Share

Crazy Zee
Crazy Zee
Penulis: Raf

Bab 1. Sang Pengawal

Zee mengintip dari balik tiang besar di sebuah mall megah. 

“Huh… pengawal resek! Disuruh jauh-jauh malah nempel kayak perangko.” Ia tersengal-sengal setelah berhasil kabur dari adegan petak umpet dengan pengawal baru yang dikirim ayahnya.

Tiang besar mall itu membuatnya merasa aman dari intaian sang pengawal. Meski jantungnya berdetak kencang dan pipi memerah, namun ia puas saat melihat pria bersafari hitam itu celingak-celinguk kebingungan mencari sosok mungilnya di antara pengunjung mall yang ramai. 

Dengan santai ia duduk ngedeprok di lantai, menyandar pada tiang, berusaha menstabilkan kembali denyut jantungnya yang terasa mau meledak. Senyum jail tersungging di sudut bibirnya. 

“Welcome to the jungle.” 

Gadis bermata belo itu sehari-hari tampil cuek dengan kaos vintage dan leather jacket warna hitam beserta celana jeans belel kesukaannya. Rambutnya tertutup topi yang dipakai menghadap ke belakang. Sneaker hitam menghiasi kakinya yang saat melangkah bisa mengalahkan kecepatan kereta. Meski sudah berusia dua puluh satu tahun, penampilannya tak pernah berubah. Boyfriend look ala pemain Drama Korea.

Zee sebenarnya sedang bertugas. Ia baru saja lulus kuliah dan bertanggung jawab mengawasi operasional mall. Setiap hari ia wara-wiri di mall itu dengan penampilan santai. Namun tak ada pekerja di lantai bawah yang mengetahuinya. Hanya top manajemen mall yang tahu siapa Zee. Tapi mereka tak berani ikut campur mengoreksi penampilan gadis tomboy itu. Sedangkan pria bersafari yang menguntitnya  adalah pengawal yang dikirim sang ayah.

“Sungguh konyol.” Ia selalu protes setiap ada pengawal baru.

Meski terganggu, ia tak bisa melawan kehendak Will, sang ayah. Dia lelah berdebat mengenai pria-pria penguntit kiriman Will. Sebagai pemilik DAN Tiga Karate, dia merasa dilecehkan diikuti setiap hari oleh pengawal yang dari penampilan pun kadang tidak meyakinkan. Namun ayahnya bergeming. Baginya, Zee tetap gadis kecil yang senantiasa harus aman, tak peduli setinggi apa ilmu beladiri yang dimilikinya.

Sikap protektif itu muncul sejak Zee menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tom dan sang mama telah mendahului mereka. Trauma atas kehilangan dua orang yang sangat mereka cintai membuat ayah Zee menjadi senantiasa mengkhawatirkan putri satu-satunya. 

Meski berusaha memahami, Zee tetap merasa terganggu. 

Baru saja ia bernafas lega, tiba-tiba pengawal itu muncul di hadapannya. Dia ikut berjongkok di hadapan Zee dan menatap gadis itu tepat di bola matanya. Belum seminggu bertugas, ia sudah beberapa kali menjadi bulan-bulanan si gadis tomboy. 

Ia tampak marah. Rahangnya mengeras, tatapannya mengintimidasi.

“Cukup, nona. Main-mainnya selesai.” 

Zee tersentak. Sejak kecil, baru kali ini ada pengawal yang berani bersikap tegas padanya.

Ia melotot menatap sang pengawal. Nafasnya kembali tersengal menahan marah. Ia bangkit berdiri, sekali lagi melototkan mata padanya dan berlalu meninggalkan laki-laki yang tak kalah kaget menerima responnya. 

Setengah berlari, ia mempercepat langkah keluar mall. Pria itu mengikuti dengan langkah tak kalah gesit. Saat tiba di area parkir yang jauh dari keramaian, tiba-tiba Zee menghentikan langkah dan berbalik arah menatap sang pengawal dengan mata terbuka lebar. Pria itu terkejut. Seperti direm, dia berhenti mendadak dan  nyaris menabrak sang gadis. 

“Ya ampun, nona. Brenti mbok bilang-bilang. Kalo ketabrak gimana?” Suaranya tegas. 

Tak tampak sedikitpun rasa khawatir melihat ekpresi Zee yang jengkel. Sebaliknya, ia tetap percaya diri dan santai.

“Sudah kubilang, pulang aja. Aku gak butuh pengawal!” 

Gadis itu cuma seleher sang pengawal, namun nyalinya tak mewakili tingginya yang seratus enam puluh sentimeter. Pengawal itu tampak menjulang di hadapannya.

