Share

Mulai Tumbang

Tidak seperti biasa, hari ini badanku terasa kurang fit. Aku menatap langit-langit kamarku.

Aku meraih selimut disamping tempat tidurku dan mulai meringkuk didalamnya. Aku merasa badanku panas, tapi rasanya dingin sekali.

Kemarin, aku kehujanan saat pulang kuliah. Tapi malam sebelum aku tidur, rasanya badanku masih sehat. Tiba-tiba aku meriang ditengah malam.

Pagi ini, kepalaku pening, badanku lemah. Aku tak mampu berdiri.

Tanganku keluar dari dalam selimut. Menggapai ponsel di atas meja samping kasur. Aku melihat jam, sudah pukul 08.00, aku belum sarapan.

Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Rena. Aku berusaha menghubunginya kembali. Aku akan memintanya datang dan membawa sarapan.

Beberapa kali aku menghubunginya, Rena tetap tidak menjawab panggilanku.

Tok.. tok.. tok..

Seseorang diluar mengetuk pintu kamarku. Mungkin itu Daniel.

Aku bangun dengan sekuat tenaga. Langkahku goyah. Aku berjalan tertatih. Tapi aku berusaha menggapai daun pintu untuk membukanya.

“Kamu kenapa, Sofi? Kamu sakit, ya? Muka kamu pucat.” Suara Daniel sayup terdengar ditelingaku.

Mataku berkunang. Badanku mulai goyah tak tertahan. Dan aku terjatuh.

***

“Sofi.. Sofi..” Aku mendengar suara Daniel.

“Bangun, Sofi..” Aku berusaha membuka mataku.

Dengan pandangan yang masih samar, aku mencoba mencerna satu persatu sekelilingku. Ternyata aku sudah berada diatas kasur.

Ada dua orang laki-laki berdiri di depanku. Yang satu adalah Daniel, dan satunya lagi aku tidak mengenalnya.

Dari seragamnya, sepertinya dia seorang dokter. Aku menatap majikanku Daniel. Aku berusaha untuk duduk.

“It’s okee.. Kamu istirahat dulu..” Daniel menahanku yang berusaha bangun sekuat tenaga.

“Ini aku kasih obat penurun panas dan penghilang rasa pusingnya. Gak perlu khawatir, dia cuma sakit biasa." Dokter itu menjelaskan pada Daniel.

"Mungkin karena pergantian cuaca atau efek kelelahan aja. Dia cuma perlu istirahat yang cukup dan banyak minum air putih. Jangan lupa obatnya suruh minum secara teratur.”

Dokter itu menyodorkan bebeberapa lembar obat-obatan pada Daniel.

“Baik, dok.” Mereka tertawa. Sepertinya dokter itu teman Daniel. “Makasih yah udah mau dateng ke sini. Maaf udah ngerepotin.”

“Ya elah bro, kayak siapa aja!” Dokter itu menyenggol tangan Daniel. “kalo gitu aku pamit dulu, ya..” Daniel mengangguk.

Mereka bersalaman, lalu dokter itu pergi.

Daniel menatapku. Aku menunduk malu. Malu karena harus terlihat lemah didepannya, dan malu karena membuatnya kerepotan mengurusiku.

“Terima kasih, Bos." Ucapku lirih.

“Terima kasih, buat apa?”

“Buat semuanya. Bos, udah bantuin aku banyak.”

“Enggak juga! Saya nggak bantuin kamu. Saya hanya menjalankan kewajiban." Daniel duduk ditepi ranjang diujung kakiku.

"Kamu kerja dirumah saya. Saya hanya ngelakuin apa yang harusnya majikan lakuin saat maidnya sakit. Nggak mungkin kan saya ngebiarin kamu."

“Apapun itu, saya tetep ucapin terima kasih. Bos udah sudi bertanggung jawab atas saya, maid bos.”

Iya, harusnya aku sadar aku hanya seorang maid. Tapi apa ucapan terima kasihku salah. Ah, aku sedang malas berdebat.

Apapun alasan Daniel, aku sudah sangat bersyukur dia mau membantuku saat aku sakit. Aku tidak punya siapa-siapa selain dia dan Rena dikota ini.

“It’s okee..” Dia mengangkat kedua bahunya dengan angkuh.

Daniel memang seringkali menyebalkan. Tpi entah kenapa aku tak perduli. Mungkin aku butuh pekerjaan ini, atau tidak bisa meninggalkannya.

“Saya udah telpon Rena untuk buatin kamu bubur dan nganterin kesini. Nanti kamu makan, terus minum obat. Biar cepet sehat.”

“Gak usah, bos. Saya takut merepotkan Rena. Saya bisa bikin bubur sendiri.”

“oh iya, aku lupa. Kamu kan kuat. Sampe-sampe jalan dari atas kasur kepintu aja kamu pingsan.” Aku kembali menunduk malu.

Aku rasa tidak perlu lagi banyak bicara. Semua yang Daniel katakan benar. Sekarang aku benar-benar lemah.

Aku memang butuh Rena untuk menemani dan membantuku saat ingin ke kamar mandi. Lagipun, Daniel tidak pernah menyentuhku.

