Share

Bab 2. Ditolong Pria Asing

“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?!” Suara Liam menahan aktivitas Victoria yang tengah mengisi ponsel di dalam tas selempang hitam – hadiah ulang tahun pemberian Liam 3 tahun yang lalu.

Victoria tersenyum sinis. “Untuk apa kau bertanya? Masih peduli padaku? Khawatir padaku? Atau mulutmu hanya refleks mengucapkan kalimat itu?!”

Liam melipat kedua tangan sembari bersandar di ambang pintu kamar Victoria. Sebenarnya, Liam tidak berniat untuk bertanya. Namun, ketika hendak ke dapur untuk sarapan, dia tidak mendapati apapun di sana. Liam pun bermaksud memarahi Victoria.

“Kau tidak menyiapkan sarapan apapun, lantas kau mau pergi begitu saja! Apa kau lupa jika kau masih berstatus sebagai istri?! Seharusnya kau masih menjalankan kewajibanmu! Atau, kau sengaja membuatku dan Annabele kelaparan di pagi hari?!” Suara Liam mulai meninggi dalam sekejap.

Victoria menengadahkan kepala untuk menarik napas sesaat. Dia tahu pertengkaran ini bisa saja memakan waktu, dan membuat perasaannya memburuk. Lebih baik dia pergi dari hadapan Liam.

“Istri? Kewajiban?!” tanya Victoria dengan nada suara mengejek. “Kau menyuruhku berlaku selayaknya istri, dengan menjalankan segala kewajibanku? Sedangkan, dirimu tidak berlaku selayaknya seorang suami!”

Wajah Liam memerah. Giginya bergeretak karena menahan amarah.

“Lalu, apa kau bilang? Menyiapkan sarapan untukmu dan perempuan jalang itu?!” Victoria tertawa sumbang. “Kau sungguh tak tahu malu, serta tak punya perasaan! Kau hanya memikirkan perempuan licik itu!”

Victoria segera melangkahkan kaki melewati Liam. Tapi, tangannya dengan kuat dicekal oleh pria itu.

“KAU TIDAK AKAN KE MANA-MANA SEBELUM MEMBUATKAN SARAPAN UNTUK KAMI!” bentak Liam dengan kedua mata melotot. Bahkan, urat-urat matanya tampak jelas.

Victoria menepis kuat tangan Liam. Dia membalas tatapan sang suami. “Aku pergi ke manapun, itu bukan urusanmu! Dan jika kau begitu laparnya, suruh saja jalangmu itu untuk memasak bagimu! Apa kau lupa, jika uangmu sudah kau berikan padanya?! Ajari dia berlaku menjadi peliharaan yang baik!”

Liam mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hendak menampar Victoria yang menantangnya. Amarahnya sudah tak terbendung lagi. Tapi, tiba-tiba saja Annabele muncul dan segera memeluk Liam, membuat pria itu menahan niatnya, meski napasnya memburu.

“Sayang, tenanglah! Kau tidak boleh gegabah! Jangan melakukan hal yang akan merugikanmu! Kau tahu kan jika dia pasti akan melaporkanmu sebagai tindakan KDRT, apabila kau menamparnya!” ucap Annabele sambil menatap wajah Liam.

Victoria ingin muntah melihat kelakuan Annabele saat ini. Bahkan, dia berharap dalam hati agar malaikat maut segera datang untuk mencabut nyawa wanita jalang itu.

Liam menurunkan tangannya, lantas memijit keningnya. “Kau benar, sayang! Harusnya aku bisa menahan diri. Tapi, wanita ini benar-benar senang mencobaiku!”

“Sungguh drama yang memuakkan!” sinis Victoria dan berbalik, hendak melangkah. Namun, lagi-lagi langkahnya tertahan karena Annebele segera menghadangnya.

“Kau! Dasar wanita tidak tahu malu! Beraninya kau menghinaku!” Annabele mengangkat dagunya tinggi-tinggi, sembari berkacak pinggang.

Melipat tangan, Victoria menatap Annabele dengan sebelah alis terangkat. “Lantas, harus kusebut apa, wanita yang merusak rumah tangga orang lain?! Wanita berbudi? Wanita terhormat?”

“Kau tidak tahu siapa aku! Harusnya, kau tidak menghinaku seperti itu, atau kau akan menyesal!” ancam Annabele.

Victoria memutar bola matanya. “Apa kau anak Ratu Elizabeth? Sekalipun iya, bagiku kau tetap sampah!”

Dada Annabele kembang kempis. Dia baru tahu jika Victoria memiliki mulut yang tajam, tidak seperti tampangnya yang kalem. Dia pikir, karena itulah Liam selalu ingin menampar wanita itu.

“Sudah, sayang! Jangan dengarkan dia! Dia hanya cemburu padamu!” Liam mendekati Annebele dan merangkul pundak gadis itu.

Annabele pun tersenyum licik, lantas membalas rangkulan Liam di pinggang dan mengecup pipi pria itu. “Benar, sayang! Aku juga tahu jika dia hanya iri padaku, karena kau lebih mencintaiku daripada dirinya!”

Victoria mengepalkan tangan. Segera dia melangkah cepat melewati Liam dan Annabele. Victoria muak! Dia tidak ingin lagi melihat pemandangan menjijikkan itu.

