Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing.
Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut.Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya.Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Menghabiskan satu mangkuk sebelum pulang ke rumah. Mengingat hal tersebut membuat sudut matanya berair.Selain dua bungkus luosifen, Su Li juga memasukkan dua cup mie instan pedas. Kemudian ia berpindah untuk mengambil sosis dan juga tak lupa sekaleng bir. Alunan First Love dari Utada Hikaru menemani sesi belanjanya siang ini. “You are always gonna be my love, itsuka darekatomata koiniochitemo, i’ll remember to love ..” senandungnya lirih mengikuti suara merdu penyanyi asal negeri matahari terbit tersebut.Dua bungkus besar snack, dua batang coklat dan seember besar es krim coklat juga berhasil berpindah ke dalam keranjang kuning yang gadis itu jinjing. Sesi belanjanya berakhir bertepatan dengan menggemanya Give Me Five! yang dibawakan oleh grup idol kawakan SNH48 di minimarket tersebut.Hari liburnya tidak pernah sesantai ini, jadi ia memanfaatkannya dengan baik. Semenjak pindah, Su Li sama sekali tidak pernah berjalan santai di lingkungan apartemennya. Sambil mengunyah sosis dan tangan kanan mengapit reusable bag warna hijau Su Li berjalan santai kembali ke apartemennya.Melewati beberapa penjual street food membuat dirinya tergugah untuk mampir. Musim sudah berganti menjadi musim semi, artinya akan banyak yang menjual panekuk musim semi, lumpia, bahkan layang-layang.Tampilan panekuk hangat yang mengepulkan asap tipis itu berhasil menghipnotis Su Li untuk membawa pulang beberapa. Bahkan bibi penjual memberikannya bonus dua potong lumpia sebagai perayan hari pertama musim semi.Beberapa anak-anak terlihat sedang menerbangkan layangan di taman depan kompleks apartemennya. Bagi orang Tionghoa, musim semi merupakan musim terbaik untuk menerbangkan layangan. Tidak sekedar sarana bermain, mereka juga percaya bahwa bermain layangan dapat membangun kesehatan seseorang dan menjauhkan diri dari penyakit.Su Li memutuskan untuk berhenti di taman. Menyamankan bokongnya di salah satu kursi yang menghadap playground yang dipenuhi oleh anak-anak. Sebuah pohon plum di pojok taman menarik atensinya, beberapa dahan sudah mulai menampilkan bunga-bunga kecil berwarna merah jambu. Seorang anak menghampiri ketika sebuah bola membentur lembut kaki kirinya. Ia berjongkok dan memberikan bola tersebut.“Xièxiè piàoliang jiějiě (Terima kasih, kakak cantik).”Ucapan bocah kecil dengan gigi ompong itu berhasil menerbitkan senyum gemas Su Li. Sejak kecil sudah pintar berkata-kata. Bocah lelaki itu kemudian kembali bergabung bersama segerombolan anak-anak yang lain. Tawa lepas yang menggema membuatnya sedikit iri.Pikirannya kembali melanglang buana. Ia hampir frustasi, ternyata mencari suami sewaan tidaklah semudah yang ia pikirkan. Belum lagi desakan dari sang Ayah membuatnya hampir tidak ada waktu untuk beristirahat.Su Li sedikit menyesal sudah mengatakan hal konyol malam itu kepada Ayahnya. Segala macam penawaran sudah ia tawarkan tetapi penolakan dari sang Ayah mematahkan semuanya. Ia bisa menjanjikan apapun selain menikah, tetapi sayangnya Ayahnya tidak tertarik dengan semua itu. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya.Mengetikkan beberapa kalimat di sebuah forum online, berharap ada beberapa saran yang bisa membantunya mendapatkan suami sewaan.“Bar?” Dahinya mengernyit kala membaca beberapa saran yang masuk. Karena banyak yang merekomendasikannya, membuatnya penasaran untuk mencoba.“Sepertinya tidak buruk. Aku juga sudah lama tidak minum,” gumamnya.