Setengah berlari aku menuju kamar tempat bapak dirawat. Hatiku diliputi rasa cemas tak karuan. Ya Allah semoga bapak baik-baik saja, tak henti-hentinya ku berdoa dalam hati. Jantungku semakin berdebar kencang entah kenapa, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.Akhirnya sampai juga aku di depan kamar tempat bapak dirawat, segera kubuka pintu kamar. Mataku langsung tertuju pada ranjang yang berada di sudut kamar. Aku bernapas lega saat melihat bapak sedang tertidur dengan posisi miring membelakangi arah aku berdiri.Kulangkahkan kakiku menuju nakas di samping ranjang dan meletakkan obat yang baru saja kutebus di atas nakas. Bapak sedang tidur, sebaiknya aku tidak usah membangunkannya dulu.Napasku masih ngos-ngosan, ku hempaskan diriku di atas sofa kecil di depan ranjang bapak. Fiuuh, alhamdulillah bapak nggak kenapa-kenapa. Ya Rob, kenapa Mas Reza dan ibunya itu selalu menguji kesabaran kami. Semoga saja aku nggak ada lagi urusan dengan mereka setelah ini. Pergi jauh-jauh saja darik
Proses memandikan dan mengkafani jenazah bapaknya Riris selesai sebelum waktu Ashar. Semuanya berjalan lancar, jenazah tiba di rumah duka pukul empat sore. Di rumah sudah berdiri kembali tenda untuk para pelayat. Bendera kuning juga sudah di ikat di gapura masuk lingkungan dukuh tempat Riris tinggal. Para pelayat yang sebagian besar warga desa dan sekitarnya sudah banyak yang datang. Mendiang Pak Rohman semasa hidupnya memang dikenal baik, ramah dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat di desa tersebut, jadi tidak heran jika banyak warga dan kerabat yang datang untuk takziah. Mendiang bapaknya Riris juga dikenal oleh banyak petani, karena semasa hidup dia usahanya adalah sebagai tengkulak, menampung dan membeli semua hasil panen padi warga desa dan sekitarnya untuk kemudian di kirim ke gudang yang lebih besar di kota. Selain itu mendiang Pak Rohman juga memiliki beberapa petak sawah warisan dari orang tuanya. Dari situlah mendiang bapaknya Riris bisa membiayai sekolah Riris hingg
Aku tidak menyangka akan nasib yang menimpa Riris. Sungguh malang sekali dia, sejak menikah dengan sahabatku, Reza. Tak kukira Reza bisa setega itu terhadap Riris. Harapanku yang sangat besar terhadap Reza agar bisa membahagiakan adek sepupuku itu, ternyata jauh dari kenyataan. Justru luka dan kesedihan yang Reza berikan padanya.Malam hari, setelah pulang dari rumah Riris, selepas mengurusi pemakaman mendiang Paklek Rohman, aku merenung di kamarku. Memikirkan nasib Riris yang malang. Aku merasa ikut andil dalam musibah yang telah dialaminya.Seandainya saja aku tidak menjodohkannya pada Reza, mungkin Riris tidak akan mengalami nasib seperti ini. Namun sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai dan menyesali apa yang sudah terjadi. Ini semua sudah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa.Tiba-tiba ingatanku melayang kembali ke masa kecil, saat itu aku yang masih kelas lima SD, melihat Riris kecil yang sedang menangis sendirian, duduk di dangau yang ada di tepi sawah. Saat it
Sementara itu di Jogja, Reza sudah menjalani aktifitas seperti biasanya. Bekerja dan kadang nongkrong di Kafe bersama teman-teman kerjanya. Di hari week end dia suka berolah raga, futsal, fitness, kadang jogging di depan Gedung Graha Sabha Pramana UGM, niatnya sih sekalian cuci mata. Siapa tahu dia bisa bertemu dengan mahasiswi cantik di sana. Dasar Reza, matanya masih suka jelalatan, dia sepertinya sudah betul-betul melupakan pernikahannya dengan Riris. Tidak ada rasa bersalah dan menyesal di dirinya."Za, gimana proses pengajuan Pembatalan Pernikahanmu di Pengadilan Agama?" tanya bundanya Reza ketika mereka sedang sarapan pagi itu."Alhamdulillah lancar Bun, berkat bantuan Om Andri yang bekerja di sana, semuanya jadi lebih mudah, tinggal menunggu sidang keputusan pengadilan" jawab Reza setelah meneguk secangkir kopi latte nya."Baguslah kalau begitu Za, semoga segera diputuskan oleh pengadilan, agar statusmu tetap lajang di KTP, biar nanti Kamu gampang kalau mau nyari istri lagi, ng
