Share

TIGA

“Jadi dia lebih memilih untuk menginap di hotel?”

Tuan Su menyesap kopinya dengan tenang mendengarkan seorang wanita paruh baya mengomel. Perpaduannya memang tidak cocok, tetapi ia mencoba menahan diri dan tidak mengacuhkannya.

“Mau sampai kapan dia tidak menerimaku? Sikap kekanakannya itu tidak sesuai dengan usianya.”

Wanita itu memotong toast di hadapannya dengan sedikit kesal. Tuan Su hanya diam-diam melirik dan kembali fokus dengan bacaannya.

“Kau begitu memanjakannya sampai ia tidak memiliki sopan santun seperti itu, aku penasaran mirip dengan siapa sikap tidak sopannya itu.”

“Wu Xia. Perhatikan ucapanmu,” ucap Tuan Su dengan dingin.

“Jika sikapmu setidaknya sedikit saja ada kehangatan, mungkin anak itu mau pulang rumah ini.”

Wu Xia membanting alat makan yang sedang ia pegang. “Jadi kau menyalahkanku karena anakmu tidak pulang ke rumah? Siapa yang menyuruhmu untuk menikahiku?” ucapnya menggebu kemudian bangkit meninggalkan Su Liang yang masih tenang dengan kopi dan juga laporan yang sedang ia baca.

“Pagi-pagi ayah dan ibu sudah bertengkar.”

Seorang gadis yang baru bergabung duduk di salah satu meja makan.

“Ayah tidak mengatakan hal yang salah.”

Gadis itu tersenyum miring. Jika ibu dan ayahnya bertengkar pasti itu berkaitan dengan kepulangan Su Li.

“Kakakmu sudah kembali. Ayah punya rencana ingin membuat acara penyambutan. Bisakah kau membantu ayah menyiapkannya, Wei Fang?”

Gadis itu tersedak dan menatap Su Liang tidak terima. “Kenapa harus aku?” tanyanya. Menelisik perubahan raut ayahnya, Wei Fang menambahkan, “Aku akan ada acara fashion show dalam beberapa hari. Jadi akan sangat sibuk.” Gadis itu kemudian beranjak dari kursinya.

“Apakah Tuan tidak salah meminta Nona kedua menyiapkan acara penyambutan Nona muda?” tanya Ziang Chen.

Su Liang tersenyum tipis, “Yah. Apa yang aku harapkan? Wu Xia dan Wei Fang terang-terangan tidak menyukai Su Li, jadi aku hanya mencoba peruntungan.”

Wei Fang terlihat bergegas menuju kamar sang Ibu. Menerobos masuk membuat Wu Xia terkejut.

“Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini sudah membuat rusuh?”

Wei Fang duduk di atas tempat tidur. “Ibu tahu tadi apa yang Ayah katakan padaku? Aku diminta menyiapkan acara penyambutan untuk anaknya itu,” ucapnya menggebu membuat Wu Xia yang sedang memperbaiki riasannya memutar badannya dan menghadap Wei Fang.

“Kau menerimanya?”

Wei Fang menggeleng, membuat Wu Xia beranjak menghampirinya dan memukul bahunya.

“Ibu, apa maksudnya ini?”

“Kau itu sangat bodoh. Kita bisa mengambil itu sebagai kesempatan untuk mempermalukan anak sombong itu.”

Wei Fang yang tidak mengerti hanya menunggu ibunya berkata lebih lanjut sambil mengelus bahunya. Tetapi Wu Xia malah menarik tangannya untuk berdiri.

“Cepat katakan pada ayahmu kau menerimanya. Sisanya serahkan pada Ibu.”

“Tetapi aku sudah menolaknya, Bu.

“Ibu tidak peduli. Kau terima atau investasi ibu akan ibu tarik.”

Tidak percaya dengan ancaman sang Ibu, Wei Fang mengalah keluar.

“Sebenarnya siapa anak kandungnya,” gumamnya kesal.

     ***

Langkah anggun itu menghasilkan bunyi gemeletuk yang terdengar bersahutan. Su Li selalu merutuk jika diharuskan menggunakan sepatu hak tinggi. Jika bukan karena acara makan formal perusahaan sang Ayah, ia tidak akan menggunakan alas kaki yang sering disebutnya salah satu alat penyiksaan itu. Para pegawai hotel memberikan salam setiap kali berpapasan dengannya.

Dress brokat berwarna maroon dengan model one piece memeluk tubuh rampingnya pas. Roknya yang mengembang berayun setiap kali Su Li melangkahkan kaki. Walaupun tidak terlalu menyukai polesan yang berlebihan, tetapi malam ini ia tidak mau membuat sang Ayah malu di hadapan para koleganya.

Sapuan tipis berwarna peach membuat wajah seputih porselen itu terlihat segar. Lipstik merah juga memberikan efek fresh senada dengan dress yang ia kenakan. Clutch bag hitam dan gelang perak  mempercantik tampilan tangan kanannya. Tak lupa mantel putih berbulu bertengger anggun menutup dengan sempurna penampilan Su Li malam ini.

Sebuah Mercedes Benz GLC-Class terparkir apik di depan hotel. Su Li mengangguk puas, sepertinya koleksi Ayahnya bertambah lagi. Ia tersenyum kala mendapati Sekretaris Lu yang ternyata bertugas menjemputnya malam ini.