***Sekali lagi Su Li memastikan tampilannya di depan cermin. Memastikan apa yang ia kenakan saat ini sudah pas. Tanktop hitam yang dipadukan dengan kulot senada dengan outer rajut putih ia pilih sebagai penutup tampilannya. Tungkai berbalut sneakers putih itu kemudian meninggalkan kediaman. Tak lama Porsche Panamera biru metalik bergabung dengan keramaian jalanan Beijing.Pilihannya jatuh kepada Mai Bar, gadis itu suka sesuatu yang berbau tradisional. Senyum puasnya merekah sempurna ketika ia sampai pada tujuan. Bangunannya berdesain klasik yang sangat kental, bahkan pintu masuknya seperti rumah jaman dulu dengan gantungan kepala singa sebagai hiasan.Begitu masuk, ia disambut dengan ruangan yang diterangi oleh cahaya temaram. Beberapa meja bulat tersusun rapi di sebuah lorong. Su Li membawa dirinya masuk semakin dalam, gadis itu memilih duduk di depan meja bar yang berhadapan dengan puluhan botol aneka minuman keras yang didisplay dengan apik.“Selamat malam, cantik,” sapa bartender ketika Su Li menyamankan bokongnya di kursi kayu menghadap sang bartender yang sedang menyiapkan minuman.“Satu margarita,” ucapnya pendek tanpa berniat membalas basa-basi sang bartender. Selain segelas minuman beralkohol itu, ia juga memesan satu set makanan pendamping. Minum dengan perut kosong itu akan membuatmu cepat mabuk.Bagaimana kepiawaian bartender dalam meracik pesanannya menarik perhatian Su Li. Bartender memasukkan beberapa bahan ke dalam bar shaker yang sudah ditambahkan es batu sebelumnya kemudian mengocoknya kuat selama 20 detik sebelum dimasukkan ke dalam gelas.Larutan pekat berwarna putih keruh itu meluncur turun memenuhi gelas yang sebelumnya sudah diberikan garam halus pada tepiannya.“Margarita anda, Nona,” ucap bartender itu genit. Sekali lagi Su Li tidak mengacuhkan hal tersebut. Alunan musik jazz terdengar memenuhi ruangan remang-remang tersebut. Beberapa kelompok orang yang tersebar tidak membuat Su Li merasa kesepian. Inilah alasan utama kenapa ia mendatangi bar bukan club.Ketika minum, ia lebih menyukai suasana tenang daripada tempat yang penuh dengan musik yang menghentak. Entah karena suasananya yang pas atau karena dirinya membutuhkan pelarian sejenak dari rasa frustasi yang sedang menggerogoti dirinya, Su Li sudah menghabiskan gelas ketiga margarita favoritnya.Saat dirinya diambang batas kesadaran, seorang pria mendekati. “Hai, cantik. Dari tadi kuperhatikan kau sendirian.” Walau sedikit pening, Su Li masih mampu menggunakan sebagian akal sehatnya. “Pergilah, aku tidak berminat berbicara dengan siapa pun malam ini,” usirnya. Tetapi lelaki tersebut tidak pantang menyerah. Bahkan mulai berani menyentuh pundak Su Li.“Singkirkan tanganmu,” gertak Su Li tetapi pria itu tidak menghentikan aksinya. Jemarinya mencengkram kuat pergelangan tangan Su Li. Keadaan bar yang cukup ramai membuat fokus semua orang teralihkan.“Malam ini temani aku saja,” bisik pria itu seduktif. Aroma alkohol bercampur nikotin yang menguar dari napasnya membuat Su Li semakin mual. Ketika ia berusaha berontak, sebuah lengan kekar mendorong pria tersebut menjauh. “Pergi menjauh dari kekasihku,” gertaknya garang membuat lelaki itu langsung menjauh. Merasa mengenali suaranya, Su Li berbalik. “Ziang Wu. Mengapa kau ada disini?”Pemuda itu merapatkan outer yang sempat melorot dan membenahi penampilan Su Li yang jauh dari kata baik-baik saja. Ziang Wu sebenarnya ingin bertemu dengan temannya. Tetapi baru saja ia mendaratkan bokongnya, ia melihat seorang wanita yang sedang digoda oleh pria hidung belang dan semakin terkejut kala mengenali gadis tersebut.“Kita pulang sekarang,” ucapnya pendek tanpa niat untuk menjawab pertanyaan Su Li barusan. Setelah membayar dan berpamitan dengan teman-temannya, Ziang Wu membopong Su Li menuju parkiran.