Hari yang dinanti telah tiba, selama dua pekan ini Riris dan ibunya sibuk mempersiapkan acara lamaran untuk menyambut kehadiran Bagas dan keluarganya. Dari pagi, Riris telah merias dirinya, berbekal ilmu yang didapatnya dari terapis kecantikan salon ternama yang dipesan oleh Bagas selama dia menginap di apartemen.Riris mengenakan gaun kebaya panjang selutut, berwarna hijau lumut dengan hiasan payet pada bagian bawah pinggang serta di ujung tangannya, menambah kesan mewah dan anggun. Gaun itu telah dipesan oleh Bagas dan dikirimkan pak Dul dua hari sebelumnya. Untuk bawahannya, Riris mengenakan kain jarik berbordir emas yang diwiru dengan rapih menambah kesan elegan. Rumah Riris juga telah dipasang tenda untuk para tamu undangan, dan bagian dalamnya di dekor sedemikian rupa sehingga nampak indah dengan aneka bunga di setiap sudut rumah. Back drop yang terlihat indah dan mewah terpasang di salah satu sisi dinding dalam ruang tamu untuk momen lamaran dan pengambilan foto.Dari semua o
"Kalau boleh tau, apa syaratnya, Ris?" tanya Bagas penasaran."Nduk, kok pake syarat toh?" bisik Bu Rohman ke telinga putrinya. Riris kemudian memandang ibunya, lalu tersenyum sembari mengangguk. Sedangkan Bu Rohman justru menunjukkan wajah tegangnya."Syaratnya, pertama ... saya minta akad nikahnya nanti di Masjid Kampus yang ada di Universitas nomor satu di Jogja, karena saya memiliki kenangan yang dalam, saat pertama kali mendatangi masjid itu dan bermunajat di sana. Yang kedua, saya ingin setelah menikah nanti, Mas Bagas harus menerima ibu saya untuk tinggal bersama kita nantinya. Karena ibu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, kecuali putri semata wayangnya," ucap Riris dengan suara bergetar hingga netranya yang berkaca-kaca. Riris dan ibunya kembali saling tatap, di kedua manik mereka telah dipenuhi oleh embun. Bu Rohman merasa terharu dengan permintaan putrinya itu, ternyata meski putrinya mau dinikahi oleh pemuda kaya, Riris masih ingat ibunya, masih amat peduli padanya.Riri
Tepat pukul delapan, semuanya telah lengkap berada di dalam Masjid Kampus nan Agung dan indah itu Bagas dengan balutan tuxedo berwarna putih tulang itu telah duduk bersila di depan meja persegi panjang yang berkaki pendek. Di depannya telah duduk pak penghulu dan pakleknya Riris--adik dari bapaknya-- yang akan menjadi wali nikahnya.Sang pengantin pria yang diapit oleh Pak Bimo dan Pakde Arya, terlihat sedikit tegang. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertamanya untuk memulai hidup yang baru. Sedangkan Riris bersama ibunya dan Bu Bimo juga para keluarga dan tamu undangan wanita, telah duduk di balik hijab. Sehingga untuk prosesi akad nikah, hanya para hadirin pria yang bisa melihatnya secara langsung. Riris dan para hadirin wanita hanya bisa melihat di tayangan video siaran langsung yang ada di layar kaca yang terpasang di bagian depan ruangan berhijab itu.Riris duduk bersimpuh diapit oleh sang ibu dan calon ibu mertua. Di belakangnya para keluarga dan tamu wanita dari desanya Ri
"Maafkan aku Riris, ternyata Kamu jauh dari ekspektasiku. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Sebaiknya kita berpisah sejak awal, aku tidak akan menyentuhmu. Ini semua kulakukan demi kebaikanmu. Agar kamu nanti bisa menikah lagi dengan laki-laki yang terbaik untukmu"Lelaki tinggi putih berbadan tegap dengan wajah oval berhidung mancung, yang masih mengenakan jas pengantin berwarna merah marun itu berucap lirih. Dilepasnya songkok yang berwarna senada dengan balutan jasnya itu dari kepalanya, menampakkan rambutnya yang hitam berbelah tengah itu. Tangannya menggaruk-garuk rambut yang tertata rapih itu hingga menjadi acak-acakan."A-apa maksudmu Mas .... ?" tanyaku getir. Aku tidak percaya dengan semua yang telah Mas Reza katakan.Hatiku yang seperti bunga-bunga yang bermekaran saat mendengar kalimat agung yang Mas Reza ikrarkan di hadapan bapakku tadi pagi, tiba-tiba menjadi layu, bahkan kelopak bunganya telah jatuh berguguran.Kami bahkan belum sempat mengganti pakaian penganti
