Share

Telepon dari Reza

Mas Dimas mulai melajukan mobil VW Kodok antiknya perlahan keluar dari halaman rumahku. Menyusuri jalanan desaku yang masih berbatu, melalui kebun, rumah warga dan berujung ke area persawahan yang luas membentang. Kami masih saling diam terpaku. Mas Dimas fokus menyetir, sedangkan aku hanya menatap kosong pemandangan di balik jendela kaca mobil ini dengan mata yang dipenuhi embun.

"Ris, yang kuat ya ... maafin aku yang secara tidak langsung sudah bikin nasibmu jadi begini." Mas Dimas mulai membuka percakapan.

Aku masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa.

"Mas Dimas semalam udah coba telepon si Reza, dan sialnya dia nggak mau angkat telepon dariku. Dasar laki-laki pengecut!" geram Mas Dimas sambil memukulkan tangannya yang terkepal di atas stir.

"Reza yang kukenal saat masih sama-sama di pondok dulu itu, adalah sosok yang baik, pendiam dan sholeh. Makanya saat dia minta tolong sama Mas untuk dicarikan calon pendamping, mas tidak ragu untuk mengenalkannya padamu. Aku nggak nyangka pola pikirnya sepicik itu. Cari istri kok cuma diliat dari fisiknya aja."

Aku menghela napas panjang. Bulir bening kembali menetes di pipiku.

"Ris, kamu nangis ya?" Mas Dimas langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan, masih di areal persawahan.

"Ris, aku paling nggak bisa liat perempuan menangis. Sayangi air matamu Ris, air matamu terlalu berharga untuk laki-laki pengecut dan pecundang seperti Reza."

Ku usap cepat pipiku, Mas Dimas masih menatapku lekat. Aku mencoba untuk menenangkan perasaanku yang sedang kalut ini. Akhirnya aku mengangguk pelan. Kutarik napasku dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan.

"Baiklah Mas, aku berjanji tidak akan menangis lagi. Aku akan berjuang untuk tetap tegar. Ini mungkin ujian dari Allah agar aku bisa naik level Mas. Tidak mengapa aku kehilangan suami, asal aku tidak kehilangan Allah, asal Allah selalu menyayangiku, menjagaku dan ridho padaku."

"Nah ... itu baru cakep!" Mas Dimas tersenyum sambil menjentikan jarinya.

"Mas sangat bangga padamu Ris, Mas akan selalu berada di belakangmu dan mendukungmu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk minta tolong sama Mas ya!"

Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis.

Mas Dimas kembali melajukan mobilnya, kini mobil telah melaju dengan mulus di jalan raya.

"Oya, di mana sebaiknya Kamu tinggal nanti ya Ris?"

"Kita cari kos-kosan murah di sekitar kampus aja Mas, siapa tau nanti aku bisa buka usaha kecil-kecilan di sana."

"Oke, siap Ris!" jawab Mas Dimas sambil menambah laju kecepatan mobilnya.

Waktu masih pagi, semoga perjalanan lancar dan kami bisa secepatnya mendapatkan kos-kosan.

***

Dua jam kemudian kami sudah tiba di kota Jogja. Setelah melewati Ring Road Utara, mobil kami berbelok ke arah jalan Kaliurang. Menyusuri gang yang ada di jalan itu. Ya di situ dekat dengan kampus UGM.

Pandanganku fokus ke arah kiri jalan, mengamati rumah-rumah yang berjejer sepanjang gang, berharap ada tulisan yang ditempel di dinding rumah "Kos-kosan, masih ada kamar kosong" namun belum juga kujumpai tulisan itu. Ternyata tidak gampang mencari kos-kosan tanpa ada referensi terlebih dahulu.

"Ris, kita makan sego pecel aja dulu yuk. Perutku udah mulai laper lagi nih," ajak Mas Dimas dengan ekspresi wajah nyengirnya.

"Kebetulan Mas tau tempat makan sego pecel yang enak di daerah sini. Di pinggir Selokan Mataram. Dulu waktu Mas Dimas kuliah di sini, sering banget makan di sana."