“Kau membawa mobil?” tanyanya yang diabaikan oleh Su Li. Gadis itu benar-benar mabuk. Ziang Wu merogoh tas yang dibawa oleh Su Li, memasukkan gadis itu ke dalam mobil segera setelah menemukan kuncinya.“Ziang Wu.”Mendengar rengekan dari gadis di sebelahnya, membuat Ziang Wu menggelengkan kepalanya. Pemuda itu dengan telaten mengurusnya. “Duduklah yang benar, agar aku bisa memasang sabuk pengamanmu.” Su Li yang terus bergerak membuat Ziang Wu kesulitan. Tubuh Ziang Wu mematung kala Su Li tiba-tiba mengalungkan lengannya. Manik kecoklatan itu seakan menguncinya.“Ini lucu sekali,” ucap Su Li sambil menyentuh tahi lalat yang berada di bawah mata kirinya. “Kau sangat tampan,” lanjutnya sambil tersenyum manis hingga menampilkan dua lesung pipit yang begitu manis. Ziang Wu sudah merasakan alarm bahaya.Ia berusaha melepaskan diri. Waktu seakan berhenti kala birai merah muda itu berhasil mendarat mulus di bibirnya, menggodanya dengan pagutan halus. Ziang Wu yakin bahwa ia belum menyentuh minumannya sedikitpun, tetapi ia merasa cukup mabuk. Aroma ceri bercampur dengan manis liquor jeruk dapat ia cecap tipis membuatnya terhanyut dalam pagutan panas yang sama sekali tidak ada dalam rencananya.Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i
“Mari kita menikah,” ulang Ziang Wu.Su Li menghambur memeluk Ziang Wu. Lengan kurus itu melingkar sempurna mendekap tubuh jangkung pemuda yang mematung akibat tindakan tiba-tiba Su Li tersebut.“Terima kasih,” gumamnya penuh dengan kesungguhan. Mendapatkan seseorang yang bersedia membantunya membuat Su Li sedikit merasa sentimental.Tubuh kurus itu bergetar lembut, Ziang Wu memberanikan diri membalas dekapan lembut yang ia terima. Membiarkan kemeja navy yang ia kenakan basah oleh sekresi air mata yang Su Li keluarkan.“Bagaimana perasaanmu?”Su Li menerima hangat yang Ziang Wu sodorkan. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya itu seolah tidak mau menghilang. Baru kali ini bisa menangis begitu lepas, bahkan saat pemakaman sang Ibunda ia tidak menangis sekeras ini.Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa tahun belakangan memang menguras seluruh emosinya. Keadaan menuntutnya untuk tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Menangis itu suatu hal yang manusiawi. Kau tidak perlu m
“Jadi, ini nyata?”Shen Yue memandangi undangan yang berada di genggamannya. Dua nama yang tertulis pada kertas putih dengan desain bunga-bunga emas yang tersebar itu membuatnya terkejut pagi ini.“Xiao Lu, bisakah kau mencubit pipiku?” Mendapatkan permintaan seperti itu membuat Xiao Lu dengan semangat menarik pipi chuby itu dengan semangat.“Akh. Kau berniat membuat pipiku lepas?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangan Xiao Lu. Pemuda itu hanya tertawa.“Jangan sampai hilang, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa undangan itu.” Kemudian pemuda itu berlalu. Ia harus menyerahkan beberapa undangan lagi kepada divisi lainnya.Seisi kantor sudah mulai berisik, tetapi sang pemeran utama penyebab kegemparan pagi ini melenggang santai memasuki perusahaan dengan tenang seperti biasa. Menenteng shoulder bag hitam di tangan kanan dan cup kopi di tangan kiri, Su Li melangkah memasuki lift.Berjubel dengan pegawai lain. Mengabaikan tatapan penasaran dari para pegawai. Ini bukan kali pertaman
