Tubuh Fargo membatu melihat sosok wanita yang ada di hadapannya itu. Mata cokelat Fargo memancarkan jelas keterkejutannya. Sosok wanita yang telah lama tak dia lihat, kini ada di depan mata Fargo. Ya, Fargo dan sosok wanita di hadapannya, masih saling diam membisu, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Tampak manik mata wanita biru wanita itu begitu memancarkan kerinduan pada Fargo. Ada hasrat keinginan dalam diri wanita itu, untuk menyentuh wajah Fargo, tapi mati-matian wanita itu mengendalikan diri, agar tak melewati batasan.
Saat mereka saling beradu pandang, Fargo lebih dulu berhasil menyadarkan diri. Fargo pun kini memberikan tatapan dingin dan tegas, serta terselimuti rasa khawatir. Terlebih pria itu melihat kaki wanita yang ditabraknya itu terluka cukup parah.
“Debora, kakimu terluka cukup parah.” Fargo berbicara dengan nada dingin.
“Ah, ini tidak apa-apa, Fargo. Hanya luka kecil,” jawab wanita bernama Debora dengan nada pelan.
“Itu bukan luka kecil. Kakimu mengeluarkan banyak darah. Kita ke rumah sakit sekarang.” Fargo langsung menggendong Debora gaya bridal, melangkah masuk ke dalam mobil. Debora nampak canggung berada digendongan Fargo, tetapi nampaknya wanita itu berusaha untuk tenang. Apalagi posisi gendong ini membuat keintiman di antara Debora dan Fargo.
***
“Aw—” Debora sedikit meringis di kala dokter sudah selesai menjahit luka di kakinya. Rasa sakit Debora bukan timbul dari jahitan, melainkan suntikan jarum bius. Perihnya masih terasa. Memang luka di kaki Debora cukup dalam, membuat dokter akhirnya harus menjahit luka di kaki wanita itu.
“Bagaimana keadaannya? Apa ada luka dalam di kakinya?” tanya Fargo seraya menatap sang dokter serius. Sedari tadi, Fargo ada di ruang tindakan. Fargo menemani Debora, di kala dokter tengah melakukan tindak operasi. Bagaimana pun, Debora adalah tanggung jawabnya. Kecerobohannya dalam mengemudikan mobil, membuat Debora sampai terluka.
“Tuan Jerald, dari hasil rontgen Nyonya Debora Tansy, menunjukan beliau tak mengalami luka dalam. Tulang beliau pun tak ada yang patah. Anda tidak usah khawatir, Tuan Jerald. Luka luar di kaki Nyonya Debora Tansy akan segera membaik. Pesan saya untuk Nona Debora Tansy, tolong habiskan obat yang telah saya resepkan,” jawab sang dokter sopan.
Fargo menganggukan kepalanya. “Thanks.”
“Terima kasih banyak, Dokter,” jawab Debora hangat.
“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya.” Dokter itu segera pamit undur diri, bersama dengan perawat.
Fargo dan Debora saling melemparkan pandangan, di kala sang dokter sudah pergi. Detik selanjutnya, Fargo mendekat, menatap Debora dengan tatapan lekat dan tegas. Terlihat Debora sedikit takut dan salah tingkah saat Fargo menatapnya.
“F-Fargo, m-maafkan aku karena sudah menyusahkanmu,” ucap Debora dengan suara pelan. Nada bicara Debora tersirat penuh rasa bersalah.
“Kenapa kau bisa ada di sini, Debora?” tanyaa Fargo dingin.
Debora menggigit bibir bawahnya. “A-aku kebetulan sedang berlibur, Fargo. Maaf, tadi aku menyeberang tidak melihat jalan.”
Fargo terdiam sebentar. Sorot mata Fargo, menunjukan jutaan arti terdalam. “Lain kali berhati-hatilah. Lukamu tidak terlalu parah, karena aku mampu rem mendadak. Kalau sampai aku tidak menginjak rem, kau bisa saja terpental dan luka jauh lebih parah lagi.”
Debora mengangguk. “Iya, Fargo. Sekali lagi, maafkan kecerobohanku. Aku berjanji akan jauh lebih berhati-hati lagi.”
“Aku harus pergi. Ada urusan penting yang harus aku kerjakan. Aku akan menghubungi orangku untuk mengantarkanmu pulang,” jawab Fargo datar.
“Fargo, tunggu.” Debora menahan lengan Fargo, tak membiarkan Fargo pergi.
“Ada apa, Debora?” Fargo menatap dingin Debora.
“K-kita harus bicara sebentar tentang masa lalu kita. Dulu—”
“Debora, apa yang terjadi di antara kita sudah berlalu. Itu sudah sangat lama. Aku tidak mau membahas apa pun yang telah berakhir.” Fargo memotong ucapan Debora, dengan nada tegas.
