Mas Dimas mulai melajukan mobil VW Kodok antiknya perlahan keluar dari halaman rumahku. Menyusuri jalanan desaku yang masih berbatu, melalui kebun, rumah warga dan berujung ke area persawahan yang luas membentang. Kami masih saling diam terpaku. Mas Dimas fokus menyetir, sedangkan aku hanya menatap kosong pemandangan di balik jendela kaca mobil ini dengan mata yang dipenuhi embun.
"Ris, yang kuat ya ... maafin aku yang secara tidak langsung sudah bikin nasibmu jadi begini." Mas Dimas mulai membuka percakapan.Aku masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa."Mas Dimas semalam udah coba telepon si Reza, dan sialnya dia nggak mau angkat telepon dariku. Dasar laki-laki pengecut!" geram Mas Dimas sambil memukulkan tangannya yang terkepal di atas stir."Reza yang kukenal saat masih sama-sama di pondok dulu itu, adalah sosok yang baik, pendiam dan sholeh. Makanya saat dia minta tolong sama Mas untuk dicarikan calon pendamping, mas tidak ragu untuk mengenalkannya padamu. Aku nggak nyangka pola pikirnya sepicik itu. Cari istri kok cuma diliat dari fisiknya aja."Aku menghela napas panjang. Bulir bening kembali menetes di pipiku."Ris, kamu nangis ya?" Mas Dimas langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan, masih di areal persawahan."Ris, aku paling nggak bisa liat perempuan menangis. Sayangi air matamu Ris, air matamu terlalu berharga untuk laki-laki pengecut dan pecundang seperti Reza."Ku usap cepat pipiku, Mas Dimas masih menatapku lekat. Aku mencoba untuk menenangkan perasaanku yang sedang kalut ini. Akhirnya aku mengangguk pelan. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan."Baiklah Mas, aku berjanji tidak akan menangis lagi. Aku akan berjuang untuk tetap tegar. Ini mungkin ujian dari Allah agar aku bisa naik level Mas. Tidak mengapa aku kehilangan suami, asal aku tidak kehilangan Allah, asal Allah selalu menyayangiku, menjagaku dan ridho padaku.""Nah ... itu baru cakep!" Mas Dimas tersenyum sambil menjentikan jarinya."Mas sangat bangga padamu Ris, Mas akan selalu berada di belakangmu dan mendukungmu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong sama Mas ya!"Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.Mas Dimas kembali melajukan mobilnya, kini mobil telah melaju dengan mulus di jalan raya."Oya, di mana sebaiknya Kamu tinggal nanti ya Ris?""Kita cari kos-kosan murah di sekitar kampus aja Mas, siapa tau nanti aku bisa buka usaha kecil-kecilan di sana.""Oke, siap Ris!" jawab Mas Dimas sambil menambah laju kecepatan mobilnya.Waktu masih pagi, semoga perjalanan lancar dan kami bisa secepatnya mendapatkan kos-kosan.***Dua jam kemudian kami sudah tiba di kota Jogja. Setelah melewati Ring Road Utara, mobil kami berbelok ke arah jalan Kaliurang. Menyusuri gang yang ada di jalan itu. Ya di situ dekat dengan kampus UGM.Pandanganku fokus ke arah kiri jalan, mengamati rumah-rumah yang berjejer sepanjang gang, berharap ada tulisan yang ditempel di dinding rumah "Kos-kosan, masih ada kamar kosong" namun belum juga kujumpai tulisan itu. Ternyata tidak gampang mencari kos-kosan tanpa ada referensi terlebih dahulu."Ris, kita makan sego pecel aja dulu yuk. Perutku udah mulai laper lagi nih," ajak Mas Dimas dengan ekspresi wajah nyengirnya."Kebetulan Mas tau tempat makan sego pecel yang enak di daerah sini. Di pinggir Selokan Mataram. Dulu waktu Mas Dimas kuliah di sini, sering banget makan di sana."Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan cerita Mas Dimas. Aku yang dulunya kuliah di Solo memang nggak begitu hafal daerah Jogja. Jarang banget main ke Jogja.Tak berapa lama, kami tiba di warung SGPC (Sego Pecel). Warungnya nampak sederhana tapi ramai dikunjungi pembeli.Setelah memesan makanan kami pilih duduk di tempat yang paling ujung, kebetulan ada space kosong di sana.Tiba-tiba gawaiku yang ada di dalam swing bag-ku berdering. Gegas kurogoh gawaiku, nampak panggilan dari Mas Reza tertera di layar. Sesaat aku terdiam termangu, ada apa dia meneleponku. Haruskah kuterima telepon darinya?"Telepon dari siapa, Ris?" tanya Mas Dimas penasaran."Dari Mas Reza, Mas," jawabku lirih."Terima Ris, nanti kalau kalian sudah bicara, kasih teleponnya ke aku!" perintah Mas Dimas dengan nada emosi.Kutekan lambang telepon berwarna hijau di layar, lalu kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku. Terdengar suara Mas Reza di seberang sana."Halo ... Ris ... assalaamu'alaikum," sapa lelaki yang sudah menjadi mantan suamiku itu."Wa'alaikumussalam," jawabku pelan."Eh ... anu Ris, sebelumnya aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi ini. Kuharap Engkau bisa memakluminya. Begini ... orang tuaku sudah mengetahui tentang hal ini. Awalnya mereka marah padaku Ris. Tapi akhirnya mereka mau menerima keputusanku. Cuma ... anu ... duh aku sebenernya nggak enak mau ngomong ini sama Kamu."Mas Reza agak lama terdiam. Akupun juga hanya diam menunggu apalagi yang hendak disampaikannya."Ini ... ini soal cincin tunangan dan mahar yang sudah kuberikan padamu ... mhh ... anu ... bundaku mau memintanya lagi, karena cincin itu adalah yang diwariskan turun-temurun untuk istri dari keturunan Eyangku. Kuharap Kamu bisa mengerti Ris, sekali lagi mohon maaf aku terpaksa memintanya lagi. Sebetulnya aku sudah mengikhlaskannya untukmu Ris .... "Aku menghela napas panjang. Aku nggak nyangka mantan ibu mertuaku yang meminta ini semua. Untuk cincin okelah nggak papa kalau mau diminta lagi. Tapi mahar ... ah sudahlah aku tak perduli lagi. Aku juga rasanya ingin melemparkan semuanya ke muka lelaki itu.Untung benda itu semuanya kubawa. Jika tidak bisa repot nantinya kalau aku harus pulang kembali ke rumah untuk mengambilnya."Ambil aja lagi semuanya Mas. Aku juga nggak butuh barang itu. Melihatnya hanya membuat hatiku terluka." Jawabku tegas.Tiba-tiba Mas Dimas merebut gawai yang sedang kupegang."Heh ... Reza!! Kurang ajar Kamu ya!! Kamu udah menyakiti adek sepupuku!! Kamu itu memang nggak punya hati ya?! Ayo kita ketemuan, aku mau buat perhitungan sama Kamu!!" bentak Mas Dimas dengan suara keras.Haduh, semua pengunjung SGPC jadi melihat ke arah kami. Aku jadi malu."Mas ... udah Mas, malu diliat orang-orang!" Aku memohon dengan suara yang tertahan."Halah ... aku nggak peduli, aku udah nggak bisa lagi nahan emosiku." Mas Dimas menatapku dengan wajah memerah."Heh!! Reza, kutunggu Kamu di depan Masjid Kampus UGM ba'da Dzuhur!!" teriak Mas Dimas dan tidak lama kemudian telepon akhirnya ditutup olehnya.Mas Dimas sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia tak perduli semua orang menatapnya di warung SGPC ini.Mas Dimas ngajak ketemuan dengan Mas Reza setelah Dzuhur. Ya sudahlah sekalian aku bisa memgembalikan cincin dan maharnya. Biar aku nggak ada urusan lagi dengan lelaki itu."Ris, sekarang masih jam setengah sebelas. Kita ke Masjid Kampus aja ya, sekalian nunggu waktu dzuhur kita bisa sholat dhuha dan istirahat di sana. Nanti mas juga mau browsing info kos-kosan di aplikasi online," ucap Mas Dimas setelah menghabiskan sepiring sego pecelnya.Aku hanya mengangguk tanda menyetujui idenya."Buruan dihabiskan makannya Ris," desak Mas Dimas yang melihat aku makan dengan lambat. Aku sebetulnya memang tidak selera untuk makan. Tapi aku juga harus memperhatikan kesehatanku, karena aku harus kuat menjalani hidupku yang baru di kota ini."Ya udah yuk Mas, aku udah kenyang," ajakku untuk segera meninggalkan warung ini meski masih tersisa separuh nasi di piringku.Kamipun beranjak meningg
