Share

SALAH TINGKAH

Sefti semakin sering mengirim pesan singkat usai pertemuan di Lapangan Tugu. Namun Haidar tetap mencoba untuk berpikir positif. Ia menduga jika si gadis Jawa itu sedang mencari teman baru selama di Aceh.

Sefti mengirim pesan di pagi hari, siang hingga saat malam tiba. Sedangkan Haidar mencoba menanggapi sebiasa mungkin.

Perempuan cantik itu juga mulai sering terlihat di depan RKU 3 yang menjadi ‘markas’ mahasiswa jurusan Sejarah selama ini. Keberadaan Sefti di sana, turut menjadi pembahasan serius kop mahasiswa ‘cap sikureung’ itu.

Kepada Haidar, Sefti beralasan kebetulan lewat, ketemu teman hingga diajak kawan ke kantin FKIP karena makanannya enak. Kebetulan pula, saat Sefti terlihat di FKIP, ada Haidar di sana. Namun Haidar sendiri tetap mencoba berpikir positif. Ia tidak mau ke pikiran macam-macam.

“Tak mungkin ia menyukaiku. Ia terlalu cantik untukku yang bukan siapa-siapa. Wanita cantik sepertinya pasti banyak disukai lelaki,” pikir Haidar.

“Lagian, kalau gadis itu suka pun, dia pasti mundur jika mengetahui latar belakangku.  Aku adalah lelaki sebatang kara. Orangtua mana yang mau menikahi anaknya dengan lelaki miskin seperti diriku,” gumam Haidar lagi.

“Bang Haidar, kenapa orang Aceh sangat benci dengan orang Jawa,” tanya Sefti saat mereka bertemu di kantin FKIP. Kepada Haidara, Sefti mengaku sedang menunggu seorang teman yang kebetulan kuliah di FKIP.

Sefti ke kantin, dan ternyata ada Haidar di sana yang menikmati segelas kopi sambil baca buku. Ia kemudian duduk di depan pemuda itu. Bau mawar seolah sedang mekar di sekeliling kantin. Beberapa pengunjung menoleh ke arah gadis itu.

Ekpresi wajah Sefti kali ini terlihat kaku. Aura-nya sedikit berbeda. Wajahnya terlihat serius.

Haidar mencoba tersenyum. Ia tak ingin gadis muda itu masuk dalam persoalan konflik yang baru saja reda di Aceh.

“Siapa bilang,” jawab Haidar dengan memasang mimik wajah serius.

Sefti menarik nafas panjang. “Sefti sudah setahun lebih di Aceh. Banyak orang ramah kepada Sefti saat awal ketemu. Kemudian justru menghindar saat tahu kalau Sefti berasal dari Jawa,” katanya kemudian. Pertanyaan itu cukup menohok.

Haidar mencoba santai. Ia tahu jika Sefti adalah gadis cerdas. Menghadapi pertanyaan dari gadis seperti Sefti, maka butuh jawaban yang tepat dan masuk akal.

“Mungkin karena konflik di masa lalu. Sebenarnya, orang Aceh tak membenci orang Jawa. Mereka hanya kecewa dengan janji-janji pemerintah pusat yang berada di tanah Jawa,” kata Haidar sambil mencari kata kata yang tepat untuk diungkapkan.

Jawaban Haidar ini membuat wajah Sefti kembali tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu,” ujar sang gadis sambil mencoba memberi senyum termanisnya untuk lawan bicara di depan. Haidar hampir terbuai dengan senyuman itu. Dia cepat-cepat beralih pandang kembali ke buku.

“Sefti tidak apa-apa kok dibenci oleh seluruh warga Aceh, asal bukan Bang Haidar,” katanya tiba-tiba sambil menatap Haidar dengan penuh kelembutan.

Kalimat itu membuat Haidar tersentak. Bukunya hampir jatuh dari tangan. Ia hampir salah tingkah. Namun Haidar mencoba bersikap biasa walaupun jantungnya berdetak kencang. “Mungkin Sefti sedang menggodaku untuk candaan biasa,” pikirnya saat itu.

“Sef, jangan bercanda seperti itu. Kamu bisa membuat para lelaki salah tingkah kalau mendengarkannya,” ujar Haidar.

Tapi Sefti tetap menatapnya dengan penuh kelembutan.

“Jadi Bang Haidar bukan laki-laki?” balas Sefti lagi dengan mimic serius. Tapi pertanyaan kali ini justru membuat alis Haidar berkerut.

“Maksudnya?”

Sefti tersenyum mendengar respon Haidar. Gadis itu memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang menawan.

“Tadi Abang bilang, kalau aku buat lelaki salah tingkah kalau mendengarkan… Bang Haidar justru cuek saja kah, berarti…” ujar Sefti penuh makna. Kini giliran Haidar yang tertawa lepas.

“Oh, tidak-tidak. Aku lelaki normal kok,” ujarnya sambil tersenyum. Si gadis terlihat cukup nyaman dengan tawanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status