Share

SEBATANG KARA

MALAM kian larut. Jam menunjukan pukul 03.15 WIB dini hari. Namun mata Haidar tak kunjung terpejam. Perkataan Insani seolah terus berulang di telinganya.

“Dia datang bersama pria muda berbaju loreng. Mereka terlihat mesra.”

Kalimat ini membuatnya gelisah. Ada rasa cemburu yang amat sangat muncul dari dalam tubuhnya. Jujur, perempuan cantik berkulit mulus itu menempati posisi istimewa dalam hatinya. Wanita itu adalah perempuan kedua yang membuatnya semangat menanti pagi beberapa tahun lalu. Tentu saja, perempuan nomor satu adalah almarhum ibunya.

Namun Darussalam menjadi saksi tentang akhir dari cerita itu.

“Semoga kini ia bahagia. Ia pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari aku,” gumam Haidar dalam hati. Kalimat itu terlalu pahit untuk diucapkan. Namun ia mencoba tegar dan berpikir realitis.

Ya, tak ada satu pun orangtua yang menginginkan anak perempuannya menikah dengan pria yang bekerja serabutan seperti Haidar. Apalagi ia kini sebatang kara. Almarhum ayah Haidar tak meninggalkan harta benda. Demikian juga dengan almarhum ibunya.

Bertahun-tahun ia dan ibunya pindah-pindah demi menutup jati diri mereka. Tinggal di rumah reot serta makan dari hasil belas kasihan orang.

Semua pekerjaan dilakoni ibunya agar ia bisa menempuh pendidikan layaknya anak-anak Aceh pada umumnya. Mulai dari upah mencuci pakaian hingga cuci piring di warung makan Padang di seputaran Kota Bireuen. Tujuannya cuma satu, sang pemilik yang baik hati itu membungkus nasi lengkap dengan lauk pauk istimewa untuk di bawah pulang ke rumah setiap sorenya. Serta ada sedikit uang jajan untuk dirinya sekolah di pagi hari.

“Kau anak seorang pejuang. Kakekmu juga pejuang. Jangan ada air mata untuk setiap masalah yang kau hadapi.”

Kalimat itu yang selalu diulang-ulang ibunya setiap kali ia menangis karena ejekan teman di sekolah.

Di ejek karena sepatu yang bolong untuk ke sekolah. Atau tak bisa membaca hingga kelas 5 Sekolah Dasar.

“Masalah tak akan selesai dengan menangis. Lawan ketakutanmu dan belajarlah setiap hari. Sebuah batu yang kokoh pun akan hancur jika tiap hari ditetesi air hujan,” pesan ibunya setiap kali ia menangis.

Terpaan ibunya tiap hari membuat keteguhan hati Haidar menjadi sekuat batu. Sama seperti namanya, Ibnu Haidar. Nama ini dalam bahasa Arab. Artinya si anak batu. Namun keteguhan hatinya acap kali runtuh sejak ia berkenalan dengan si gadis cantik tadi. Padahal mereka memiliki karakter serta latar belakang yang jauh berbeda.

“Oh tuhan, kenapa aku tidak bisa tidur. Kenapa aku masih memikirkan Sefti,” gumam Haidar lagi dalam hati.

Ia kemudian bangun dari tempat tidur. Mengusap wajah dan memandangi dinding kamarnya. Di sana ada brosur pendaftaran magister salah satu universitas di Australia. Sekolah yang menjadi impiannya selama ini.

Haidar tersenyum. “Tunggu aku di sana.  Aku pasti datang.”

Haidar mencoba menarik nafas dalam-dalam. Ia kemudian membuka jendela kamar yang menghadap langsung ke jalan raya yang kini kian sepi. Anginnya berhembus kencang. Namun suasana dingin merupakan hal yang biasa dihadapinya kini.

Haidar memandang jauh kedepan. Rumah-rumah di depannya seolah hilang dan menjadi ruang kosong. Seolah hanya dia dan tuhan pada malam ini.

“Ayah, aku tak akan menyerah. Akan aku buktikan bahwa kerja kerasku tak akan sia-sia. Aku tak akan mengiba demi bisa sekolah seperti pesanmu,” gumam Haidar.

“Aku pasti menjadi orang seperti harapanmu. Tak ada air mata. Tak ada yang bisa membendung tekatku untuk mewujudkan cita-cita kita. Salamku untuk Ibu dan abang di sana. Bilang sama mereka, aku baik-baik saja di sini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status