“Aku pikir, mungkin saja dia mau mencari lelaki lain. Apa kau tidak cemburu, honey?” Victoria berhenti saat mendengar sindiran Annabele padanya.

Liam tertawa keras mendengar ucapan Annabele. Cemburu? Liam sudah tidak punya rasa pada Victoria. “Sayang, kau pandai sekali melucu! Mana mungkin aku cemburu dengan wanita yang terlihat seperti ibuku itu?! Aku hanya cemburu jika ada pria lain yang melirikmu! Aku berani bertaruh jika tak ada pria yang akan meliriknya, apalagi jatuh hati padanya!”

Victoria memilih tak menggubris perkataan Liam maupun Annabele. Daripada pertengkaran ini tidak akan berhenti, Victoria memilih pergi.

Hari ini, Victoria harus melakukan kontrol pada dokter kandungan di rumah sakit tempat Liam bekerja. Victoria bersyukur karena Liam sedang libur hari ini, jadi dia tidak harus mengumbar senyum palsu ketika datang ke rumah sakit bersama suami tak tahu diri itu.

Tiba di rumah sakit, Victoria segera menunggu giliran untuk diperiksa. Dia sudah lebih dahulu melakukan pendaftaran pada hari sebelumnya.

Ketika tiba gilirannya, Victoria bergegas masuk ke ruang pemeriksaan. Di dalam sana, dokter Christall telah menantinya dengan senyum terkembang di bibir.

"Di mana Liam? Tidak ikut?" tanya dokter Christall dengan ramah.

Victoria memaksakan senyum. "Dia masih beristirahat. Mungkin lelah. Jadi, saya tidak ingin mengganggunya."

"Kamu istri yang sangat pengertian," puji dokter Christall membuat dada Victoria sesak.

Setelah beberapa pertanyaan pembuka, dokter Christall meminta Victoria untuk naik ke tempat tidur agar dapat diperiksa. Dengan dibantu oleh salah seorang perawat wanita, kandungan Victoria kembali diperiksa.

"Sel telurnya masih kecil, ya," ucap dokter Christall. "Kenapa tidak mau suntik saja?"

"Liam tidak mau, dok. Katanya, dia mau secara alami," jawab Victoria berbohong.

Dokter Christall mengakhiri pemeriksaan dan segera meresepkan obat untuk Victoria. "Jaga pola makan, dan pola tidur, ya! Serta, jangan stress."

"Baik, dok!"

"Semangat, ya, Vic! Saya berharap secepatnya kalian memiliki momongan!" Dokter Christall memegang tangan Victoria dengan erat, berusaha menguatkan hati Victoria.

Victoria hanya membalas dengan senyuman. Dia pun berpamitan dan segera melangkah lebar keluar dari ruang pemeriksaan. Hatinya kacau. Dia kembali dirundung kesedihan.

Bergegas Victoria memasuki area tangga darurat. Dia terduduk di sana dalam kesepian. Dan menangis.

"Apakah usahaku akan sia-sia, Tuhan?" lirih Victoria. "Apakah semua akan berakhir begitu saja?"

Victoria larut dalam kesedihannya, hingga dia tak menyadari ada seorang pria yang juga masuk ke ruangan itu. Pria itu terkejut mendapati Victoria yang sedang duduk dan menangis tersedu-sedu. Dia hendak membalikkan tubuh, bermaksud keluar dari ruangan, tapi dia mengurungkan niat ketika mendengar ucapan Victoria.

"Liam Harrison! Apakah kau benar-benar akan menceraikanku demi wanita penggoda itu, hanya karena aku tidak menarik dan belum mampu memberimu anak?!"

Victoria menyandarkan kepala pada tembok. Air matanya terus mengalir, tanpa dia menghapusnya. Hingga, sebuah tangan yang memegang sapu tangan membuatnya menghentikan tangisannya.

"Nyonya, pakailah ini," ucap pria yang mengenakan hoodie hitam menutupi kepalanya. Namun, Victoria masih bisa menatap wajah pria itu dengan jelas.

Mengambil tempat di samping Victoria, pria itu memilih mengusap air mata Victoria karena Victoria tak juga menerima sapu tangan pemberiannya.

"Jangan sia-siakan air matamu untuk sesuatu yang tak layak ditangisi," ucap sang pria bermata cokelat.

Wajahnya tampan dan maskulin, dengan janggut yang tercukur rapi pada rahang tegasnya. Meski mengenakan hoodie, tapi aura kharismatik dan elegan terasa melekat kuat dalam diri pria itu.

Victoria tersadar dari penilaiannya pada sang pria di sampingnya. Segera Victoria bangkit berdiri, begitu juga pria asing itu.

"Te - terima kasih untuk pertolongan Anda, Tuan ...." ucap Victoria dengan pandangan mata tertuju pada sang pria.

"George," jawab pria itu melanjutkan kalimat Victoria yang terkesan mengambang.

Victoria memaksakan senyuman. "Terima kasih, Tuan George."

Segera Victoria menaiki anak tangga dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan George - pria asing yang baru dikenalnya.

"Jadi, dia adalah wanita itu .... " gumam George.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status