Share

ABANG ATAU MAS

Haidar keringatan. Beberapa butir peluh turun dari rambutnya membasahi wajah. Padahal suasana masih pagi.

Matahari juga tak sedang menyengat anak adam seperti biasanya.

Haidar keringatan karena ia dan Sefti duduk saling berhadapan. Mereka hanya dipisahkan dengan meja kecil setinggi lutut pria dewasa. Apalagi Sefti menatapnya berulangkali tanpa dosa. Gadis itu sepertinya tak sadar jika pesonanya mampu membuat setiap pria mabuk kepayang.

“Enak ya Mas, mie Aceh. Rempahnya terasa banget. Beda dengan mie di daerah kelahiran Sefti,” ujar dia memulai percakapan. Hampir 10 menit mereka saling diam. Si Abang pedagang berulangkali tersenyum melihat Haidar.

“Oya Mas, kita kenalan dong. Dari kemarin cuma kenal nama saja,” kata dia lagi.

“Saya Sefti Rahmawati. Mahasiswi semester dua Fisipol Umayah. Asal Ngawi, Jawa Timur. Baru setahun lebih sedikit di Aceh.”

Haidar mencoba tersenyum. Ternyata memang benar jika Sefti asal Jawa. Biarpun memakai pakaian muslimah, ia tergolong ceplas ceplos tapi asyik dijadikan lawan bicara. Ia cepat berbaur.

“Dekat dengan jurusan Mas kan?” katanya lagi.

Perkataan Sefti ini membuat kening Haidar sedikit berkerut. Sefti buru buru meralat perkataannya.

“Dekat dengan kampus Mas Haidar. Gedungnya FISIP kan berdekatan FKIP. Kemarin Sefti lihat pin FKIP di tas saat Mas tidur di bantaran sungai,” ujar dia.

Penjelasan Sefti membuat Haidar tersenyum. Wanita itu ternyata cukup teliti.

“Ia. Saya Ibnu Haidar, mau masuk semester 4 di FKIP Sejarah Umayah. Kita satu universitas berarti. Cuma beda kampus.”

Suasana kemudian tiba-tiba hening. Haidar mencoba menyedot sisa air kelapa di depannya. Airnya cukup manis. Apalagi oleh penjual ditambah gula dalam airnya. Sementara Sefti terlihat santai menyantap mie Aceh di depannya.

Seumur hidup, ini merupakan kali pertama bagi Haidar duduk semeja dengan seorang gadis yang hampir sebaya dengan dirinya. Hal inilah yang membuat dirinya gugup dan salah tingkah. Jantungnya berdetak cepat. Namun Haidar mencoba menutupi rasa itu dengan berpura-pura menikmati air kelapa di depannya.

Sedangkan Sefti justru lebih rileks. Ia berulangkali menatap wajah Haidar dari jarak dekat sambil tersenyum. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis itu. Tapi Haidar tak ingin menilai orang hanya dari apa yang dipikirkannya.

“Mungkin kultur beda. Gadis itu terlahir di daerah yang kultur sosialnya sedikit lebih longgar. Sementara di Aceh yang menerapkan syariat Islam, sedikit lebih tertutup,” gumam Haidar dalam hati.

“Sefti, panggil saya Haidar saja ya. Jangan dipanggil Mas. Di sini agak aneh jika ada panggilan Mas,” ujarnya kemudian.

Sefti tersenyum. Ia kemudian mengangguk.

“Iya deh, Bang Haidar. Cocokan dipanggil Bang Haidar. Maaf belum terbiasa. Di tempat asal Sefti, untuk lelaki yang lebih tua dari kita, semua dipanggil Mas,” ujar dia.

Haidar mengangguk tanda setuju. Dia dari awal memang memahami panggilan tadi usai mengetahui sosok itu berasal dari Jawa.

“Kalau di sini, panggilan Mas itu untuk penjual es krim atau tukang bakso,” ujar Haidar bercanda guna mencairkan suasana.

Mendengar hal ini, Sefti tertawa kecil. “Walah. Kalau di tempat asal Sefti, justru kata Abang itu ditunjukan untuk pedagang bakso,” ujarnya kemudian.

Keduanya kemudian tertawa lepas. Si Abang pedagang di samping terlihat tersenyum melihat keduanya. Sedari tadi, ia cemas melihat sang laki-laki muda di depannya bertingkah kaku seperti orang yang baru pertama kali berhadapan dengan lawan jenis.

“Ganteng-ganteng tapi keringatan di depan cewek. Membuat malu pria Aceh saja,” gumam si abang pedagang sambil mengamati kedua sejoli itu dengan seksama. Diam-diam ia menguping pembicaraan mereka.

“Oya. Bisa dipercepat tidak makannya, saya mau ke kampus,” ujar Haidar tiba-tiba. Sefti melongo. Si Abang pedagang tepuk jidat tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status