“Bos, tadi siapa yang gendong saya keatas Kasur?” Tiba-tiba aku teringat bahwa Daniel tidak mungkin menyentuhku.

“Sayalah.” Jawab Daniel sambil mengangkat kerah bajunya sok cool.

“Pake tangan?”

“Enggak. Pake kaki! Saya tendang kamu dari pintu sampe atas Kasur. Hebat kan, saya?”

iiiih.. menyebalkan sekali jawaban Daniel.

“Heiii..” Dia memetikkan jari didepan mataku. Membuatku terkejut.

“Kamu gak usah mikir macem-macem. Saya angkat kamu pake selimut. Gak ada sedikit pun tangan atau badan saya nyentuh badan kamu."

Aku mengerutkan dahi.

"Kamu saya bungkus kayak pocong. Tuh, selimutnya disamping kamu. Aku nggak sudi nyentuh kamu.”

Daniel bangun dan pergi membuka pintu. Ada suara bel dari pintu luar.

Aku lega Daniel tidak berani menyentuhku. Tapi aku tersinggung dengan pernyataannya yang tidak sudi menyentuhku.

Harusnya aku biasa saja kalau tidak punya perasan pada Daniel. Tapi ini menjadi sakit karena aku menyukainya.

"Ya Tuhan, hatiku rasanya sakit sekali. Kenapa dia harus bilang tidak sudi menyentuhku?" Aku bergumam.

Terdengar suara Rena diluar kamar sedang berbicara dengan Daniel.

“Sofiiii..” Dia berlari kearahku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

“Beginilah akibatnya kalo gak mau denger nasihat temen. Aku kan udah bilang, ikut aku aja. Biar aku anter pulang. Malah milih naik ojek."

Aku tersenyum mendengar celoteh Rena.

"Kalo udah gini kan aku jadi sedih. Tadi pagi aku nyariin kamu dikantin. Aku telpon kamu, kamu gak angkat. Aku khawatir."

“Maaf. Kemaren aku buru-buru pulang karena mau hujan. Dan aku gak mau ngerepotin kamu. Kita kan gak searah.”

“Mungkin berharap dianterin abang-abang yang pulangnya searah, Ren.” Daniel nyeletuk.

“Kak Di..” Rena memelototi Daniel. Dia melemparkan bantal kearah Daniel. Daniel mengangkat kedua tangannya.

Aku malas menanggapinya.

“Udah. Mulai besok, pulang pergi kuliah sama saya aja!” Ucap Daniel.

“Gak usah, Bos. Saya nggak mau ngerepotin, Bos.”

“Kenapa? Gak enak sama Abang Salman? Oke.. Bareng dia aja kalo gitu.”

“Udah dong kak Di..” Rena menunjukkan wajah marahnya. Aku berkedip menenangkan Rena.

“Bukan gitu, Bos. Saya nggak enak sama temen-temen. Dengan penampilan saya yang begini, saya diantar jemput sama mobil mewah.

Saya takut mereka mikir macem-macem tentang saya. Tinggal disini aja kadang saya ngerasa takut, karena kita lawan jenis.

Saya takut, nanti ada temen yang tahu. Takut mereka memberitakan hal yang gak bener. Cuma saya ngerasa aman karena kita jarang ketemu.

Kalo harus antar jemput, itu artinya kita bakal sering ketemu.”

“Nikah aja kalo gitu biar aman.” Aku dan Rena saling menatap terkejut. “Hahahahaa…” Daniel tertawa puas.

Aku tahu dia tidak benar-benar ingin menikah denganku yang hanya seorang maid. Dia hanya asal ceplas ceplos.

“Oke..Oke.. I’m just kidding.” Daniel mengklarifikasi dengan santainya.

“Ya udah. Besok-besok, kalo kamu pulang kuliah cuaca lagi mendung aku anterin. Jangan ngebantah! Aku gak mau kamu sakit.” Ujar Rena.

Aku mengangguk. Aku melihat ketulusan Rena. Aku bersyukur bisa bertemu Rena, sahabat yang baik dan perduli.

“Udah, Ren. Cepet kasih buburnya. Biar dia cepet minum obat, terus suruh istirahat.”

“Iya ka Di..” Rena membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Menyodorkan Tupperware berisi bubur padaku.

“Suapin dong, Ren. Dia belum bisa bangun.” Daniel mengambil Tupperware dari tanganku dan memberikannya pada Rena.

“Oh, iya.” Rena menyeringai.

“Malam ini kamu nginep disini. Takut dia butuh bantuan untuk ke kamar mandi atau lainnya.”

“Siap, Kak Di.” Rena mengangkat tangannya dan meletakkan didahinya.

”Oke, thank’s. Maaf ngerepotin kamu.” Ucap Daniel.

“It's oke, sama-sama. Sofi itu udah lebih dari seorang sahabat buat aku, kak. Aku rela ngelakuin apa aja buat dia."

“Thank’s, Rena.” Aku menggapai tangannya.

“Oke.. Cukup dramanya!” Daniel melangkah keluar dari kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status