Reza merasa kebingungan melihat Riris dan Dimas berlari meninggalkannya begitu saja di area parkir Masjid."Apa-apaan ini, aku ditinggalin begitu aja, tanpa ada yang pamit padaku. Padahal hampir saja cincin dan mahar itu berada di tanganku, huh sial!!" Reza menyepakkan kaki kanannya di atas tanah. Wajahnya nampak kesal.Akhirnya Reza berjalan kembali ke mobilnya dan berniat untuk pulang kembali ke rumah."Huft, kalo begini jadi ribet urusannya. Padahal tadi itu dengan mudah aku bisa mendapatkan kembali cincin dan maharnya. Ini pasti nanti bunda akan mendesakku lagi soal ini." Reza menggerutu sendiri sambil mengendarai mobilnya menuju rumah.Sesampainya di rumah, Reza langsung disambut oleh bundanya yang nampak begitu panik."Reza ... untung Kamu cepet pulang. Dari tadi bunda teleponin Kamu tapi nggak nyambung terus sih!"Reza mengeluarkan gawainya dari saku dan mengeceknya."Waduh maaf Bun, ternyata Reza baterai handphoneku habis. Ada apa toh Bun, kok keliatan panik gitu?""Sini duduk
Melihat dokter dan Dimas keluar dari ruang ICU dan berjalan mendekati kursi tempat Riris dan ibunya duduk, mereka berdua segera beranjak dari duduknya. Dengan wajah cemas Riris langsung bertanya kepada dokter tersebut."Dok, gimana kondisi bapak saya Dok?""Ada kabar gembira, baru saja Pak Rohman telah sadar. Jika sampai besok kondisinya tetap stabil, maka bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Namun pesan saya sebaiknya pasien dijaga suasana hatinya, hindari hal-hal yang bisa memicu stress agar penyembuhannya bisa berjalan cepat," jelas dokter.Serempak Riris dan ibunya mengucap syukur, "Alhamdulillaah .... "Riris mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian tersungging seulas senyum manis dari wajahnya. Dia merasa lega dan bahagia mendengar berita baik tentang bapaknya."Baiklah saya permisi dulu," pamit dokter."Iya Dok, terima kasih banyak," sahut ibunya Riris."Ris, paklek sadar tak lama saat aku berdiri di sisi ranjang paklek. Beliau sempet manggil namamu. Aku
Setengah berlari aku menuju kamar tempat bapak dirawat. Hatiku diliputi rasa cemas tak karuan. Ya Allah semoga bapak baik-baik saja, tak henti-hentinya ku berdoa dalam hati. Jantungku semakin berdebar kencang entah kenapa, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.Akhirnya sampai juga aku di depan kamar tempat bapak dirawat, segera kubuka pintu kamar. Mataku langsung tertuju pada ranjang yang berada di sudut kamar. Aku bernapas lega saat melihat bapak sedang tertidur dengan posisi miring membelakangi arah aku berdiri.Kulangkahkan kakiku menuju nakas di samping ranjang dan meletakkan obat yang baru saja kutebus di atas nakas. Bapak sedang tidur, sebaiknya aku tidak usah membangunkannya dulu.Napasku masih ngos-ngosan, ku hempaskan diriku di atas sofa kecil di depan ranjang bapak. Fiuuh, alhamdulillah bapak nggak kenapa-kenapa. Ya Rob, kenapa Mas Reza dan ibunya itu selalu menguji kesabaran kami. Semoga saja aku nggak ada lagi urusan dengan mereka setelah ini. Pergi jauh-jauh saja darik
