Share

SEPULUH

Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing.

Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut.

Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya.

Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Menghabiskan satu mangkuk sebelum pulang ke rumah. Mengingat hal tersebut membuat sudut matanya berair.

Selain dua bungkus luosifen, Su Li juga memasukkan dua cup mie instan pedas. Kemudian ia berpindah untuk mengambil sosis dan juga tak lupa sekaleng bir. Alunan First Love dari Utada Hikaru menemani sesi belanjanya siang ini. “You are always gonna be my love, itsuka darekatomata koiniochitemo, i’ll remember to love ..” senandungnya lirih mengikuti suara merdu penyanyi asal negeri matahari terbit tersebut.

Dua bungkus besar snack, dua batang coklat dan seember besar es krim coklat juga berhasil berpindah ke dalam keranjang kuning yang gadis itu jinjing. Sesi belanjanya berakhir bertepatan dengan menggemanya Give Me Five! yang dibawakan oleh grup idol kawakan SNH48 di minimarket tersebut.

Hari liburnya tidak pernah sesantai ini, jadi ia memanfaatkannya dengan baik. Semenjak pindah, Su Li sama sekali tidak pernah berjalan santai di lingkungan apartemennya. Sambil mengunyah sosis dan tangan kanan mengapit reusable bag warna hijau Su Li berjalan santai kembali ke apartemennya.

Melewati beberapa penjual street food membuat dirinya tergugah untuk mampir. Musim sudah berganti menjadi musim semi, artinya akan banyak yang menjual panekuk musim semi, lumpia, bahkan layang-layang.

Tampilan panekuk hangat yang mengepulkan asap tipis itu berhasil menghipnotis Su Li untuk membawa pulang beberapa. Bahkan bibi penjual memberikannya bonus dua potong lumpia sebagai perayan hari pertama musim semi.

Beberapa anak-anak terlihat sedang menerbangkan layangan di taman depan kompleks apartemennya. Bagi orang Tionghoa, musim semi merupakan musim terbaik untuk menerbangkan layangan. Tidak sekedar sarana bermain, mereka juga percaya bahwa bermain layangan dapat membangun kesehatan seseorang dan menjauhkan diri dari penyakit.

Su Li memutuskan untuk berhenti di taman. Menyamankan bokongnya di salah satu kursi yang menghadap playground yang dipenuhi oleh anak-anak. Sebuah pohon plum di pojok taman menarik atensinya, beberapa dahan sudah mulai menampilkan bunga-bunga kecil berwarna merah jambu. Seorang anak menghampiri ketika sebuah bola membentur lembut kaki kirinya. Ia berjongkok dan memberikan bola tersebut.

“Xièxiè piàoliang jiějiě (Terima kasih, kakak cantik).”

Ucapan bocah kecil dengan gigi ompong itu berhasil menerbitkan senyum gemas Su Li. Sejak kecil sudah pintar berkata-kata. Bocah lelaki itu kemudian kembali bergabung bersama segerombolan anak-anak yang lain. Tawa lepas yang menggema membuatnya sedikit iri.

Pikirannya kembali melanglang buana. Ia hampir frustasi, ternyata mencari suami sewaan tidaklah semudah yang ia pikirkan. Belum lagi desakan dari sang Ayah membuatnya hampir tidak ada waktu untuk beristirahat.

Su Li sedikit menyesal sudah mengatakan hal konyol malam itu kepada Ayahnya. Segala macam penawaran sudah ia tawarkan tetapi penolakan dari sang Ayah mematahkan semuanya. Ia bisa menjanjikan apapun selain menikah, tetapi sayangnya Ayahnya tidak tertarik dengan semua itu. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya.

Mengetikkan beberapa kalimat di sebuah forum online, berharap ada beberapa saran yang bisa membantunya mendapatkan suami sewaan.

“Bar?” Dahinya mengernyit kala membaca beberapa saran yang masuk. Karena banyak yang merekomendasikannya, membuatnya penasaran untuk mencoba.

“Sepertinya tidak buruk. Aku juga sudah lama tidak minum,” gumamnya.

***

Sekali lagi Su Li memastikan tampilannya di depan cermin. Memastikan apa yang ia kenakan saat ini sudah pas. Tanktop hitam yang dipadukan dengan kulot senada dengan outer rajut putih ia pilih sebagai penutup tampilannya. Tungkai berbalut sneakers putih itu kemudian meninggalkan kediaman. Tak lama Porsche Panamera biru metalik bergabung dengan keramaian jalanan Beijing.

Pilihannya jatuh kepada Mai Bar, gadis itu suka sesuatu yang berbau tradisional. Senyum puasnya merekah sempurna ketika ia sampai pada tujuan. Bangunannya berdesain klasik yang sangat kental, bahkan pintu masuknya seperti rumah jaman dulu dengan gantungan kepala singa sebagai hiasan.

Begitu masuk, ia disambut dengan ruangan yang diterangi oleh cahaya temaram. Beberapa meja bulat tersusun rapi di sebuah lorong. Su Li membawa dirinya masuk semakin dalam, gadis itu memilih duduk di depan meja bar yang berhadapan dengan puluhan botol aneka minuman keras yang didisplay dengan apik.

