Share

DUA

Wanita itu membuka matanya, napasnya memburu. Butir-butir keringat menghiasi wajahnya yang seputih porselen. Ada napas lega saat ia sadar bahwa dirinya berada di kamarnya. Berkas sinar yang masuk melalui celah gorden menyadarkan dirinya bahwa matahari telah bertugas.

 Getar ponsel di atas meja membuatnya bangkit ke arah benda persegi itu ia letakkan. Senyum tipisnya terkembang kala melihat siapa yang menghubunginya.

“Ya, Miss Moore?”

Su Li menjauhkan ponsel dari telinganya, mengaktifkan mode loudspeaker sambil berjalan menuju pantry.

“Pelan-pelan saja,” ucapnya santai.

Bagaimana bisa anda setega ini dengan saya?”

Su Li terkekeh, ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi sekretarisnya saat ini. Manik keabuan itu pasti sedang berkaca-kaca.

Su Li sedang mengambil cangkir ketika, Ms. Moore kembali menambahkan, “Bahkan anda tidak memberikan kesempatan untuk saya mengucapkan perpisahan dengan benar.”

“Dan membuatmu tidak konsentrasi dengan pekerjaanmu?”

Su Li mengambil  beberapa apel di dalam kulkas, samar ia bisa mendengar isakan di seberang teleponnya. “Proyek terakhir yang kita kerjakan berhasil. Kau sudah bekerja keras Miss Moore. Semua pekerjaanku sampai akhir kuartal ini juga sudah saya letakkan di atas meja. Kau bisa membawanya.”

“Apakah ini alasan anda memintaku untuk pulang tepat waktu kemarin? Sampai akhir anda masih membicarakan pekerjaan.”

Suara siulan dari ketel listrik di ujung meja membuat Su Li bergegas. “Saya hanya memberikan waktu untukmu berkencan. Kemarin saya mendengar kalian akan makan malam?” goda Su Li. Ia yakin saat ini pipi Ms. Moore akan merona, terdengar      dehaman canggung sebelum wanita di seberang sana kembali berbicara.

“Saya akan mengingat apa saja yang anda ajarkan Miss Su. Walaupun sebenarnya sedih saya bersyukur karena anda akan pulang. Tetaplah sehat Miss Su Li.”

Su Li merasakan kehangatan mengisi hatinya, “Jangan terlalu mengkhawatirkan saya. Anda juga Miss Moore, terima kasih untuk selama ini.”

Jika suatu saat anda kembali ke London, jangan lupa menghubungiku. Selamat sampai tujuan Miss Su.”

Hm, terima kasih Miss Moore.”

Panggilan itu pun berakhir. Su Li mengamati riak coklat panas yang baru saja ia sesap. “Pulang, ya?” gumamnya. Ia hanya berharap apa yang ia korbankan saat ini setimpal dengan apa yang akan ia dapatkan kelak.

Su Li membawa langkahnya menuju jendela besar di ruang tamunya.  Kesibukan kota London terlihat jelas walau dari lantai delapan apartemennya. Bagaimana padatnya King’s Road pada musim liburan saat ini.

 Jalanan yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan dan gaya hidup di London itu, menjadi favorit wisatawan maupun warga lokal untuk menghabiskan pundi-pundi kekayaan yang mereka miliki.

Walaupun telah menempati apartemennya hampir selama dua tahun terakhir, namun Su Li masih belum memiliki kesempatan untuk menjelajahi salah satu jalanan tersibuk itu.

Sesapan pelan terdengar saat ia menyesap dalam coklat panasnya. Ingatannya mengawang saat perdebatan sengit antara dirinya dengan sang Ayah dua tahun silam.

“Su Li, dengarkan Ayah.”

Langkah gadis itu terhenti. Ia kemudian berbalik dan menatap nanar pria paruh baya yang menatap nya dengan berkaca-kaca.

“Ayah bilang, Ibu satu-satunya. Namun hal konyol apa ini? Bahkan luka di sini masih basah dan menganga lebar, Ayah,” ucapnya sambil terisak dan memukul dadanya.

“Bahkan aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengikhlaskan kepergian Ibu yang tiba-tiba. Tetapi Ayah masih memiliki pemikiran untuk kembali menikah?”

“Dengarkan penjelasan Ayah. Hal ini …”

“Cukup. Aku tidak akan menghalangi pernikahan Ayah. Jadi, Ayah jangan menghalangiku untuk pergi.”

Tanpa kembali berbalik, Su Li menggeret koper putih miliknya meninggalkan kediaman  keluarga Su.

Su Li membuka matanya. Sejak pertama kali sang Ayah mengatakan ingin menikah hingga saat ini, ia tidak pernah paham dan mengerti, mengapa sang Ayah mengambil keputusan tersebut. Apalagi wanita pilihan sang Ayah adalah Wu Xia, mantan sekretaris Ayahnya saat itu.

“Apakah Ayah berselingkuh di belakang Ibu?”

***

“Pesawat nona muda akan mendarat sore ini, Tuan.”

Lelaki paruh baya itu bergeming, masih setia menatap gedung-gedung menjulang di depannya.

“Tuan?” Sekali lagi lelaki itu memanggil. Begitu terkejut ia ketika melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh sang Tuan.

“Apakah anda baik-baik saja, Tuan?” tanyanya takut-takut.

“Apakah ekspresiku aneh, Ziang Chen?”

Dengan ragu, lelaki yang dipanggil Ziang Chen itu menggeleng. Walaupun ekspresi yang begitu kaku, tapi ia sangat  tahu bahwa Tuannya sangat senang.