Proses memandikan dan mengkafani jenazah bapaknya Riris selesai sebelum waktu Ashar. Semuanya berjalan lancar, jenazah tiba di rumah duka pukul empat sore. Di rumah sudah berdiri kembali tenda untuk para pelayat. Bendera kuning juga sudah di ikat di gapura masuk lingkungan dukuh tempat Riris tinggal. Para pelayat yang sebagian besar warga desa dan sekitarnya sudah banyak yang datang. Mendiang Pak Rohman semasa hidupnya memang dikenal baik, ramah dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat di desa tersebut, jadi tidak heran jika banyak warga dan kerabat yang datang untuk takziah. Mendiang bapaknya Riris juga dikenal oleh banyak petani, karena semasa hidup dia usahanya adalah sebagai tengkulak, menampung dan membeli semua hasil panen padi warga desa dan sekitarnya untuk kemudian di kirim ke gudang yang lebih besar di kota. Selain itu mendiang Pak Rohman juga memiliki beberapa petak sawah warisan dari orang tuanya. Dari situlah mendiang bapaknya Riris bisa membiayai sekolah Riris hingg
Aku tidak menyangka akan nasib yang menimpa Riris. Sungguh malang sekali dia, sejak menikah dengan sahabatku, Reza. Tak kukira Reza bisa setega itu terhadap Riris. Harapanku yang sangat besar terhadap Reza agar bisa membahagiakan adek sepupuku itu, ternyata jauh dari kenyataan. Justru luka dan kesedihan yang Reza berikan padanya.Malam hari, setelah pulang dari rumah Riris, selepas mengurusi pemakaman mendiang Paklek Rohman, aku merenung di kamarku. Memikirkan nasib Riris yang malang. Aku merasa ikut andil dalam musibah yang telah dialaminya.Seandainya saja aku tidak menjodohkannya pada Reza, mungkin Riris tidak akan mengalami nasib seperti ini. Namun sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai dan menyesali apa yang sudah terjadi. Ini semua sudah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa.Tiba-tiba ingatanku melayang kembali ke masa kecil, saat itu aku yang masih kelas lima SD, melihat Riris kecil yang sedang menangis sendirian, duduk di dangau yang ada di tepi sawah. Saat it
Sementara itu di Jogja, Reza sudah menjalani aktifitas seperti biasanya. Bekerja dan kadang nongkrong di Kafe bersama teman-teman kerjanya. Di hari week end dia suka berolah raga, futsal, fitness, kadang jogging di depan Gedung Graha Sabha Pramana UGM, niatnya sih sekalian cuci mata. Siapa tahu dia bisa bertemu dengan mahasiswi cantik di sana. Dasar Reza, matanya masih suka jelalatan, dia sepertinya sudah betul-betul melupakan pernikahannya dengan Riris. Tidak ada rasa bersalah dan menyesal di dirinya."Za, gimana proses pengajuan Pembatalan Pernikahanmu di Pengadilan Agama?" tanya bundanya Reza ketika mereka sedang sarapan pagi itu."Alhamdulillah lancar Bun, berkat bantuan Om Andri yang bekerja di sana, semuanya jadi lebih mudah, tinggal menunggu sidang keputusan pengadilan" jawab Reza setelah meneguk secangkir kopi latte nya."Baguslah kalau begitu Za, semoga segera diputuskan oleh pengadilan, agar statusmu tetap lajang di KTP, biar nanti Kamu gampang kalau mau nyari istri lagi, ng
Mobil minibus mewah berwarna hitam mengkilat itu kemudian berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Riris. Meninggalkan Bu Kardi yang masih terbengong dan berdecak kagum."Siapa toh pemuda itu? Udah ganteng, keren, sepertinya dia orang kaya. Mobilnya aja buagus banget. Ck ... ck ... ck!" gumam Bu Kardi. Lidahnya terus berdecak diiringi dengan geleng-geleng kepala.Sementara itu di dalam mobil mewah, pemuda tampan itu terus mengamati suasana desa yang dilaluinya."Desa ini tidak banyak perubahan," gumamnya.Ketika mobil itu melewati tepi areal persawahan, pemuda itu menegakkan duduknya dan menoleh ke arah kiri jalan."Berhenti dulu sebentar, Pak Dul!" pinta pemuda itu kepada sopirnya."Baik Pak," jawab sopirnya dengan suara pelan.Pemuda itu kemudian menekan tombol pintu mobil otomatisnya sehingga pintu itu terbuka perlahan. Dijejakkannya sepatu hitam mengkilatnya ke permukaan jalan berbatu itu. Dia berdiri di sisi mobilnya, termangu menatap sebuah rumah sederhana di tepi sawah. Ruma