Share

Bab 3. Kabur

Dena bergelayut manja di lengan Zee. Ia memang sangat menyayangi sahabat tomboy-nya itu. Meski tomboy, ia tahu persis, Zee adalah pribadi humble dan lembut hati. Empat tahun ia mengenal Zee, gadis itu selalu ada saat Dena membutuhkan. Meski tampak cuek, tapi Zee sangat perhatian dan peduli jika terjadi sesuatu pada teman-teman, terutama pada Dena. Mereka saling menyayangi, apalagi Zee dan Dena sama-sama anak tunggal.

Mereka memiliki seorang sahabat lain, Zack, salah satu cowok idola dan atlit serba bisa pemegang sabuk hitam taekwondo. Bertiga mereka dijuluki Double ZD. Mereka hampir selalu bersama semasa kuliah. Dena satu-satunya yang tidak bisa bela diri, sehingga menjadi anak manja yang selalu diproteksi oleh Double Z.

Kini hampir sebulan ia tidak bertemu Zee. Ia kangen berat, namun Zee sulit dihubungi. Ia pun tak menyangka bertemu Zee hari ini di mall. Dena sangat senang dan tak henti-henti menanyai Zee ini itu.

“Zee, seriusan. Tadi ngapain sih di mall ini? Tadi gue lihat lu sama tukang parkir, terus jalan sendiri ke arah belakang. Kenapa gak lewat jalan depan aja sih. Kan panas.”

“Tadi gue nanya-nanya sama kang parkir. Mana tau dia tau ada lowongan kerja di sini.”

“Hah? Kerjaan? Dih, lu mah. Masa iya sarjana psikologi nyari lowongan kerja lewat kang parkir?” Dena mencubit lengan Zee dengan gemas.

“Heheeh..namanya usaha Na. Kan gak tau mana yang bawa hasil.”

“Tapi masa iya lewat tukang parkir Zee? Kamu becanda kan?” Zee memang sering membuat Dena bingung kapan dia serius kapan sembarangan. Sahabatnya itu punya kebiasaan asal nyeplos saat bicara.

“Beneran cari kerja di sini, Zee?” Dena menghentikan langkah, menatap Zee tak percaya. “Kalo bener lagi cari kerja, coba lamar di tempat gue aja.”

Zee membelalakkan mata. “Lu udah dapat kerja, Na? Seriously?” Ia tampak senang.

“Iya. Makanya gue mau shopping cari pakaian buat kerja. Temenin ya.” Mata Dena berbinar-binar senang.

“Wow, sahabat gue emang hebat. Kerja dimana?”

“Klinik tumbuh kembang anak. Sesuai bidang gue. Psikologi Anak. Magang sih tepatnya.”

“Aih, keren. Selamat ya dear.” Zee memeluk sahabatnya.

“Pokoknya hari ini temenin gue belanja ya. Abis itu kita makan, terus nonton, terus makan lagi. Semua gue yang traktir.” Dena menepuk dada dengan lucu.

“Hish. Emang lu udah gajian?”

“Ya belum lah. Bokap kasih sangu gede hari ini, saking senangnya gue dapat kerjaan.” Dena menyeringai menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi.

Zee tersenyum jail. “Whew.. keren…. Tukaran bokap yuk. Bokap lu keren amat.“

“Emang bokap lu pelit?” Dena menyelidik. “Kayanya gak mungkin deh. Lu kan selalu pake barang branded Zee.”

“Enggaklah. Bokap gue baik. Becanda gue.”

“Jadi hari ini Zee cantik harus temenin gue sampai malam ya.”

“Siap madam.” Zee memberi hormat pramuka pada Dena.

“Eh, serius Zee, mau gak lamar kerja di tempat gue? Asik kan kalo kita bisa kerja bareng.”

“Gak pas lah, Na. Gue kan psikologi sosial. Lagian rumah gue dekat sini. Makanya gue cari kerja dekat-dekat sini aja.” Zee berdiplomasi. Dena dan teman-temannya memang tidak ada yang tahu siapa dia. Di kampus gadis itu tidak pernah tampil menonjol, dan tidak membawa mobil sendiri. Ia selalu diantar supir dan dikawal pengawal. Tapi mereka tidak boleh dekat-dekat. Aturan jaga jarak sudah diterapkan Zee semenjak SMA. Di sekolah maupun di kampus ia selalu turun sedikit lebih jauh, lalu berjalan kaki ke kampusnya.

Dena menganggukkan kepala. “Iya sih, enak kalo dekat rumah. Tapi di mall begini lu mau melamar posisi apa Zee?”

“Apa aja yang banyak terhubung dengan orang. Satpam juga boleh.”

