Share

Bab 4. Balas Dendam

Zee mendapat kesempatan kabur dari Rai. Saat film sedang tayang, ia sengaja ke luar dan mencari tahu keberadaan Rai. Setelah celingukan mencari laki-laki itu di seputar bioskop dan turun satu lantai di bawahnya, tak juga terlihat si pengawal sombong. Tiba-tiba ia menemukan ide untuk membalas dendam atas perlakuan kurang ajar Rai tadi siang.

Bergegas ia kembali masuk dan memaksa Dena keluar. Dena yang tengah asik menikmati film, protes. Tapi Zee ngotot.

“Kenapa sih Zee. Kan lagi seru ini filmnya.” Dena cemberut ditarik-tarik Zee untuk keluar.

“Ayolah Na. Kita jalan ke luar. Ajak Zack.” Ia berbisik di kuping Dena.

Begitu mendengar nama Zack, Dena langsung semangat.

“Eh iya. Gue juga kangen sama Zack. Yuk.” Dena otomatis beranjak dari tempat duduk. Mereka berjalan merunduk di antara deretan kursi bioskop agar tidak menghalangi penonton lain.

Zee setengah berlari menarik tangan Dena agar cepat sampai ke parkir. Ia ingin ngumpet di mobil Dena dan segera keluar dari mall.

“Ih sabar apa, Zee.” Gue kan pake sepatu tinggi, gak kayak lu yang pake sneakers gitu.”

“Iya. Tapi buruan.” Zee khawatir Rai memergoki mereka sebelum sampai ke mobil Dena.

Begitu Dena membunyikan alarm pembuka pintu, Zee berlari masuk ke mobil Dena.

“Huff, akhirnya!” Ia manarik nafas lega.

“Kenapa sih Zee, kayak orang lagi dikuntit gitu. Takut amat.”

“Eitts. Lizzy gak pernah takut ya. Gue cuma pengen cepat ketemu Zack.” Ia ngeles tidak mau Dena curiga.

“Gue telpon Zack ya. Lu nyetir aja. Yuk buruan keluar.” Zee benar-benar khawatir Rai memergoki mereka.

Di panggilan ketiga, Zack mengangkat telpon dengan suara riang.

“Hai Lizzy Bizzy Dizzy. Kamu kemana aja? Sombong amat. Gue telpon beberapa kali dicuekin.” Lagi-lagi sahabatnya protes karena ia memang jarang memegang ponsel. Zee tidak termasuk anak muda penggila gadget. Ia lebih senang interaksi langsung dengan orang di dunia nyata daripada sibuk bermain gadget dan tidak peduli pada lingkungan.

“Zack. Lu dimana?” Ia langsung menyela Zack yang kalau dibiarkan bisa ngoceh panjang lebar.

“Di rumah lah. Lagi malas kemana-mana. Abis gak ada lu.”

“Good. Tunggu gue sama Dena di rumah ya. Jangan lupa, mandi dulu. Gue gak mau nyium aroma lu yang sengit itu.” Zee memang biasa bicara cuek pada Zack. Begitu pun Zack padanya.

“Eh, tumben. Kok bisa ketemu Dena? Kalian lagi dimana?” Zack mengabaikan komplain Zee.

“Udah gak usah banyak tanya dulu. Siap-siap gih. Setengah jam lagi gue sama Dena sampai di sana. Oya, nanti kalo mau telpon, ke ponsel Dena aja. Baterai gue lowbat. Udah dulu ya.” Zee ingin segera mengakhiri pembicaraan dan mematikan ponsel biar Rai tidak bisa melacak keberadaannya.

“Hei.. ntar dulu apa. Main udahan aja.” Zack terdengar sebal.

“Udah pokoknya siap-siap. Telpon mau gue matiin, keburu nol nanti susah dinyalain.” Zee langsung menutup pembicaraan dan mematikan ponsel.

Dena melirik Zee, Lagi-lagi ia heran melihat ulah sahabatnya yang biasa cuek dan masa bodo. Kali ini ia benar-benar tampak aneh di matanya.

“Biar gue tanya, lu pasti gak mau jawab kan?” Ia tak mau lagi bertanya karena yakin Zee akan jawab asal.

“Tanya apaan, Na?” Zee terdengar mulai rileks.

