Share

Bab 6. I Will Be With You

Sesampai di rumah Rai membereskan koper dan menukar mobil dengan motor. Salmah sang asisten rumah tangga heran melihat tuan mudanya menyeret tas besar menuju motor.

“Mau kemana, Mas?” Kok pake motor?”

‘Dinas.” Ia menjawab singkat.

‘Dinas kemana?”

“Ke bulan.” Rai tidak suka ditanya-tanya.

“Ke bulan kok naik motor.” Sang asisten yang sudah lama bekerja di rumah Rai sama cuek dengan majikan mudanya.

“Nanti kalau Ibu tanya bilang kemana?” Ia masih penasaran.

“Bilang pergi tugas. Sudah! Gak usah cerewet kamu.”

“Ih, ditanya baik-baik juga. Kenapa marah-marah?” Salmah yang agak ganjen tak pernah merasa sungkan pada tuan mudanya yang tampan. Terkadang ia sengaja menggoda Rai. Namun Rai tidak pernah menggubris kelakuan minus asistennya.

“Mau dibantuin gak bawa kopernya?” Ia masih berusaha cari perhatian.

Rai melengos. “Udah sana. Urus aja kerjaan kamu. Gak usah ikut campur.”

Salmah malah melempar senyum menggoda, yang dibalas dengan mata melotot oleh Rai.

“Lagian masak bawa koper besar gitu pake motor? Naik taksi aja.” Ia mencoba memberi saran melihat Rai kesulitan menyusun koper  ke atas motor.

“Hush. Diam!” Rai kesal dengan keusilan Salmah.

“Mas Rai mau kemana sih?”

“Salmah. Kamu berdiri di pojok sana. Dan diam! Bisa kan?” Rai menatap asisten itu dengan tatapan tajam.

“Gue sedang sibuk. Jadi jangan berisik!”

Salmah memonyongkan bibir dan tetap berdiri di samping Rai yang sibuk menyusun koper di motornya.

“Bawa-bawa koper besar berarti mas Rai mau pergi lama ya. Itu kan motor operasional Salmah. Nanti Salmah pake apa dong belanja ke tukang sayur.” Asisten ganjen itu seperti baru menyadari Rai bakal pergi lama dengan membawa motor yang biasa ia pakai untuk kesana kemari.

“Nanti minta beliin lagi sama Ibu.” Rai menjawab cuek.

“Idih, mana bisa beli motor segampang itu. Memangnya Mas Rai mau pergi berapa lama? Kenapa bawa motor sih? Naik taksi atau pake ojek online aja.” Sepertinya ia mulai mengkhawatirkan nasibnya tanpa ada motor di rumah.

Rai bergeming, dan ketika koper sudah aman, ia menyalakan mesin.

“Sudah sana bukain pagar. Gak usah banyak omong!”

Salmah tergopoh-gopoh membukan pintu untuk tuan mudanya yang bertingkah aneh. Ia tak lagi protes karena tahu Rai tak akan menggubris keberatannya.

“Hati-hati di jalan, Mas Rai Ganteng.” Salmah melambaikan tangan dengan genit, dan dibalas dengan pandangan jutek oleh Rai.

“Dasar ganjen.” Ia mengomel, dan berlalu meninggalkan sang asisten.

 ***

Motor bebek yang biasa dipakai Salmah tampak kecil bagi tubuh tinggi besar Rai. Namun ia cuek. Sam sudah mengingatkan Rai bahwa Zee tidak menyukai kemewahan. Ia memutuskan menggunakan motor agar bisa memenangkan taruhan dari Sang Ayah.

“Jika dia tidak suka kemewahan, sekalian akan kupaksa dia merasakan ketidaknyamanan.” Ia bertekad membuat hidup Zee tidak lagi mudah.

Rai telah menghubungi sang ayah untuk minta ijin menjalankan rencananya. Sam sangat gembira menyambut rencana yang ia ajukan. Sam langsung berkoordinasi dengan Will, ayah Zee. Kedua laki-laki itu takjub karena akhirnya Rai totalitas merima tantangan Sam. Kedua sahabat itu begitu bahagia karena merasa harapan mereka sepertinya bakal terwujud.

Sementara itu, Rai yang tengah mengendarai motor di jalanan yang macet sibuk menyusun rencana untuk menghadapi Zee. Tekadnya jelas. Gadis itu harus bisa ditaklukkan, entah bagaimana caranya. Dan Rai harus bertahan menjadi pengawalnya selama enam bulan. Menyebalkan, namun juga penuh tantangan. Namun Rai yakin, kemenangannya hanya masalah waktu.

Butuh waktu satu jam perjalanan hingga akhirnya ia sampai di rumah Zee. Bik Jah membukakan pintu dan menyambut kehadirannya dengan ramah.

“Mas Rai, ya? Saya Bik Jah. Tadi Tuan Will sudah telpon bibik, katanya Mas Rai mau kesini.”

“Iya, Bik. Saya Rai. Zee ada?”

“Non Zee belum pulang, Mas. Tadi telpon katanya pulang malam.”

“Oh, iya. Tidak apa-apa Bik.”

“Kamar sudah bik Jah siapin di atas. Mas Rai langsung naik aja.”

“Terima kasih Bik.” Ia memarkir motor dan menurunkan koper.