Aku hanya tersenyum simpul mendengarkan cerita Mas Dimas. Aku yang dulunya kuliah di Solo memang nggak begitu hafal daerah Jogja. Jarang banget main ke Jogja.

Tak berapa lama, kami tiba di warung SGPC (Sego Pecel). Warungnya nampak sederhana tapi ramai dikunjungi pembeli.

Setelah memesan makanan kami pilih duduk di tempat yang paling ujung, kebetulan ada space kosong di sana.

Tiba-tiba gawaiku yang ada di dalam swing bag-ku berdering. Gegas kurogoh gawaiku, nampak panggilan dari Mas Reza tertera di layar. Sesaat aku terdiam termangu, ada apa dia meneleponku. Haruskah kuterima telepon darinya?

"Telepon dari siapa, Ris?" tanya Mas Dimas penasaran.

"Dari Mas Reza, Mas," jawabku lirih.

"Terima Ris, nanti kalau kalian sudah bicara, kasih teleponnya ke aku!" perintah Mas Dimas dengan nada emosi.

Kutekan lambang telepon berwarna hijau di layar, lalu kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku. Terdengar suara Mas Reza di seberang sana.

"Halo ... Ris ... assalaamu'alaikum," sapa lelaki yang sudah menjadi mantan suamiku itu.

"Wa'alaikumussalam," jawabku pelan.

"Eh ... anu Ris, sebelumnya aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi ini. Kuharap Engkau bisa memakluminya. Begini ... orang tuaku sudah mengetahui tentang hal ini. Awalnya mereka marah padaku Ris. Tapi akhirnya mereka mau menerima keputusanku. Cuma ... anu ... duh aku sebenernya nggak enak mau ngomong ini sama Kamu."

Mas Reza agak lama terdiam. Akupun juga hanya diam menunggu apalagi yang hendak disampaikannya.

"Ini ... ini soal cincin tunangan dan mahar yang sudah kuberikan padamu ... mhh ... anu ... bundaku mau memintanya lagi, karena cincin itu adalah yang diwariskan turun-temurun untuk istri dari keturunan Eyangku. Kuharap Kamu bisa mengerti Ris, sekali lagi mohon maaf aku terpaksa memintanya lagi. Sebetulnya aku sudah mengikhlaskannya untukmu Ris .... "

Aku menghela napas panjang. Aku nggak nyangka mantan ibu mertuaku yang meminta ini semua. Untuk cincin okelah nggak papa kalau mau diminta lagi. Tapi mahar ... ah sudahlah aku tak perduli lagi. Aku juga rasanya ingin melemparkan semuanya ke muka lelaki itu.

Untung benda itu semuanya kubawa. Jika tidak bisa repot nantinya kalau aku harus pulang kembali ke rumah untuk mengambilnya.

"Ambil aja lagi semuanya Mas. Aku juga nggak butuh barang itu. Melihatnya hanya membuat hatiku terluka." Jawabku tegas.

Tiba-tiba Mas Dimas merebut gawai yang sedang kupegang.

"Heh ... Reza!! Kurang ajar Kamu ya!! Kamu udah menyakiti adek sepupuku!! Kamu itu memang nggak punya hati ya?! Ayo kita ketemuan, aku mau buat perhitungan sama Kamu!!" bentak Mas Dimas dengan suara keras.

Haduh, semua pengunjung SGPC jadi melihat ke arah kami. Aku jadi malu.

"Mas ... udah Mas, malu diliat orang-orang!" Aku memohon dengan suara yang tertahan.

"Halah ... aku nggak peduli, aku udah nggak bisa lagi nahan emosiku." Mas Dimas menatapku dengan wajah memerah.

"Heh!! Reza, kutunggu Kamu di depan Masjid Kampus UGM ba'da Dzuhur!!" teriak Mas Dimas dan tidak lama kemudian telepon akhirnya ditutup olehnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status