Share

DOWN UNDER DOWN
DOWN UNDER DOWN
Penulis: Bias Sastra

TAHUN BARU

1 Januari 2016

JALANAN Kota Banda Aceh mulai sepi. Padahal ini adalah malam yang special. Ya, malam pergantian tahun.

Jam menunjukan pukul 00.02 dini hari. Baru beberapa detik tahun berganti. Di televisi, suara kembang api meletus berulangkali terdengar. Warga Jakarta bersorak gembira. Muda-mudi menyambut letusan tersebut dengan suka cita.

Seorang pembawa acara wanita, tampil seksi. Ia berkoar-koar soal harapan dan doa di tahun baru ini. Ia diapit oleh dua pembawa acara pria yang memakai jas hitam. Acara itu di live satu jam yang lalu.

“Semoga Allah Swt memberi rezeki yang lancar di tahun baru ini. Rezeki yang halal serta bermanfaat bagi nusa bangsa dan agama,” teriak perempuan tadi bersamaan dengan layar kamera yang menyorot kembang api meledak di udara.

“Tum, tum, tum.”

“Tum, tum, tum….tum.” Suara itu terdengar berulang kali.

Kamera kemudian kembali menyorot si perempuan seksi tadi. Ia sangat rupawan dan memiliki postur tubuh yang indah. Kulitnya putih mulus. Ia menarik rok merah menyala-nya yang terbelah hingga pangkal paha.

Sedangkan dua penyiar laki-laki tersenyum sambil menatap ke arah paha seksi tadi.

“Amin, amin,” ujar mereka serentak.

“Dapat suami yang taat agama juga untuk kamu ya Say,” kata salah satunya lagi.

Haidar tersenyum geli melihat ketiga pembawa acara itu. Padahal ia sangat membenci kembang api. Ia hanya geli mendengar doa para artis ternama itu dengan pakaian dan prilakunya yang sangat kontra dengan agamanya sendiri.

“Ya tuhan, zina mata aku,” gumamnya tiba-tiba.

Beruntung Haidar tinggal di Aceh. Ia menetap sementara di Banda Aceh. Daerah yang selama ini dikenal fanatik dalam beragama.

Kota tua ini memang sedikit berbeda. Tak ada perayaan pergantian tahun di sini. Di ujung Sumatera. Ya, kota tua yang baru berhenti perang dan islami.

Mata Haidar segera beralih dari layar televisi. Ia mengamati sekeliling. Hanya ada beberapa sepeda motor yang terparkir rapi di depan Warkop, tempat ia mencari rezeki selama tiga tahun terakhir. Kendaraan tadi milik beberapa pengunjung yang sedang berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan wifi gratis. Mereka mayoritas adalah mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kampus-kampus seputaran Banda Aceh dan Aceh Besar. Sama sepertinya tiga tahun lalu.

Para pelanggan tadi seakan tak peduli dengan pergantian tahun baru. Mata mereka focus pada layar laptop dan handphone masing masing.

Haidar bukanlah pemilik Warkop itu. Ia juga bukan pelayan di Warkop Pinggir Kali itu. Haidar hanya pemilik satu rak di sana. Rak inilah yang menghidupinya selama ini.

Banda Aceh sebenarnya adalah kota yang ramah. Namun Tsunami membuat warga kota ini sedikit lebih matre. Tanda kutip, sedikit matre. Mayoritas kini berbicara soal uang. Dan tak sedikit dari warga kota ini, yang mengukur derajat dan harga diri seseorang itu dari uang yang dimilikinya. Walaupun tak semua berprilaku seperti tadi.

Usai tsunami, daerah ini menjadi pusat aktivitas di Aceh. Damai membuka kesempatan bagi siapapun untuk mendapat kehidupan yang layak di Banda Aceh. Tapi kota ini adalah transit baginya. Ia ingin terbang tinggi.

“Semua orang di dunia ini diciptakan dengan tubuh yang hampir sama. Punya dua mata, dua telinga, dua kaki dan dua tangan. Yang membedakan hanya pendidikan.”

Itu kata-kata yang sering diucapkan oleh ayahnya semasa hidup. Nasehat yang membuat Haidar berjuang untuk mencari ‘pembeda’ seperti kata ayahnya itu.

Namun 4 tahun menempuh pendidikan di salah satu universitas favorit di Banda Aceh, dan lulus dengan nilai terbaik, ternyata belum membuat Haidar jadi pembeda. Ia masih harus berjuang untuk hidup.

“Mungkin aku harus bekerja lebih giat. Menyerah berarti aku mengingkari apa yang diajarkan oleh orangtuaku sendiri,” gumam Haidar dalam hati.

Ada rasa sakit yang luar biasa dalam tubuhnya setiap kali ia mengenang sosok ayahnya. Sosok yang ia rindukan selama ini. Ada ruang yang kosong dalam hatinya.

“Bang burger satu ya. Pakai telur saja.”

Haidar terdiam. Ia masih larut dalam angannya sendiri.

“Bang burger satu.”

Beberapa pelayan yang sedang mengepel lantai memandang ke arah Haidar. Mereka tertawa. Mungkin mereka sadar jika temannya itu sedang merenung.

“Hoi, Thoyib. Ada orang pesan burger.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status