“Mengapa kamu kembali?” tanya seorang wanita berkalung berlian, yang terus menatapku tajam dengan tangan bersimpah darah.
“Entahlah. Bukankah kamu merindukanku,” jawabku tersenyum lebar sembari perlahan mendekatinya. Menatap wajah itu, membuat hatiku tercekik sekaligus haru dalam waktu bersamaan.
“Tidak, kamu tidak boleh ada di sini. Pergilah,” teriak wanita itu menodongkan sebilah kaca yang lebih dahulu menggores tangannya.
“Diamlah. Mendengar ocehanmu membuatku makin muak, Tante.”
Moment yang selalu ku nantikan, kini menjadi kenyataan. Semilir angin menembus jendela kayu jati yang setara dengan harga sebuah mobil baru, membuat ruangan ini menjadi ruangan utama pewaris keluarga konglongmerat. Namun, lagi-lagi aku merasa putus asa sekaligus kecewa. Moment berharga ini telah sirna sesaat setelah aku mengetahui kebenaran yang selama ini menghilang dari diriku.
***
“Aaa…,” teriakku melompat dari tempat tidur. Hari ini, adalah hari pertama di semester terakhirku. Aku bergegas bersiap, kemudian memasukkan buku ke dalam tas. “Sial, aku bisa terlambat,” ucapku kemudian memakai sepatu koyak yang tak sempat ku perbaiki.
Ketika sampai di kampus, aku berlari dengan sekuat tenaga dan berharap kelas belum dimulai. Namun, sangat disayangkan kali ini aku terlambat dihari pertama dengan kondisi yang menyedihkan.
“Selamat pagi, Pak. Maaf saya terlambat,” ucapku menundukkan kepala tanda perasaan bersalah dengan nada yang amat menyesal.
“Pagi, silakan duduk,” jawab seorang laki-laki berkacamata kemudian mempersilahkanku duduk.
“Baik, Pak,” jawabku bergegas duduk dan terus menundukkan kepala.
Kelas di mulai begitu aku duduk, namun semua mahasiswa/i terus menatapku tanpa henti karena kondisiku yang berantakan. Sebagian besar kelas ini diisi oleh mahasiswa/i baru. Aku terus saja menguap, karena rasa kantukku yang tidak tertahankan. 15 menit kemudian, aku tertidur pulas. Pertengahan jam mata kuliah, dosen itu tanpa sengaja melihatku tidur dalam kelasnya kemudian menghampiriku.
“Permisi,” ucap dosen itu, sambil mengetuk mejaku beberapa kali.
“Ah iya, Pak,” jawabku terbangun, kemudian mengusap air liur di bibirku sambil membuka mata lebar-lebar, seakan-akan aku tidak tidur di dalam kelas.
“Silakan keluar,” perintahnya singkat kemudian meninggalkanku.
“Apa?’ tanyaku terkejut dengan mulut menganga tidak percaya dengan ucapan dosen itu.
***
“Hari yang menyebalkan,” gumamku sembari duduk di anak tangga dan memijat pergelangan kaki yang sedikit pegal, karena berlari pagi ini. Beberapa mahasiswa/i yang keluar dari kelas, melirikku sinis dan terus membicarakanku. Namun, hal itu tidak membuatku terkejut. Memang beberapa dari mereka menganggapku seperti pengemis, karena seluruh beasiswa yang selama ini ku terima.
“Lihatlah gadis itu. Ku dengar, dia diusir dari kelas pagi ini. Mungkin karena sikap sok pedulinya dengan petugas perpustakaan yang menyebalkan itu. Dengar-dengar, dia beberapa kali kencan dengan pacar senior lain. Hidup dari uang itu, mungkin tidak cukup untuknya.”
Mendengar sindiran itu tentunya tidak membuatku goyah, aku memang bisa berkuliah dari beasiswa penuh yang ku dapatkan selama ini. Selalu berusaha terlihat baik, di depan dosen dan beberapa pembimbing. Itu semua kulakukan agar beasiswa yang diberikan kepadaku terus mengalir.
“Saya dengar, kemarin malam anda membantu petugas perpustakaan mengemas buku baru,” ucap seseorang di belakangku kemudian memecah lamunanku yang tak berujung.
Ternyata dia adalah dosen yang mengusirku dari kelas pagi ini. Meskipun dia seorang dosen, menurutku masih muda untuknya bersikap seperti itu, dan dia tidak bisa seenaknya mengusirku, tanpa menanyakan sebab aku tertidur dalam kelas.
“Mengapa tidak menjawab?” tanya dosen itu perlahan menuruni anak tangga dan berdiri tepat di hadapanku.