“Selamat malam, Sekretaris Lu.”

“Selamat malam, Nona. Kita berangkat sekarang.”

Tempat perjamuan dilaksanakan ternyata di salah satu restoran keluarga yang berdesain privat. Su Li merasa dibohongi. Ia kira makan malam yang dimaksud Ayahnya adalah acara formal dimana seluruh jajaran perusahaan hadir. Langkah kesalnya menggema memenuhi lorong yang didominasi warna merah.

Terdapat ornamen lampion merah di masing-masing depan pintu masuk. Pelayan yang memandu Su Li berhenti di depan salah satu ruangan dan membukakan pintu.

“Akhirnya bintang utama kita hadir.”

Su Liang bangkit dari tempat duduknya dan menyambut Su Li.

“Kau cantik sekali malam ini, putriku.”

Su Li menelan kekesalannya. Setidaknya ada beberapa kolega Ayahnya disini.

“Terima kasih, Ayah.” Su Li memberikan mantelnya kepada pelayan. Berjalan anggun di sebelah sang Ayah. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Wu Xia yang berusaha menilai penampilannya malam ini. Ada sedikit kelegaan kala maniknya tidak menangkap kehadiran Wei Fang, setidaknya berkurang satu orang yang menyebalkan.

Dari total sekitar sepuluh orang yang duduk mengitari meja, ada beberapa wajah yang baru ia temui. Ia hanya menyunggingkan senyum setiap kali ayahnya mengenalkan kepadanya.

“Paman, Ziang Wu apakah belum datang?” tanyanya saat  tidak melihat keberadaan anak dari Sekretaris pribadi ayahnya tersebut.

“Anak itu katanya sedang di jalan. Sebentar lagi sepertinya sampai.”

Tepat setelah Ziang Chen menyelesaikan ucapannya, pintu ruang perjamuan itu kembali terbuka. Seorang pemuda terlihat memasuki ruangan. Terlihat jelas bahwa pemuda itu tergesa, bulir keringat tercetak jelas di dahinya yang tidak tertutupi poni.

Walaupun sedikit berantakan, tapi penampilannya tidak bisa dibilang jelek. Keberadaan name tag yang masih tergantung apik di lehernya itu, menjadi tanda bahwa dia masih menggunakan bajunya saat bekerja. Su Li menatapnya selidik, tak disangka teman kecilnya itu berkembang banyak setelah terakhir kali mereka bertemu.

“Maaf atas keterlambatanku,” ucapnya sambil membungkuk sopan.

Su Liang tersenyum ramah, “Tidak apa Ziang Wu. Su Li juga baru saja datang. Anak muda memang perlu persiapan yang lebih lama daripada kami para orang tua ini,” ucapnya maklum.

Setelah Ziang Wu menduduki kursinya, perjamuan itu pun dimulai. Su Li bersyukur bahwa perjamuan itu tidak terlalu formal dan berjalan lancar. Ibu tirinya pun tidak membuat masalah sejauh ini. Setelah beberapa kolega pulang, menyisakan Su Li dan kedua orang tuanya.

“Jadi, apa yang ingin ayah sampaikan?” Sebenarnya ia sudah malas berlama-lama berada di satu ruangan dengan wanita yang terus menempel dengan ayahnya tersebut.

 “Ayah ingin kau menikah.”

Su Li menatap Ayahnya tidak percaya. Dari sekian banyak berita yang bisa disampaikan mengapa sang Ayah membahas hal terkait pernikahan.

“Ayah, aku masih 28 tahun.”

“Ibumu menikah saat seumuran denganmu.”

“Apa aku selama ini merepotkan ayah?”

Su Liang menghembuskan napas panjang. Ia tidak boleh salah dalam memilih kata-kata saat berhadapan dengan putrinya tersebut.

“Aku merasa tidak ada yang salah dengan kehidupanku saat ini. Aku bisa berada di titik ini bahkan tanpa melewati ikatan pernikahan itu.”

“Setidaknya kau menjalin hubungan dengan seseorang. Ayah akan membantumu mencari.”

Su Li menggeleng tidak percaya. “Ayah, pasangan itu bukan seperti pakaian yang bisa dipilihkan oleh orang lain. Fokusku pun saat ini bukan itu. Tidak bisakah Ayah berhenti selalu memaksakan kehendak?”

Su Li meneguk kasar air putih yang berada di hadapannya. Cukup usahanya mencapai jalan buntu, setidaknya sang Ayah tidak menambah rasa frustasinya. Tidak ada perkembangan yang berarti dari kasus pembunuhan sang Ibunda semenjak ia berada di Tiongkok.  “Apapun alasannya aku tidak mau menikah,” finalnya.

Su Liang memijat puncak hidungnya sejenak sebelum membalas dengan suara rendah. “Jika kau tidak mau menikah, maka kau tidak bisa menjadi pewaris Liang Tech.”

Kesabaran Su Li pun habis. Pembahasan pewaris dan pernikahan itu membuatnya muak. Tidak tahu apa yang menyebabkan sang Ayah begitu mendesaknya, Su Li pun tak mau tahu. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, menyambar mantelnya dengan tidak sabaran.

“Silakan anda berkata sesuka hati. Saya tidak peduli,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu. Su Liang hanya dapat terduduk pasrah memandangi kepergian sang putri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status