“Lu gak kayak biasanya. Serba terburu-buru, bikin gue deg-degan jadinya.”

Zee tertawa. Ia takjub karena Dena bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan.

“Deg-degan kenapa? Gue santai kok.” Ia berusaha ngeles.

Dena “mengangkat bahu”. Ia sebal pada Zee yang tiba-tiba seperti penuh rahasia.

Mereka sampai di portal pembayaran parkir. Tiba-tiba Zee teringat janji pada Joni mau membawakan makanan. Terbayang ekspresi Joni yang penuh harap, ia merasa sangat bersalah. Untungnya Mamat, salah satu tukang parkir teman Joni, sedang berada di dekat situ. Zee berteriak memanggil. Mamat berlari mendekat begitu melihat Zee.

“Eh, mbak Zee mau kemana?” Ia heran melihat Zee sudah keluar dari mall. Biasa gadis itu baru meninggalkan mall setelah gelap.

“Ada perlu!” Ia bergegas membuka dompet.

“Mat, gue minta tolong ya. Tadi gue janji bawaain Joni makanan sekalian buat lu dan Udin. Tapi gue harus jalan sekarang. Gak sempat beli. Tolong kasihin ini ke Joni ya. Buat bertiga.” Zee menyerahkan tiga lembar uang lima puluh ribu pada Mamat.

“Eh, apaan nih mbak Zee?” Ia tampak heran.

“Udah kasihin Joni, dia ngerti. Gue cabut ya.” Gadis itu langsung menaikkan kaca mobil.

Lagi-lagi Dena dibuat heran dengan ulah si tomboy kesayangannya.

“Gue juga gak perlu tanya kenapa lu kenal mereka kan?” Dena kembali melontarkan pernyataan yang membuat Zee tertawa senang.

“Hahah…Iya! Lu gak usah tanya kenapa gue kenal mereka dan apa yang terjadi. Daripada jawaban gue bikin lu kaget lagi.” Zee memang tidak ada niat bercerita pada Dena tentang kesehariannya di mall.

“Mendingan kita bikin rencana, ntar mau kemana kalau udah ada Zack.” Ia mengalihkan pembicaraan.

Dena cuek. Pura-pura tidak mendengar ucapan sahabatnya.

Begitu keluar mall, Zee langsung menurunkan sandaran kursi dan rebahan dengan santai.

“Gue boleh tidur gak, Na?” Tiba-tiba ia merasa sangat capek.

“Ih, masa gue jadi supir sih, Zee?” Dena cemberut.

“Ya udah. Kalo gitu, lu ngobrol, gue dengerin.”

Namun nyatanya, sepanjang perjalanan kedua gadis itu tampak riang ngobrol ngalor ngidul tentang berbagai hal. Tak terasa mobil sudah sampai di rumah Zack, sahabat kesayangan mereka.

***

Rai merasa kecolongan dengan ulah Zee. Ia tak menyangka si tomboy memanfaatkan kelalaiannya untuk kabur dari pantauan.

“Huh. Benar-benar anak kecil bernyali gede. Belum tahu dia siapa gue.” Ia komat kamit sendiri, kesal karena tidak berhasil menghubungi nomor ponsel Zee. 

Sejenak ia terdiam, memikirkan cara paling menyenangkan untuk memberi pelajaran pada gadis itu.

“Baiklah, kalau kamu ingin bermain, ayo kita mulai main sungguhan.” Seulas senyum tersungging di bibirnya ketika menemukan ide cemerlang.

Rai memutar sebuah nomor telpon, setelah sedikit basa-basi, ia menyampaikan keinginannya pada seseorang, dan senyum puas kembali mencuat di sudut bibirnya ketika suara di seberang setuju dengan apa yang ia sampaikan.

“All right, Baby. You are mine, now!.” Ia membayangkan wajah Zee saat dapat  kejutan nanti. “Kamu jelas salah pilih lawan!” gegas ia menuju mobil yang terparkir di sudut basement mall.  

“Aku ingin tahu sehebat apa Zee yang katanya Dan Tiga karate itu!” Perlahan ia menyalakan mesin mobil dan beranjak keluar dari mall yang beberapa hari ini sangat akrab dengannya, bahkan hingga ke sudut-sudut paling tak terlihat.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status