“WHAT!! SATPAM? Hei nona Lizzy Renata William, jangan gila deh. Lulusan Sarjana Psikologi Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia mau melamar menjadi satpam? Come on, dear. Jangan malu-maluin almamater deh! Kayak gak ada kerjaan lain aja.” Dena tampak terkejut dan menatap Zee dengan wajah dibuat sedramatis mungkin.

“Why not? Gue kan jago karate.” Ia menyeringai ke Dena.

“Iya gue tahu lu jagoan, tapi gak satpam juga kali Zee. Lu kan Sarjana Psikologi.”

“Hahaha. Santai aja Na. Gue gak masalah kok. Sekalian latihan magang buat nanti nerusin kuliah. Lagipula gue memang senang mengetahui kehidupan mereka. Kan lu tau sejak dulu gue banyak bergaul dengan anak jalanan dan pengamen pinggir jalan. Lu pasti takjub jika mengetahui kehidupan orang-orang seperti mereka.”

“Eh. Lu beneran Zee? Mau jadi satpam?”

“Gak. Becanda doang.”

“Hish. Nyebelin.”

“Ya udah sekarang mau shopping ke mana dulu nih? Nona Lizzy yang cantik dan seksi siap menemani.”

“Seksi apaan. Gaya masih kayak cowok gitu.” Dena menarik ujung topi Zee yang menghadap ke belakang. Zee hanya cengegesan.

Kedua gadis itu berjalan bergandengan tangan dengan ceria. Mereka memasuki toko demi toko. Terkadang langkah Dena tampak diseret mengikuti gerak kaki Zee yang cepat. Lalu mereka kembali tertawa-tawa.

Rai yang mengikuti dari jauh benar-benar takjub menyaksikan tingkah polah Zee. Tampak sekali dia sedang bahagia dan gadis di sampingnya pun tampak manja padanya. Sesuai permintaan gadis itu, ia menjaga jarak cukup jauh. Tapi tak sekalipun perhatiannya lepas dari Zee dan sahabatnya. Diam-diam ia mulai menyukai gadis tomboy itu dan merasa beruntung diberi tugas oleh ayahnya menjadi pengawal pribadi Zee.

Lebih dari dua jam Rai mengikuti kedua gadis itu dari jauh. Dari satu toko ke toko lain, lalu masuk ke restoran. Keluar dari restoran, mereka menuju bioskop di lantai tiga.

“Hmm… rupanya para gadis sedang menikmati girls day out.” Ia mengantar kedua gadis masuk bioskop melalui pandangan mata.

“Berarti dua jam setengah ke depan aku bisa bebas.” Setelah memastikan kedua gadis itu membeli tiket, ia meninggalkan mereka dan menuju ke kantor pengelola.

Ia ingin sejenak beristirahat. Dari pagi mengikuti gadis lincah itu benar-benar membuat Rai merasa tua. Padahal umurnya baru dua puluh enam tahun.

Rai disambut hormat oleh pegawai di kantor pengelola. Ia beristirahat di ruangan yang disediakan untuk Zee. Ruangan itu cukup nyaman, dengan meja kerja dan seperangkat sofa empuk untuk menerima tamu. Ia merebahkan diri di sofa. Ruangan itu tidak banyak meninggalkan jejak keberadaan Zee di dalamnya. Gadis itu lebih suka berkeliling di lantai bawah dan berbincang dengan para pekerja daripada tinggal di ruangan kerja yang dingin dan nyaman.

“Benar-benar gadis unik.” Ia tersenyum puas dan merasakan kantuk yang teramat sangat. Rai mengunci ruangan dari dalam dan menyalakan alarm untuk dua jam ke depan.

***

Rai terbangun tepat dua jam berikutnya. Ia merapikan diri dan bersiap kembali ke area bioskop untuk memastikan sudah berada di sana ketika gadis itu selesai menonton.

Namun hingga lebih dari satu jam, ia tak juga melihat Zee dan sahabatnya. Ia mulai khawatir Zee kembali mempermainkannya.

“Jangan-jangan anak itu kabur lagi.” Rai masuk ke bioskop dan bertanya pada satpam yang mengawasi pintu masuk.

“Mbak Zee sudah sejak tadi meninggalkan bioskop.” Satpam yang mengenal Zee menyampaikan info yang membuat Rai seketika terhenyak.

“Sudah lama, Pak?”

“Sudah lebih dari sejam lalu. Mbak Zee keluar sebelum film selesai.” Ia menatap Rai penuh selidik. “Memangnya Mas gak lihat?”

“Ya sudah. Makasih Pak.” Ia malas menjelaskan panjang lebar. Hatinya tiba-tiba panas karena sekali lagi Zee berhasil mengecohnya.

“Tunggu pembalasanku, anak nakal.” Ia bergumam dan buru-buru meninggalkan satpam yang menatap kepergiannya dengan wajah heran.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status