"Nduk, cepat katakan ada apa sebenarnya? Kenapa Kamu nangis begini? Apa yang sudah terjadi padamu?" Ibu masih terus mengguncang pundakku.Kutatap wajah ibu yang nampak cemas, kualihkan pandangan ke bapak yang berada di samping ibu, nampak ketegangan di raut wajahnya. Aku semakin bingung harus menjawab apa kepada mereka. Aku tidak ingin membuat mereka cemas dan sedih. Cukup aku saja yang terluka. Jangan sampai kedua orangtuaku juga ikut terluka.Aku menyesal kenapa tadi aku berteriak dan menangis kencang hingga terdengar oleh bapak dan ibu, mungkin kerabat lain yang ada di luar kamar yang masih belum pada pulang juga ikut mendengarnya. Seharusnya aku tadi mengontrol emosiku.Tenang Riris, tenangkan dirimu. Kamu bisa selesaikan masalah ini pelan-pelan. Tidak boleh gegabah. Banyak hati yang mesti dijaga. Terutama bapak, aku tidak mau bapak kena serangan jantung gara-gara masalah ini. Aku harus bisa mencari alasan kenapa aku menangis dan kenapa mas Reza pergi di malam pengantinnya."Nduk,
Usai kutalak Riris, bergegas aku keluar dari rumahnya. Kulewati saja orang-orang yang masih berada di ruang keluarga, aku tidak berani menatap wajah-wajah mereka.Aku tidak mau ada kericuhan di rumah ini, sebaiknya secepatnya aku pergi dari sini. Maaf bapak dan ibu mertua, aku tidak berani pamit pada kalian. Aku tidak mau terjadi keributan di rumah ini.Gegas kulajukan mobilku menuju rumahku di Jogja. Ayah, bunda dan rombongan keluarga yang sejak sore tadi sudah pamit pulang mungkin sekarang sudah tiba di rumah.Aku tidak tahu bagaimana respon kedua orang tuaku jika mendengar aku sudah mentalak Riris. Mungkinkah mereka akan marah besar? Apalagi alasanku mentalaknya terkesan sungguh tidak masuk akal.Mungkin bagi orang-orang ini memang tidak masuk akal. Tapi bukankah pernikahan ini aku yg akan menjalaninya? Aku seorang Magister Ekonomi lulusan dari luar negeri. Baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan bonafit di kota Jogja. Walaupun jabatanku hanya sebagai asisten CEO, tapi
Mas Dimas mulai melajukan mobil VW Kodok antiknya perlahan keluar dari halaman rumahku. Menyusuri jalanan desaku yang masih berbatu, melalui kebun, rumah warga dan berujung ke area persawahan yang luas membentang. Kami masih saling diam terpaku. Mas Dimas fokus menyetir, sedangkan aku hanya menatap kosong pemandangan di balik jendela kaca mobil ini dengan mata yang dipenuhi embun."Ris, yang kuat ya ... maafin aku yang secara tidak langsung sudah bikin nasibmu jadi begini." Mas Dimas mulai membuka percakapan.Aku masih terdiam, tidak tahu harus bicara apa."Mas Dimas semalam udah coba telepon si Reza, dan sialnya dia nggak mau angkat telepon dariku. Dasar laki-laki pengecut!" geram Mas Dimas sambil memukulkan tangannya yang terkepal di atas stir."Reza yang kukenal saat masih sama-sama di pondok dulu itu, adalah sosok yang baik, pendiam dan sholeh. Makanya saat dia minta tolong sama Mas untuk dicarikan calon pendamping, mas tidak ragu untuk mengenalkannya padamu. Aku nggak nyangka pola
Mas Dimas sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia tak perduli semua orang menatapnya di warung SGPC ini.Mas Dimas ngajak ketemuan dengan Mas Reza setelah Dzuhur. Ya sudahlah sekalian aku bisa memgembalikan cincin dan maharnya. Biar aku nggak ada urusan lagi dengan lelaki itu."Ris, sekarang masih jam setengah sebelas. Kita ke Masjid Kampus aja ya, sekalian nunggu waktu dzuhur kita bisa sholat dhuha dan istirahat di sana. Nanti mas juga mau browsing info kos-kosan di aplikasi online," ucap Mas Dimas setelah menghabiskan sepiring sego pecelnya.Aku hanya mengangguk tanda menyetujui idenya."Buruan dihabiskan makannya Ris," desak Mas Dimas yang melihat aku makan dengan lambat. Aku sebetulnya memang tidak selera untuk makan. Tapi aku juga harus memperhatikan kesehatanku, karena aku harus kuat menjalani hidupku yang baru di kota ini."Ya udah yuk Mas, aku udah kenyang," ajakku untuk segera meninggalkan warung ini meski masih tersisa separuh nasi di piringku.Kamipun beranjak meningg