Mata Debora berkaca-kaca, menatap pilu Fargo. “Apa kau sudah tidak sama sekali memikirkan tentangku, Fargo?” tanyanya lirih.
“Aku sudah menikah. Berhenti berbicara omong kosong denganku.” Fargo memejamkan mata singkat, meredam emosinya. “Aku harus pergi sekarang. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Orangku akan datang ke sini, untuk mengantarmu pulang, dan mengurus administrasi rumah sakit.”
Tanpa lagi berkata, Fargo melangkah pergi meninggalkan Debora. Tampak bulir air mata Debora, menetes jatuh membasahi pipinya. Air mata yang menunjukan kepiluan wanita itu. Raut wajah Debora pilu. Debora tak menyangka akan kembali melihat Fargo. Hal yang paling menyakitkan adalah, Fargo mengatakan sudah menikah. Sebuah kata yang begitu menusuk di hati Debora.
“Andai kau tahu tentang segalanya, Fargo. Apa yang terjadi di masa lalu, hanyalah salah paham,” isak Debora dengan penuh luka.
***
Malam kian larut. Langit gelap nampak mendung. Tak ada bulan dan bintang, sebagai penghias di langit yang indah itu. Carol berdiri di kamar, melihat cuaca dari balik jendela. Waktu menunjukan pukul dua belas malam, tapi Fargo tak kunjung pulang. Carol ingin menghubungi nomor Fargo, tetapi Carol takut mengganggu sang suami. Mungkin saja saat ini suami tercintanya itu tengah sibuk, dengan masalah yang datang.
Kebakaran di gudang penyimpanan barang, meninggalkan banyak luka mendalam. Apalagi Carol mendengar banyak korban jiwa yang berjatuhan. Tentu keluarga yang ditinggalkan sangat terpukul. Carol tak bisa membayangkan, betapa terlukanya para keluarga yang ditinggalkan orang yang terkasih.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka. Refleks, Carol mengalihkan pandangannya, ke arah pintu. Seketika, senyum di wajah Carol terlukis melihat Fargo masuk ke dalam kamar.
“Sayang, akhirnya kau pulang.” Carol lansung memeluk sang suami.
“Maaf, aku lama. Tadi saat di perjalanan menuju gudang penyimpanan barang, aku menabrak seorang wanita,” ucap Fargo yang sontak membuat Carol terkejut.
“Kau menabrak seorang wanita? Apa kau mengalami luka? Lalu bagaimana keadaan wanita itu?” Carol memegang kedua bahu sang suami, memastikan bahwa sang suami tercinta tak mengalami luka.
“Aku baik-baik saja. Wanita yang aku tabrak terluka sedikit parah, sampai harus dijahit. Tapi dokter mengatakan dari hasil rontgen, tidak ada luka dalam yang diderita wanita itu. Tenanglah. Aku sudah bertanggung jawab atas kesalahan yang aku perbuat,” jawab Fargo seraya membelai pipi Carol.
Carol mendesah lega. “Sayang, hati-hati. Kan aku sudah bilang, jangan mengebut kalau menyetir mobil. Untung wanita yang kau tabrak tidak mengalami luka parah. Kalau sampai mengalami luka parah, bagaimana? Aku dan Arabella selalu membutuhanmu. Kami tidak mau sampai terjadi hal buruk padamu.”
“Maaf membuatmu cemas.” Fargo menangkup kedua pipi Carol, mengecup bibir sang istri.
Carol tersenyum. “Siapa nama wanita yang kau tabrak itu? Apa kau mengingatnya, Sayang?”
“Tidak, aku tidak mengingatnya. Tadi aku tidak sempat menanyakan namanya. Aku hanya langsung membawanya ke rumah sakit,” jawab Fargo berdusta. Fargo memilih tak menyebut nama Debora Tansy di depan Carol. Sekalipun, Carol tak mengenal, tapi Fargo lebih memilih untuk tak memberitahu sang istri. Ada alasan sendiri kenapa sampai Fargo, tak mau bercerita.
Carol mengangguk. “Yasudah, yang paling penting wanita itu baik-baik saja. Lalu bagaimana dengan gudang penyimpanan barang? Apa kau sudah tahu penyebab sampai terjadi kebakaran?”
“Kemungkinan penyebab terjadi kebakaran di gudang penyimpanan barang adalah korsleting listrik. Saat ini orangku masih menyelidiki. Aku pun sudah meminta Gene mengurus asuransi karyawan yang luka dan meninggal. Serta uang santunan untuk para karyawan,” jawab Fargo seraya mengecup bibir Carol. “Bagaimana keadaan putri kita? Apa tadi dia rewel?” tanyanya. Fargo selalu mencemaskan putri kecilnya itu.
“Arabella masih tidur, Sayang. Dia anak yang pintar. Dia tidak rewel.” Carol memeluk suami tercintanya itu.