“Tidak bisa. Saya sudah dibayar untuk mengawal anda.” 

Zee melotot. “Bodo amat. Aku gak butuh dikawal.”

“Tapi si Amat gak bodo.” Ia membalas santai.

Zee makin membesarkan bola matanya. “Gak lucu!”

"Saya memang gak lagi ngelawak." Dengan cueknya ia menjawab setiap ucapan Zee.

Zee melotot marah, namun pengawal itu tak mau kalah. Ia balas melotot.

“Kata ayah anda, anda sudah tamat kuliah. Tapi kelakuan anda seperti anak SD.” Ia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Zee hingga membuat sang gadis tersentak kaget.

“Haiiii…. Hello….. Jangan kurang ajar ya!” Tangannya bergerak ingin menampar pengawal lancang itu. Namun secepat kilat ditangkis dan digenggam oleh sang pengawal disertai wajah meringis.

“Ah iya, saya lupa anda pemegang Dan Tiga Karate. Tapi saya Dan Lima. Jadi jangan berani-berani bermain kasar dengan saya. Saya senior anda, Nona.” Ia mempermainkan tangan Zee yang ada di dalam genggamannya.

Zee diserbu rasa marah luar biasa. Dia tak terima diperlakukan kurang ajar, namun tenaga pria itu jauh lebih kuat. Ia meronta dan memberi tendangan keras ke tulang keringnya. Seketika si pengawal melepaskan genggaman dan berteriak kesakitan.

“Awww... Astaga. Anda ini! Pantas saja tidak ada yang betah jadi pengawal anda.”

“Jangan kurang ajar ya.” Zee murka. Air mata nyaris menyeruak di sudut matanya karena amarah yang menggelora akibat diperlakukan kurang ajar. Namun sekuat tenaga ia tahan. Ia gengsi tampak lemah di hadapan laki-laki jangkung yang telah merontokkan harga dirinya.

Selama ini belum pernah ada yang berani bersikap kasar padanya. Apalagi seorang pengawal. Orang bayaran papanya. Betapa kurang ajar. 

Dengan kesal ia memperhatikan laki-laki itu lekat-lekat. Wajah tampan dengan sepasang lesung pipi yang tampak serasi di wajahnya yang bersih. Matanya menyiratkan pribadi cerdas yang tidak mudah diintimidasi. 

Seketika gadis itu diliputi rasa penasaran. Siapa gerangan pengawal yang kali ini dikirim papa untuk mengawasi setiap gerak geriknya.  

Pengawal terakhir, jelas tidak cocok untuk menjaganya. Selain tampak lemah, dia juga terlalu takut bersikap pada Zee. Namun laki-laki ini berbeda. Rasa percaya dirinya sangat tinggi dan sama sekali tidak gentar dengan ancaman Zee.

“Kok malah melotot liatin saya. Naksir ya!” Dengan pedenya ia menggerak-gerakkan jemarinya di depan hidung Zee.

“Ge er kamu!” 

“Lah itu. Kok malah ngeliatin kayak naksir gitu.”

“Terus kalo gue naksir, kamu mau apa?” Zee asal ceplos, seperti kebiasaannya selama ini. 

“Wah, saya dapat durian runtuh dong.” Sang pengawal justru memberikan senyum manis dan langsung mencetak lesung pipinya dengan sempurna.

“Dasar gila!” Zee tidak menyangka jawaban pengawal lancang itu. Dengan kesal ia beranjak meninggalkannya.

“Eeh .. nona … tunggu... Anda mau kemana?”

“Neraka!” Zee menjawab sekenanya.

Pengawal itu hendak mengikuti. Tapi Zee memperingatkan sambil menunjuk hidungnya.

“Stop. Jangan ngikutin aku. Kamu harus jaga jarak. Setidaknya tiga ratus meter dari aku!” Lalu ia berjalan cepat meninggalkan laki-laki yang justru membalas dengan seringai di sudut bibir. Wajahnya tampak senang. 

“Hmm.. tidak salah aku terima tawaran Papa untuk jadi pengawal kamu, karena aku pasti menang.” 

 

Namun kemudian, ia menatap tak percaya ketika gadis tomboy itu menuju ke arah tukang parkir yang ada di halaman mall. Dengan santai ia ngobrol dan duduk di pembatas parkir yang ada. Mereka tampak akrab dan asyik ngobrol. Tak lama mereka tertawa dengan lepas. Entah apa yang sedang dibicarakan. 

Sang pengawal geleng-geleng kepala melihat tingkah gadis tomboy yang kini berada dalam tanggungjawabnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status