“Mengapa saya harus menjawab pertanyaan anda?” tanyaku berdiri kemudian menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Kamu hanya perlu menjawab pertanyaan saya, kemudian akan saya izinkan mengikuti kelas susulan,” jawab dosen muda itu melepas kacamatanya tepat di depan mataku.
“Benar, saya membantu petugas itu. Karena banyak mahasiswa/i yang tidak hormat kepadanya. Mereka menjatuhkan buku, meletakkan buku tidak pada tempatnya, dan selalu membuat perpustakaan berantakan. Tetapi, saya hanya merasa kasihan kepada semua mahasiswa/i itu. Mereka membayar mahal untuk pendidikan. Namun, mereka tidak sedikitpun menggunakan otaknya, untuk menghargai orang lain. Dan untuk kelas susulan, saya akan secepatnya mendaftar kelas lain, permisi,” jelasku dengan nada kesal kemudian pergi meninggalkan dosen itu, yang tidak berhenti memandangku bahkan saat aku sudah menghilang dari hadapannya.
***
“Caramel tolong cuci piring itu, cepat,” perintah kepala dapur menunjuk setumpukan piring dan gelas kotor di wastafel.
“Baik,” jawabku singkat sembari mengenakan apron kemudian memakai sarung tangan, dan mulai mencuci.
Beberapa piring masih terisi makanan dan itu terlihat layak untuk di makan. Diam-diam aku mengambil kotak makan dan memasukkan makanan itu ke dalamnya. Tanpa sepengetahuan kepala dapur, aku sudah melakukan ini selama 2 bulan, sejak memulai pekerjaan paruh waktuku di sini.
“Aku pulang dahulu, permisi,” ucapku berpamitan setelah selesai bekerja di shifku. Berjalan keluar dari restoran, tentunya adalah hal yang paling menyebalkan. Karena aku terus mencium bau daging panggang yang selama ini kuinginkan.
“Untung saja, aku membawa kotak makan hari ini,” ucapku kemudian berjalan menuju halte bus setelah membeli bubur ayam. Sesekali aku melihat wajah yang selalu ku rindukan dalam benakku. Senyum lebar dan genggaman hangat tangannya, sudah menemaniku selama 15 tahun ini.
***
“Mengapa kamu kesini?” tanya bibi memegang tanganku hangat sembari tersenyum indah bak bunga teratai.
“Aku membawakan bubur ayam, untuk Bibi. Makanlah dengan lahap,” jawabku tersenyum kepadanya, kemudian membuka bungkusan bubur ayam yang masih hangat.
“Caramel, kamu tidak perlu bekerja terlalu keras. Umur Bibi, sudah makin senja,” balas bibi kemudian meletakkan bubur itu di meja, lalu perlahan mengunyah bubur halus dan berusaha untuk menelannya.
“Itu tidak benar, Bibi akan selalu berumur panjang,” kataku kemudian memeluknya erat, perlahan meneteskan air mata karena akupun sadar, apa yang diucapkan bibi memanglah benar.
Setelah memastikan bibi tidur, aku pergi ke meja resepsionis untuk membayar tagihan yang ku angsur selama ini. Aku harus memastikan bahwa bibi akan sembuh, dari penyakit yang dia derita. Karena bibi adalah harta paling berharga yang ku punya di dunia ini.
***
Udara dingin terus menusuk tulang dan membuat bibir merah mudaku sedikit menggigil. Pukul 19.15, aku mendapatkan pekerjaan sampingan untuk membagikan selebaran. Kali ini ada toko minuman keras, dari perusahaan yang sangat populer. Karena target pasarnya adalah pria dengan usia di atas 25 tahun, pekerjaan ini mengharuskan untuk berpakaian yang sedikit terbuka.
“Tersenyumlah, maka mereka akan menerima selebaranmu,” ucap gadis muda dengan rok 15 cm di atas lutut, yang terus menasehatiku tanpa henti.
“Untuk apa?” tanyaku tetap membagikan selebaran, tidak sedikitpun tertarik dengan nasehatnya.
“Agar kamu bisa pulang cepat setelah selebaran itu habis,” jawabnya beberapa kali menyenggol bahuku dengan sengaja, berharap akan mendapatkan pujian atas nasihat bijaknya.
“Aku tidak butuh,” balasku acuh sembari memberikan selebaran kepada beberapa orang yang lewat di depanku.
“Wah, gadis sepertimu memang tidak bisa bekerja di bidang ini,” omelnya dengan tatapan sinis tanda kesal karena ucapan acuh yang ku lontarkan.