“Selamat malam, cantik,” sapa bartender ketika Su Li menyamankan bokongnya di kursi kayu menghadap sang bartender yang sedang menyiapkan minuman.

“Satu margarita,” ucapnya pendek tanpa berniat membalas basa-basi sang bartender. Selain segelas minuman beralkohol itu, ia juga memesan satu set makanan pendamping. Minum dengan perut kosong itu akan membuatmu cepat mabuk.

Bagaimana kepiawaian bartender dalam meracik pesanannya menarik perhatian Su Li. Bartender memasukkan beberapa bahan ke dalam bar shaker yang sudah ditambahkan es batu sebelumnya kemudian mengocoknya kuat selama 20 detik sebelum dimasukkan ke dalam gelas.

Larutan pekat berwarna putih keruh itu meluncur turun memenuhi gelas yang sebelumnya sudah diberikan garam halus pada tepiannya.

“Margarita anda, Nona,” ucap bartender itu genit. Sekali lagi Su Li tidak mengacuhkan hal tersebut. Alunan musik jazz terdengar memenuhi ruangan remang-remang tersebut. Beberapa kelompok orang yang tersebar tidak membuat Su Li merasa kesepian. Inilah alasan utama kenapa ia mendatangi bar bukan club.

Ketika minum, ia lebih menyukai suasana tenang daripada tempat yang penuh dengan musik yang menghentak. Entah karena suasananya yang pas atau karena dirinya membutuhkan pelarian sejenak dari rasa frustasi yang sedang menggerogoti dirinya, Su Li sudah menghabiskan gelas ketiga margarita favoritnya.

Saat dirinya diambang batas kesadaran, seorang pria mendekati. “Hai, cantik. Dari tadi kuperhatikan kau sendirian.” Walau sedikit pening, Su Li masih mampu menggunakan sebagian akal sehatnya.

“Pergilah, aku tidak berminat berbicara dengan siapa pun malam ini,” usirnya. Tetapi lelaki tersebut tidak pantang menyerah. Bahkan mulai berani menyentuh pundak Su Li.

“Singkirkan tanganmu,” gertak Su Li tetapi pria itu tidak menghentikan aksinya. Jemarinya mencengkram kuat pergelangan tangan Su Li. Keadaan bar yang cukup ramai membuat fokus semua orang teralihkan.

“Malam ini temani aku saja,” bisik pria itu seduktif. Aroma alkohol bercampur nikotin yang menguar dari napasnya membuat Su Li semakin mual. Ketika ia berusaha berontak, sebuah lengan kekar mendorong pria tersebut menjauh.

“Pergi menjauh dari kekasihku,” gertaknya garang membuat lelaki itu langsung menjauh. Merasa mengenali suaranya, Su Li berbalik. “Ziang Wu. Mengapa kau ada disini?”

Pemuda itu merapatkan outer yang sempat melorot dan membenahi penampilan Su Li yang jauh dari kata baik-baik saja. Ziang Wu sebenarnya ingin bertemu dengan temannya. Tetapi baru saja ia mendaratkan bokongnya, ia melihat seorang wanita yang sedang digoda oleh pria hidung belang dan semakin terkejut kala mengenali gadis tersebut.

“Kita pulang sekarang,” ucapnya pendek tanpa niat untuk menjawab pertanyaan Su Li barusan. Setelah membayar dan berpamitan dengan teman-temannya, Ziang Wu membopong Su Li menuju parkiran.

“Kau membawa mobil?” tanyanya yang diabaikan oleh Su Li. Gadis itu benar-benar mabuk. Ziang Wu merogoh tas yang dibawa oleh Su Li, memasukkan gadis itu ke dalam mobil segera setelah menemukan kuncinya.

“Ziang Wu.”

Mendengar rengekan dari gadis di sebelahnya, membuat Ziang Wu menggelengkan kepalanya. Pemuda itu dengan telaten mengurusnya. “Duduklah yang benar, agar aku bisa memasang sabuk pengamanmu.” Su Li yang terus bergerak membuat Ziang Wu kesulitan. Tubuh Ziang Wu mematung kala Su Li tiba-tiba mengalungkan lengannya. Manik kecoklatan itu seakan menguncinya.

“Ini lucu sekali,” ucap Su Li sambil menyentuh tahi lalat yang berada di bawah mata kirinya. “Kau sangat tampan,” lanjutnya sambil tersenyum manis hingga menampilkan dua lesung pipit yang begitu manis. Ziang Wu sudah merasakan alarm bahaya.

Ia berusaha melepaskan diri. Waktu seakan berhenti kala birai merah muda itu berhasil mendarat mulus di bibirnya, menggodanya dengan pagutan halus. Ziang Wu yakin bahwa ia belum menyentuh minumannya sedikitpun, tetapi ia merasa cukup mabuk. Aroma ceri bercampur dengan manis liquor jeruk dapat ia cecap tipis membuatnya terhanyut dalam pagutan panas yang sama sekali tidak ada dalam rencananya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status