fargo sambil berkata, “Maafkan aku sudah mencurigaimu.”

Fargo mengusap punggung Carol. “Tidak apa-apa, aku mengerti.”

Carol mendongakan wajahnya, menatap wajah sang suami. “Ayo kita makan bersama. Aku sudah membuatkanmu makanan.” Carol menunjukan paper bag yang ada di tangannya pada Fargo.

Fargo tersenyum dan mencium gemas bibir Carol. “Terima kasih sudah membuatkan makanan untukku.” Lalu, Fargo merengkuh bahu Carol—membawa Carol menuju kamar pribadinya yang ada di dalam ruang kerjanya.

Di sisi lain, Debora masih berdiri di ambang pintu, melihat dari sela-sela pintu kemesraan dan keintiman Fargo dan Carol. Tampak mata Debora sudah berkaca-kaca. Air mata wanita itu sudah tak lagi bisa tertahan. Hatinya sakit luar biasa melihat kemesraan Fargo dan Carol.

“Andai kau tahu kenyataan yang sebenarnya, Fargo,” gumam Debora lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status