“Mau bibik bawain kopernya, Mas?”

“Oh, gak usah Bik. Berat ini. Tolong tunjukin aja kamarnya.”

Bik Jah memandu Rai menuju ke dalam rumah.

“Boleh istirahat dulu sebentar di ruang tamu ya Bik. Masih pegel naik motor.” Ia menghempaskan tubuh di sofa empuk ruang tamu Zee yang nyaman. Bik Jah tersenyum.

“Silahkan Mas. Santai aja. Bibik ambilin minum dulu ya.” Bik Jah meninggalkan Rai.

Rai melayangkan pandangan ke seisi rumah mewah itu. Di ruang tamu terdapat foto-foto Zee kecil bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Foto-foto yang menampilkan kegembiraan sebuah keluarga bahagia. Zee yang selalu berpose dengan gaya santai, tampak ceria dalam pelukan mama dan kakak laki-lakinya. Rai ikut tersenyum ketika menatap satu per satu foto-foto tersebut. Tak bisa ia bayangkan, gadis kecil di foto itu kini mampu membuat ia kalang kabut dan harus melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.

Tak lama Bik Jah datang membawa minuman.

“Silahkan Mas Rai. Minum dulu. Nanti kalau Mas sudah santai, bibik antar ke kamar di lantai atas.”

“Baik Bik. Terima kasih. Oya, tolong jangan bilang Zee kalau saya di sini.” Ia tak ingin gadis itu tahu keberadaan Rai di rumahnya. Ia harus memberi kejutan pada gadis tomboy itu.

“Baik Mas. Tapi biasanya kalo Non Zee bilang pulang malam, pulangnya malam beneran lho. Mas Rai gak usah tunggu.”

“Iya. Bibik gak usah nungguin juga. Saya pengawal Zee. Jadi biar saya nanti yang bukain pintu malam-malam buat dia.” Rai memberi penjelasan pada Bik Jah yang menatapnya dengan pandangan heran.

“Benar Mas Rai pengawal Non Zee? Biasanya gak ada yang nginap, Mas. Kalaupun ada yang nginap, tinggal di paviliun belakang sama tukang kebun dan Supir.” Bik Jah kembali menatap Rai penuh tanda tanya.

“Tapi tadi Tuan Will bilang, Kamar Mas Rai di lantai atas.”

“Iya, saya pengawal Non Zee.” Ia membalas acuh tak acuh.

Sudah tiga hari ia menjadi pengawal Zee, namun selama ini ia tidak pernah ke rumah Zee. Ia langsung ke mall sesuai arahan ayahnya. Pulang pun ia hanya mengintai Zee dari jauh. Kini, setelah tiga hari ia dibikin tampak konyol oleh Zee, ia ingin mengawal langsung gadis itu sejak bangun tidur hingga kembali tidur. Jika perlu ia akan mengikutinya selama dua puluh empat jam. Tekad yang disetujui dengan suka cita oleh kedua orang tua mereka.

“Jangan kira kamu bakal menang melawan Rai Sukmadilaga.” Tanpa sadar ia tersenyum senang membayangkan reaksi gadis itu jika tahu rencananya.

“Pengawal kok ganteng bener.” Bik Jah tampaknya tak tahan tidak memberi komentar melihat penampilan Rai. Sejak kecil ia menjadi pengasuh Zee, tapi belum ada pengawal yang seperti Rai. Bik Jah langsung merasa suka pada pengawal baru Nona kesayangannya.

“Non Zee itu anak baik, Mas. Tapi gak ada pengawal yang betah.” Ia berusaha memberi kesan baik pada Rai.

“Bibik harap Mas Rai bisa betah mengawal Non Zee. Kalau Non Zee berlaku gimana-gimana, gak usah dimasukin hati, ya.”

“Memangnya Zee anak satu-satunya?”

“Mama Non dan kakak sudah meninggal sejak dia usia sepuluh tahun. Sejak itu Non Zee seperti anak tunggal. Makanya Tuan selalu memberi pengawal.”

“Kenapa para pengawal gak ada yang betah?” Rai merasa perlu mengorek info dari Bik Jah yang sangat mengenal Zee.

“Karena pengawal-pengawal Non Zee sebelumnya gak ada yang bisa ngalahin Non. Mereka lembek, jadi Non Zee suka ngerjain. Akhirnya malah mengundurkan diri.” Ia memberi keterangan sembari menatap jenaka pada Rai.

Rai membelakkan mata mendengar penjelasan Bik Jah.

“Oya?? Memangnya Non Zee sekuat apa?”

“Wah, Mas Rai belum kenal ya? Nanti aja Mas Rai lihat sendiri, biar tahu seperti apa Non Zee. Tapi sebenarnya dia sangat baik. Mudah-mudahan mas Rai bisa menghadapinya.” Sebuah senyum tampak di bibir Bik Jah yang berusia separuh baya.

“Bibik sudah ngasuh Non sejak dia kecil. Jadi tahu betul siapa dia.” Bik Jah menambahkan info.

“Hmm… menarik… Mari kita mulai peperangan ini, kalau begitu.” Rai membatin. Ia tak sabar untuk segera bertemu dan berhadapan face to face dengan gadis yang akan dia kawal selama dua puluh empat jam sejak sekarang hingga enam bulan ke depan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status