“Ya, dia memang anak yang pintar.” Fargo membalas pelukan Carol, dan mengecup puncak kepala istrinya itu.
‘Maaf, aku sudah berbohong padamu, Carol,’ batin Fargo dengan raut wajah sedikit bersalah, karena telah berbohong pada sang istri.
“Carol, aku harus berangkat sekarang. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan, dan tidak bisa ditunda.” Fargo berpamitan pada sang istri, seraya membenarkan posisi arloji di pergelangan tangannya. Tampak jelas Fargo begitu terburu-buru.“Apa kau tidak mau sarapan dulu, Sayang?” Carol mendekat pada sang suami sambil menggendong Arabella. Putri kecilnya itu begitu tenang dan tak rewel. Hanya di keadaan tertentu membuat Arabella rewel. Padahal seaslinya, Arabella adalah anak yang tenang dan juga patuh pada orang tua.“Tidak, Sayang. Aku akan sarapan di kantor. Hari ini banyak sekali yang harus aku urus.” Fargo mencium bibir Carol, dan pipi bulat Arabella. “Nanti aku akan menghubungimu, kalau aku sudah tiba di kantor.” Fargo melanjutkan ucapannya pada sang istri.Carol menghela napas dalam. “Baiklah, tapi jangan sampai tidak sarapan. Aku tidak mau sampai kau sakit.”“Yes, Mrs. Jerald.” Fargo memberikan kecupan di bibir dan hidung Carol. “Jangan khawatir. Aku pasti akan selalu menjaga diri
“Tuan, Anda menerima Nona Debora Tansy sebagai sekretaris baru Anda?” Gene bertanya di kala Debora sudah pulang. Raut wajah Gene bingung sekaligus tak mengerti. Pancaran mata Gene menunjukan jelas keterkejutanya.Fargo melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Fargo menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. “Debora membutuhkan pekerjaan. Dia bilang padaku sudah menjauh dari keluarganya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjauh dari keluarganya. Aku tidak berhak ikut campur akan kehidupan pribadi Debora. Alasan aku menerima Debora, karena Debora mengatakan memiliki anak yang masih sekolah. Aku tidak tega padanya.” “Anak?” Raut wajah Gene berubah mendengar perkataan Fargo. “Maaf, Tuan. Anda bilang kalau Nona Debora memiliki anak?” Gene bertanya memastikan. Gene takut, apa yang didengarnya ini salah.Fargo mengangguk. “Ya, Debora sudah menikah dan memiliki anak. Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Wajar kalau sekarang Debora sudah menikah dan memiliki anak. Usianya sud
*Carol, aku memiliki meeting pagi. Aku harus berangkat lebih awal. Maaf aku tidak membangunkanmu. Kau tidur terlalu pulas. Aku tidak tega membangunkanmu. Aku akan usahakan pulang lebih awal. Your Husband—Fargo. J.*Carol mengembuskan napas panjang membaca sebuah note yang tertuliskan tulisan tangan sang suami. Carol tak mengira kalau Fargo akan berangkat lebih awal. Tadi malam dirinya dan Fargo terlalu asik menemani Arabella bermain, sampai tak membahas apa pun selain menjaga Arabella. Andai saja Carol tahu Fargo memiliki meeting pagi, pasti Carol akan mengatur alarm lebih pagi lagi, agar bisa membantu sang suami bersiap-siap. “Lebih baik aku ke kamar Arabella saja.” Carol bergumam pelan. Wanita itu memutuskan untuk ke kamar Arabella. Carol berbalik, dan hendak melangkah pergi. Namun, tiba-tiba benak Carol memikirkan sesuatu. Sesuatu di mana memunculkan ide dalam pikirannya. “Nanti siang, aku bawakan saja makan untuk Fargo. Sudah lama aku tidak mengantarkan makanan ke kantor.” Car
Fargo menegak vodka di tangannya, seraya memejamkan mata singkat. Pria itu berdiri di balik kaca besar yang ada di ruang kerja mansionnya. Tampak tatapan mata Fargo menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang telah berhasil mengusik ketenangan hati dan pikirannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Fargo mengalihkan pandangannya, pada ponselnya yang ada di atas meja. Fargo mendekat, mengambil ponsel itu—menatap ke layar tertera nomor Gene di sana. Fargo mengembuskan napas kasar. Pria itu enggan untuk menjawab, karena pusing di kepalanya. Tetapi, Fargo khawatir kalau ada hal penting yang ingin Gene katakan padanya. Akhirnya, Fargo memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut.“Ada apa, Gene?” jawab Fargo kala panggilan terhubung.“Selamat malam, Tuan. Maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memastikan minggu ini, Anda terbang ke New York bersama siapa?” tanya Gene penuh sopan dari seberang sana. Fargo terdiam mendengar pertanyaan Gene. Fargo