Mobil minibus mewah berwarna hitam mengkilat itu kemudian berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Riris. Meninggalkan Bu Kardi yang masih terbengong dan berdecak kagum."Siapa toh pemuda itu? Udah ganteng, keren, sepertinya dia orang kaya. Mobilnya aja buagus banget. Ck ... ck ... ck!" gumam Bu Kardi. Lidahnya terus berdecak diiringi dengan geleng-geleng kepala.Sementara itu di dalam mobil mewah, pemuda tampan itu terus mengamati suasana desa yang dilaluinya."Desa ini tidak banyak perubahan," gumamnya.Ketika mobil itu melewati tepi areal persawahan, pemuda itu menegakkan duduknya dan menoleh ke arah kiri jalan."Berhenti dulu sebentar, Pak Dul!" pinta pemuda itu kepada sopirnya."Baik Pak," jawab sopirnya dengan suara pelan.Pemuda itu kemudian menekan tombol pintu mobil otomatisnya sehingga pintu itu terbuka perlahan. Dijejakkannya sepatu hitam mengkilatnya ke permukaan jalan berbatu itu. Dia berdiri di sisi mobilnya, termangu menatap sebuah rumah sederhana di tepi sawah. Ruma
Saat menuju kosan Dimas, tiba-tiba gawai Riris berdering. Bergegas di ambilnya benda pipih itu dari dalam swing bag-nya. Terpampang nama Reza di layar itu.'Hh, dia lagi ... ada apa sih telepon aku lagi? Bukankah urusan kami sudah selesai?' Batin Riris merasa kesal."Siapa yang telepon Ris?" tanya Dimas penasaran."Laki-laki itu Mas," jawab Riris tanpa mau menyebut nama mantan suaminya. Gawainya masih terus berdering."Heh, mau apalagi dia, angkat aja Ris, kalau dia macem-macem akan berhadapan sama aku," tukas Dimas kesal. Riris akhirnya menerima panggilan telepon dari Reza."Ada apa sih, Kamu menelepon saya terus?!" bentak Riris kesal. Riris yang biasanya sabar entah mengapa kali ini begitu emosi menjawab telepon dari Reza. Dia merasa sudah lelah berurusan dengan lelaki pengecut itu."Heh, Ris! Kalau nggak mendesak banget juga aku nggak akan telepon Kamu, buat apa coba?" jawab Reza tak kalah sewot."Ya udah ada apa? Waktuku nggak banyak untuk meladeni Kamu!""Aku cuma mau buku nikah
Sesampainya di Solo, Pak Dul mulai melajukan mobilnya ke arah desa tempat tinggal Riris.'Loh, ini jalan menuju desa tempat tinggal Riris,' batin Reza.Hatinya mulai menerka-nerka, jangan-jangan Riris yang dimaksud oleh Bos barunya itu adalah Riris, mantan istrinya. Reza mulai gelisah saat mobil telah memasuki areal persawahan di desa tempat Riris tinggal. Nampak ketegangan di raut wajahnya.Dan benar saja, mobil yang dikendarai Pak Dul sudah masuk ke gerbang dukuh tempat tinggal Riris, melewati beberapa kebun dan rumah penduduk. Dan akhirnya masuk ke halaman rumah Riris."Di sini rumah wanita yang bernama Riris itu, Pak," kata pak Dul setelah menghentikan mobilnya di halaman rumah Riris.Reza tertegun, pikirannya berkecamuk. Untuk apa bosnya mencari Riris? Wajahnya nampak tegang."Pak Reza, kok malah bengong?" tanya Pak Dullah."Oh, eh ... iya, Pak," Disapunya wajah Reza dengan telapak tangan kanannya."Pak Dul, sebenarnya Pak Bos mencari wanita yang bernama Riris itu, untuk apa ya?"
Malam itu Reza memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Tugas yang diberikan bosnya memberikan kejutan yang luar biasa untuknya. Gara-gara itu dia jadi tahu cerita tentang mantan istrinya. Dia tak menyangka akibat talaknya di hari pertama pernikahannya, telah membuat Riris begitu menderita."Za, Kamu udah pulang Nak? Kok nggak ngucapin salam sih?" Bunda Reza terkejut melihat putranya sudah berada di ruang makan."Reza udah ucapin salam kok, Bun. Mungkin Bundanya yang nggak denger," jawab Reza dengan lesu."Kamu kenapa, Za? Pulang dari kerja kok murung gitu?" Bundanya Reza yang melihat perbedaan dari putranya merasa penasaran."Reza ceritanya nanti aja ya, Bun, abis bersih-bersih badan," pinta Reza, ditatapnya wajah bundanya dengan sorot mata sendu."Ya udah sana, Kamu mandi dulu, bunda tunggu di ruang makan," pinta wanita paruh baya yang masih tetap menjaga penampilannya itu, badannya tetap langsing meskipun usianya sudah kepala lima.Selesai membersihkan badan, Reza menemui bundanya