Ziang Wu kembali melirik jam dinding. Ia sudah menyelesaikan satu ronde tetris di ponsel tetapi Su Li belum juga menampakkan batang hidungnya. Kembali ia membuka room chat terakhirnya bersama sang Istri. Pesan yang dikirimkan oleh Su Li sepuluh menit yang lalu menyatakan bahwa gadis itu sedang berada di lift.Pemuda itu menengok ke arah dalam di mana sang Ayah sudah kembali tertidur pulas. Kemudian mencoba menghubungi ponsel Su Li. Suara nada tunggu yang tidak berhenti membuat Ziang Wu menjadi cemas dan memutuskan untuk keluar kamar.Pada dering ke lima akhirnya panggilannya terjawab. Belum sempat ia bernapas lega, suara lirih Su Li yang memanggilnya membuat jantungnya kembali berpacu.“Su Li, kau bisa mendengarku?” Tak ada jawaban dari seberang membuat Ziang Wu memacu langkahnya menuju lift. Berkali-kali ia mencoba memanggil Su Li tetapi nihil, masih kesunyian yang menyapanya. Ziang Wu hampir mengutuk ketika ada suara yang terdengar di panggilannya.“Halo.”“Halo. Bisa berikan ponsel
Ziang Wu berbaring dalam kegelapan, terbungkus aroma tubuh Su Li dan kelembutannya, memeluk wanita itu di lekuk lengan saat sinar matahari mengintip malu-malu di balik tirai abu-abu. Terlepas dari pelukan penuh air mata di malam ia mengetahui fakta bahwa Ibu mertuanya dibunuh, ini adalah pertama kali bagaimana tubuh ringkih itu kembali tenggelam dalam pelukannya. Su Li adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Walaupun ia mengerti bahwa kemandirian yang dimiliki oleh wanita itu didorong oleh rasa takut. Takut ditinggalkan. Takut dikecewakan. Takut terluka. Su Li tidak banyak menceritakan masa lalunya, gadis itu hanya mengatakan hal-hal mendasar yang bisa menjadi acuan bagaimana dirinya dapat membantu, tetapi dari hal kecil itulah Ziang Wu dapat membentuk bagaimana sosok Su Li yang selama ini bertahan dan bertarung sendirian. Bagaimana rasa kecewa akibat dikhianati sang Ayah yang melakukan pernikahan kedua setelah kematian sang Ibu sedikit banyak mempengaruhi Su Li dalam memandan
“Jadi bagaimana kesanmu setelah menjadi Tuan muda?” Ziang Wu rasanya ingin menyumbat mulut besar Huo Yan dengan tetikus yang berada di genggamannya. Sejak pagi ia seperti ditempeli lintah yang tidak mau lepas walau sudah dipisahkan dengan berbagai cara. “Apakah kau banyak memiliki waktu luang? Mengapa kau tidak mengecek perhitunganmu?” ucap Ziang Wu yang masih mencoba fokus dengan layar komputer di depannya. Jemari panjangnya dengan gesit menari diatas keyboard hitamnya. Layar komputer menampilkan deret angka yang bergulir dengan cepat seirama dengan kecepatan jari pemuda itu saat menekan tombol. Melihat Ziang Wu yang sedang serius membuat nyali Huo Yan menciut. Program yang baru mereka kembangkan mengalami sedikit masalah perihal bug. Ziang Wu sedang mengatur beberapa kode yang bisa menjalankan debugging atau yang bisa disebut sebagai pembersihan. Sejak pagi ia sudah berkutat dengan beragam kode yang dapat menemukan atau menghapus error pada program yang sedang timnya kembangka
“Nona Lin, apa yang kau lakukan?”Su Li yang baru keluar dari kamar mandi kaget kala melihat keberadaan sekretarisnya tersebut di dalam kamar. Padahal ia tidak pernah memberikan kunci kamarnya. Karena sudah ketahuan akan melakukan sesuatu akhirnya Nona Lin berbalik menghadap Su Li. Maniknya tidak berani menatap Su Li yang sedang menatapnya garang saat ini.“Nona Lin, sekali lagi saya bertanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana bulir keringat yang terpampang nyata dengan manik yang tidak fokus itu. Namun Su Li tidak peduli, ia sama sekali tidak menyukai orang yang menyentuh ranah privasinya.“Maaf, Nyonya. Saya hanya ingin meletakkan ini.” Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak dari belakang tubuhnya dengan takut-takut. “Tuan Ziang menitipkannya untuk anda.”Alis Su Li terangkat naik kemudian menerima kotak yang ternyata berisi cokelat itu dengan bingung. “Maksudmu Ziang Wu?” tanyanya tidak percaya tetapi membuat Nona Lin mengangguk mantap. Ada masala