“Tentu aku tidak cocok menjual senyuman hanya untuk bekerja sepertimu. Dan kamu nona, jangan terlalu banyak tersenyum dan tertawa kepada mereka,” ucapku tersenyum kepada gadis itu dengan tatapan senang tanda percaya diri.
“Apa maksudmu?” tanya gadis itu menatapku tajam sembari mengepalkan kedua telap tangannya.
“Kamu hanya akan terlihat, seperti wanita murahan,” balasku dengan wajah datar, sedikit mendekatkan wajahku agar terlihat jelas kemudian tersenyum.
Suasana kota yang tadinya dingin karena hembusan udarah malam, kini menjadi sedikit memanas karena perdebatanku dengan gadis itu. Dia terus-menerus mencelaku, karena menyebutnya wanita murahan. Aku bisa memaklumi hal itu, tetapi jika dia berani menyentuhku, tentu aku tidak akan tinggal diam.Plakk…“Sakit kan, itu akibatnya jika mulutmu tidak bisa di jaga,” cacinya setelah menamparku keras kemudian mengibaskan rambutnya tanda puas dengan perbuatannya kepadaku.“Rosa, apa kamu memotret dari sisi yang sempurna?” tanyaku sesaat telah menerima tamparan tangan kotor wanita ini sekaligus membuatnya kebingungan.“Tentu, ini sangat sempurna. Pakailah ini,” jawab Rosa menghampiriku dengan kamera dsrl di tangannya, kemudian memberikan sweater kepadaku.“Jadi, Ketrin Anastasya. Putri tunggal dari presdir Jaya Mako, rela membagikan selebaran dengan pakaian seksi, hanya untuk tersenyum dan teraw
Melihat dosen itu tergeletak karena mabuk, aku berniat untuk membatalkan pekerjaan ini. Namun, aku akan kehilangan rupiah jika menolak job terakhirku hari ini. Kemudian, aku meminta bantuan kepada beberapa pegawai bar, untuk membawanya masuk ke dalam mobil.“Terima kasih,” ucapku kemudian masuk ke dalam mobil. Aku mengikuti alamat yang tertera di GPS, dan segera mengantarkan dosen muda ini, agar aku bisa cepat-cepat pergi.“Tagihannya sudah masuk, silakan di bayar,” ucapku kemudian keluar dari mobil meninggalkannya yang mulai terbangun dan sesekali melepaskan kacamatanya.“Oke,” ucapnya keluar dari mobil dengan tubuh sempoyongan karena mabuk berat yang menggerogoti kesadaran dosen itu.Belum sempat melangkah, dosen muda itu kemudian terjatuh. Sebenarnya aku tidak peduli karena pekerjaanku sudah selesai. Namun, aku memikirkan banyak kemungkinan, jika dia terus tergeletak di sana.Akhirnya, aku membantunya berdiri
“Itu tidak mungkin,” ucapku menutup panggilan dengan tubuh gemetar seakan tidak percaya dengan kabar .Mata yang tadinya bisa melihat dengan jelas, kini kabur seakan-akan tidak ingin melihat apapun lagi. Tubuhku terasa lemas seketika setelah mendengar kabar mengerikan itu. Telinga yang tadinya baik-baik saja, kini terus menggema keras tanda penolakan akan kebenaran yang telah ku dengar.***Aku melangkah perlahan ketika tiba di rumah sakit. Bahkan ketika aku sadar, seharusnya berlari dan menjerit sekuat tenaga pada momen ini, bukanlah sesuatu yang berguna lagi untukku. Seakan-akan aku sudah tidak memiliki harapan apapun lagi.“Caramel, apakah kamu baik-baik saja?” tanya perawat Mira berdiri di depan sebuah ruangan kaca sembari menatapku sedu.“Di mana Bibi?” tanyaku perlahan mengangkat kepala dengan tetesan air mata yang masih bergelinang deras di kedua pipiku.“Masuklah,” jawab perawat Mira me
Belum genap 24 jam, sejak kesedihan dan duka akibat kepergian bibi merongrong diriku. Kini aku tersentak oleh kenyataan, bahwa kekasih yang selama ini ku puja berselingkuh tepat dihadapanku bersama wanita lain.Aku terdiam beberapa saat melihat wanita itu membuka pintu apartemen Riko tanpa busana, melainkan hanya berbalut selimut putih yang tidak lain adalah kado dariku saat aniversari kami yang pertama. Ku pikir, selimut itu nantinya akan menjadikanku ratu ketika hubungan kami selangkah sebih serius.Namun kenyataannya, aku menghadiakan selimut untuk pria picik yang ku hidupi selama ini, hanya untuk dipakai bersenang-senang dengan wanita yang sama piciknya dengan dirinya.“Siapa kamu?” tanya wanita itu mengivaskan rambutnya tepat setelah melihatku terdiam dengan tatapan kosong.“Di mana Riko?” tanyaku singkat perlahan mengepalkan kedua tangan sembari menggigit bibir.“Sayang, ada yang mencarimu,” panggil wanita