“Mommy.” Andrew berlari, memeluk Debora dengan begitu erat. Bocah laki-laki itu nampak senang karena ibunya sudah pulang dari kantor. Pun Debora membalas pelukan Andrew tak kalah erat. Debora menundukan tubuhnya, bersejajar pada tubuh Andrew.“Anak Mommy yang tampan, apa kau merindukan Mommy, Sayang?” Dobora mengelus pipi Andrew, dan memberikan kecupan di pipi putranya itu.Andrew menganggukan kepalanya. “Ya, Mommy. Aku sangat merindukanmu.”Debora tersenyum. “Bagaimana dengan sekolahmu, Sayang? Semua lancar, kan?”“Mommy, aku di sekolah mendapatkan nilai A. Mommy tenang saja, aku smart boy,” kata Andrew dengan senyuman riang di wajahnya.“Good, kau memang anak Mommy yang pintar.” Debora mencium pipi Andrew. “Sayang, ada hal yang Mommy ingin katakan padamu.”“Apa, Mommy?” tanya Andrew polos seraya menatap Debora.“Minggu ini, Mommy memiliki perjalanan bisnis ke New York. Tidak akan lama. Hanya dua haru saja. Kau tidak apa-apa, kan ditinggal bersama pengasuhmu?” ujar Debora lembut.“Ja
Awan putih mengumpul menutupi daratan. Keheningan sempat menyelimuti pesawat pribadi yang telah mengudara. Ketinggian puluhan ribu kaki dari daratan, membuat hanya awan putih yang menjadi object pandang.“Fargo, putrimu sangat cantik. Dia mirip sekali denganmu.” Debora memulai sebuah percakapan. Setelah berjam-jam keheningan menyelimuti, akhirnya wanita itu memiliki memberanikan diri untuk mengeluarkan suara. Debora memang sudah sejak tadi menahan diri. Dia ingin sekali menanyakan tentang kehidupan pribadi Fargo.“Thanks,” jawab Fargo singkat dengan tatapan yang masih fokus pada laporan di tangannya.“Siapa nama lengkap putrimu dan berapa usianya, Fargo?”“Arabella Fargo Jerald. Usianya hampir 2 tahun.” “Nama yang indah. Kau beruntung memiliki istri dan putri yang sangat cantik.” Fargo terdiam sebentar. Tatapan pria itu mulai teralih pada Debora. Fargo hendak mengeluarkan pertanyaan yang selama ini ada di pikiran. Akan tetapi, semua pertanyaan itu seakan sulit untuk lolos dari mul
Dua hari sudah Fargo dan Debora berada di New York. Sejak kejadian tempo hari, mereka sudah jarang berbicara kecuali membahas pekerjaan. Lebih tepatnya di kala Debora ingin berusaha membahas tentang di luar pekerjaan, maka Fargo selalu saja memilih menghindar dari Debora. Sepertinya Fargo tak mau membahas apa yang telah terjadi di masa lalu.Hal itu membuat Debora tak bisa mengatakan apa pun di luar pekerjaan. Debora hanya bisa pasrah di kala Fargo mulai bersikap dinginnya. Fargo seakan memasang dinding tinggi, pengahalang agar Debora tak bisa mendekat. Tak menampik tindakan Fargo membuat Debora menunjukan lukanya.“Debora, apa kau sudah siap? Kita harus ke bandara sekarang,” ucap Fargo seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Terlihat jelas Fargo yang begitu tak sabar ingin segera kembali ke Los Angeles.Ya, hari ini adalah hari di mana Fargo dan Debora kembali ke Los Angeles. Sesuai dengan rencana Fargo, bahwa pria itu hanya menginginkan dua hari saja di New Yo
Lidah Fargo kelu tak mampu mengeluarkan sebuah kata. Tubuhnya membeku di kala ada seorang bocah laki-laki memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’. Fargo dilanda kebingungan. Pria itu tak mengerti ada apa dengan semua ini.“Daddy, ayo masuk! Aku sudah merindukanmu.” Andrew tersenyum pada Fargo, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Sedangkan Fargo masih tetap bergeming. Kaki Fargo seakan berat untuk melangkah masuk. Semua yang ada di pikirannya seakan berperang dengan isi hatinya.“Fargo, masuklah. Andrew sangat merindukanmu. Setelah ini aku akan menjelaskan padamu,” jawab Debora pelan dengan senyuman di wajahnya. Tatapan Debora begitu hangat, meminta Fargo untuk masuk ke dalam. Wanita itu berjanji akan menceritakan semuanya pada Fargo, tanpa terkecuali.Fargo mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Sorot mata Fargo seakan menunjukan menuntut penjelasan. Detik selanjutnya, Fargo mendekat ke arah Andrew. Bocah laki-laki itu nampak sangat senang akan kehadirannya, membuat hati Fargo bergetar