“Anda pasti senang ketika mendengar kabar bahwa nona muda akan pulang.”

Lelaki paruh baya itu berjalan menuju kursi kebesarannya. Sebuah name desk yang terbuat dari marmer bertuliskan Su Liang bertengger apik di atas meja. Ia mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Tentu saja. Su Li-ku tersayang akan pulang setelah dua tahun. Anak nakal itu akan menetap di Tiongkok.”

Ziang Chen tersenyum hangat, sangat jarang melihat Su Liang mengeluarkan banyak kata seperti saat ini.

“Aku kira aku akan sendirian hingga maut menjemputku.”

“Anda tidak boleh mengatakan itu, Tuan. Nona muda hanya pergi untuk mengumpulkan pengalaman. Lagipula anda memiliki Nyonya Wu Xia dan nona Wei Fang.”

Su Liang tersenyum kecut. Bukannya ia tidak tahu apa alasan sang Putri semata wayangnya tidak pernah pulang. Walau sebenarnya ia selalu mengirim orang untuk mengawasi dan memberinya kabar terkait putri semata wayangnya tersebut. Membiarkan Su Li keluar dari rumah dua tahun lalu adalah kesalahan yang selalu ia sesali.

Mendiang Istrinya selalu mengeluh karena seluruh sifat buruknya ia warisi kepada Su Li, seperti sifat keras kepala. Sehingga ia tidak memiliki pilihan lain sampai sang Putri sendrilah yang akan datang menghampirinya.

Sadar membuat suasana menjadi canggung, Ziang Chen berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Apakah Tuan tidak menjemput Nona muda?”

Lelaki paruh baya itu terkekeh. “Kau seperti tidak tahu bagaimana sifat Su Li. Gadis itu akan kabur ketika melihatku.”

“Apalagi tahun ini ia berusia 28 tahun. Omelannya pasti lebih memekakkan telinga. Hidup sendiri sejak sekolah menengah di negeri orang membuatnya lebih mandiri,” lanjutnya. Ziang Chen setuju. Nona mudanya itu sedikit berbeda dengan nona muda pada umumnya.

“Kalau begitu saya akan mengutus sekretaris Lu untuk menjemput nona muda.”

Su Liang mengangguk dan membiarkan Ziang Chen keluar dari ruangannya.

“Anak kita akhirnya pulang,” gumamnya sambil melihat sebuah potret yang ia sandingkan dengan potret Su Li di mejanya.

***

 Dingin dan kering. Dua kata itu yang bisa Su Li deskripsikan tentang kota kelahirannya ketika ia keluar dari bandara. Ia sangat bersyukur Ayahnya tidak membuat keributan. Sang Ayah hanya mengirim satu orang untuk menjemputnya.

“Selamat datang kembali di Beijing, Nona muda. Masuklah terlebih dahulu, saya akan mengemas barang bawaan Nona.”

Su Li sebenarnya masih merasakan canggung, ia hanya bisa mengangguk dan merapatkan mantelnya sebelum masuk ke dalam mobil. Hangat. Ternyata orang suruhan ayahnya itu sudah menyalakan penghangat di mobil. 

“Sekretaris Lu,” gumamnya mengulangi nama saat lelaki tadi memperkenalkan diri.

“Mohon maaf menunggu nona, kita akan pergi sekarang,” ucap Sekretaris Lu segera setelah memasuki mobil. Su Li menyamankan diri, penerbangan 13 jam lebih itu membuatnya cukup merasa letih. Setidaknya ia akan segera beristirahat dengan nyaman nanti jika sudah sampai di hotel.

“Antar aku ke Wangfujing.”

Kalimat pendek Su Li membuat Sekretaris Lu terkejut. “Tetapi Tuan besar menyuruh saya mengantarkan Nona muda ke rumah utama.”

“Apakah Ayah lupa memberitahukan bahwa ucapanku tidak bisa dibantah?”

Sekretaris Lu meneguk ludahnya kasar, istilah bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Keduanya memiliki aura intimidasi yang sama.

“Baik, Nona.” Sekretaris Lu memilih untuk mengikuti perintah Su Li. Setidaknya ia bisa melapor di hotel mana yang akan ditempati Nona mudanya tersebut.

Cuaca musim dingin di Beijing sangat berbeda dengan London. Bahkan ia melihat beberapa air mancur yang membeku.

“Apakah musim dingin di Beijing memang seperti ini?” Su Li penasaran.

Sekretaris Lu mengangguk. “Nona datang setelah terjadi gelombang dingin. Minggu lalu bahkan pemerintah membatasi aktivitas luar ruangan. Bandara pun tutup. Seluruh kota tertutupi oleh salju.”

Su Li mengangguk. Penerbangannya tertunda satu minggu dari jadwal awal. Sekretaris Lu bersemangat menceritakan beberapa wahana yang bisa dikunjungi saat musim dingin, tetapi hal tersebut membuatnya semakin mengantuk.

“Nona muda.”

Su Li terbangun, ternyata mereka sudah sampai di hotel tujuan. “Saya sudah memesankan kamar, barang Nona juga sudah diantarkan. Ini kunci kamarnya.” Sekretaris Lu menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna hitam.

“Terima kasih.”

Su Li akui, untuk ketangkasan anak buah Ayahnya itu patut diacungi jempol. Wanita itu kemudian berjalan memasuki hotel. Setidaknya malam ini ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa diganggu siapapun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status