Mungkinkah ini akhir dari takdir pilu yang ku alami. Yang terus-menerus datang tanpa welas asih, dan menggerogoti harapan tulus yang terus ku panjatkan setiap harinya. Dinginnya air sungai tidak sebanding dengan kesunyian yang ku alami.Air ini seakan-akan berbicara kepadaku, jika dunia terlalu pemilih untuk manusia lemah seperti diriku saat ini. Gelapnya kedalaman sungai kini mulai membuaku merasakan kehampaan paling mengerikan.“Caramel.” Dalam gelap dan heningnya sungai ini, aku mendengar satu suara yang sepertinya pernah ku dengar sebelumnya. Aku melihat seorang wanita muda berenang ke arahku. Dia menggapai tubuhku dan berusaha menyelamatkanku, tetapi aku pun tidak bisa melawan kehendak tubuhku yang lemah dan mulai menutup mata rapat-rapat.***“Apa kata dokter?” tanya seorang wanita dengan blazer hitam yang bangkit dari sofa, ketika seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan ini.“Ini buruk,” jawab laki-laki i
“Siapa kamu?” tanyaku menatap wajah yang berbinar di bawah cahaya rembulan.Suara itu terdengar familier di telingaku. Berdiri di bawah pohon persik dengan daun-daun yang mulai berguguran, membuatku merasa bahwa ingatanku mengingat wajah dan suasana itu.***“Syukurlah.” Bau obat yang menyengat membuatku mulai membuka mata. Jari-jemariku mulai bergerak bersamaan dengan terbukanya kedua kelopak mataku. Suasana asing dan bau yang tidak kusuka, membuatku terburu-buru untuk bangkit dan melihat keadaan.“Cara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Rosa duduk di sebelahku, kemudian menggenggam tanganku erat-erat.“Rosa, apa yang terjadi? Mengapa aku ada di kamar ini? Tidak, kita harus pergi. Biaya rumah sakit ini, pasti akan menguras seluruh uang direkeningku,” tanyaku berusaha beranjak dari tempat tidur, dengan tubuh yang masih bergetar setelah mengetahui kamar mewah ini.“Tenanglah, semua biayanya
Lobi yang tadinya ramai dengan desas desus ketika menyaksikan perdebatanku dengan perempuan itu, kini senyap seketika setelah Riko datang dan menamparku. Rosa yang terkejut melihat kelakuan Riko, berusaha menghentikannya mendekatiku dengan segala cara.“Apa kamu tidur dengan pria ini?” tanya Riko sesaat setelah menamparku keras di depan semua orang tanpa merasa bersalah sedikit pun.“Jauhkan tanganmu darinya,” larang Bisma beranjak menghampiriku, dengan tatapan marah sekaligus murka yang terlukis jelas di matanya.Kali ini, Bisma berdebat hebat dengan Riko perkara video itu. Rosa terus bertanya bagaimana keadaanku, setelah aku tahu jika video itu menyebar dengan cepat di web kampus. Kali ini, aku tidak bisa mendengar apapun. Inikah yang disebut sepi di tengah keramaian.“Caramel, jawab aku,” teriak Riko sekali lagi mendekatiku, namun Bisma menghalanginya.“Hentikan, apa tidak cukup bagimu untuk menyakitiku
“Apa kamu sudah melihat wanita di dalam video itu?” tanya seorang wanita sembari menyodorkan sebuah tab yang menampilkan sebuah video.“Itu hanyalah seorang gadis biasa,” jawab seorang pria dengan kacamata hitam sembari menuang secangkir teh.“Entah apa yang menganggu pikiranku. Aku hanya akan percaya bahwa kamu telah menyingkirkannya,” balas wanita itu sembari mengambil gelas yang sudah terisi dengan teh yang disajikan pria itu.***Membaca surel itu, seakan-akan membuatku berhenti bernapas. Beasiswa itu amat penting bagiku selama ini. Namun, kini aku tidak memiliki secerca harapan sedikitpun, yang singgah dalam hidupku.“Apakah ‘Tuhan’ sedang membenciku saat ini?” tanyaku pelan memandangi langit hampa yang makin membuatku kesepian.Aku mengusap air mata itu sebelum membuat mataku memerah seiring berjalannya waktu. Malam ini, aku berjanji u