Share

Tersentak Oleh Kenyataan

Belum genap 24 jam, sejak kesedihan dan duka akibat kepergian bibi merongrong diriku. Kini aku tersentak oleh kenyataan, bahwa kekasih yang selama ini ku puja berselingkuh tepat dihadapanku bersama wanita lain.

Aku terdiam beberapa saat melihat wanita itu membuka pintu apartemen Riko tanpa busana, melainkan hanya berbalut selimut putih yang tidak lain adalah kado dariku saat aniversari kami yang pertama. Ku pikir, selimut itu nantinya akan menjadikanku ratu ketika hubungan kami selangkah sebih serius.

Namun kenyataannya, aku menghadiakan selimut untuk pria picik yang ku hidupi selama ini, hanya untuk dipakai bersenang-senang dengan wanita yang sama piciknya dengan dirinya.

“Siapa kamu?” tanya wanita itu mengivaskan rambutnya tepat setelah melihatku terdiam dengan tatapan kosong.

“Di mana Riko?” tanyaku singkat perlahan mengepalkan kedua tangan sembari menggigit bibir.

“Sayang, ada yang mencarimu,” panggil wanita itu menghadap ke dalam apartemen berharap seseorang akan muncul.

“Siapa yang bertamu tengah malam seperti ini?” tanya Riko berjalan sambil mengusap kedua matanya dengan celana pendek yang bahkan mengeluarkan aroma menjijikkan.

“Aku,” jawabku menatapnya tajam, seakan-akan siap meledakkan amarah yang ku pendam sejak wanita itu membukakan pintu apartemennya.

Melihatku berdiri di depan pintu apartemennya, membuat Riko terkejut sekaligus memberikan kode kepada wanita itu untuk menunggu di dalam. Amarah yang bergemuruh dan membeludak di hatiku kini harus ku tahan dalam-dalam karena kesedihan teramat pilu yang ku rasakan.

Pria yang selama ini ku kenal sebagai kekasih sempurna bagiku, kini berselingkuh tepat di hadapanku tanpa penjelasan apapun dan hanya diam membisu. Sebelum semua deritaku meluap tak terkendali, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan hina ini tepat setalah menghela napas dan membuka kepalan tanganku.

“Mari kita putus,” ucapku tersenyum kepada Riko menyembunyikan semua derita yang terkunci di dalam hatiku.

“Caramel, ini tidaklah benar. Wanita itu hanyalah temanku. Dia menginap di sini karena ada urusan denganku, percayalah,” bujuk Riko menggenggam erat kedua tanganku, dengan raut wajah menyesal dan berharap aku tidak memutuskan hubungan di antara kami.

“Lepaskan tangan kotormu dariku. Terima kasih sudah mengajariku, bahwa cinta itu hanyalah ilusi bodoh yang tidak bisa didapatkan semua orang. Bawalah buku tabungan ini, itu adalah uang jajan terakhirku untukmu dan wanita itu, permisi,” ucapku melepaskan tangan Riko dan memberikannya buku tabungan yang selalu ku gunakan untuk mengangsur semua biayanya, kemudian pergi dengan tegap dan percaya diri.

***

Ketika aku sampai di halte bus, dan menyadari tidak akan ada bus yang melintas di jam ini. Tangisan dan jeritan yang ku bendung kini meluap dengan amarah yang menggerogoti hatiku sedikit demi sedikit.

Kenyataan pahit yang ku terima kurang dari 24 jam ini, seakan-akan membuat hidupku berada di ambang keputusasaan. Alasanku berjuang dan terus optimis dengan masa depan, seakan-akan sirna tanpa sisa setelah dua kejadian nahas menimpa diriku tanpa belas kasih.

“Mengapa hidupku seperti ini?” teriakku menjerit sembari memukul dada yang terasa sangat sesak untukku saat ini. Menyadari kenyataan bahwa semua orang terkasihku pergi meninggalkanku tanpa pamit.

Dikala aku terpuruk menyadari kenyataan pahit yang menyerang hidupku, aku berjalan tanpa arah dengan sempoyongan. “Tuhan, aku ingin kembali kepadamu. Dunia terlalu pemilih untuk insan sepertiku,” jeritku berjalan tertatih-tatih tanpa menyadari sebuah mobil sedan putih melaju ke arahku dengan kecepatan penuh.

Ciiiiitttttt….

“Aaa….” Aku terjatuh tepat 50 sentimeter di depan mobil yang berhenti mendadak ketika melihatku berjalan tanpa memperhatikan jalan.

Seorang pria yang terlihat familier keluar dari mobil itu dan berlari ke arahku. Dengan keadaan yang begitu berantakan, aku berusaha lari karena tidak ingin terikat dengan siapa pun mulai detik ini.

“Caramel, berhenti,” teriak pria itu berlati dan menarik lenganku kemudian memelukku erat-erat. Pelukan itu, seakan-akan meluluhkan hatiku yang sedang mengobarkan segala niat keputusasaan yang terus merajalela tak terkendali.

“Bisma, lepaskan aku,” ucapku ketika mengetahui wajah pria itu dengan jelas yang tidak lain adalah dosen muda itu. Aku berusaha melepaskan diri darinya. Saat ini, aku tidak membutuhkan belas kasih siapa pun selain Tuhan yang menjadi satu-satunya tempat bersandarku.

“Aku tahu, kepedihan yang kamu alami. Oleh karena itu, aku bergegas mencarimu setelah mendapat kabar duka itu,” jelas Bisma berusaha menenangkanku yang makin tidak terkendali karena takdir nahas yang ku alami.

“Aku tidak butuh belas kasihan dari siapa pun,” balasku kemudian mendorongnya dan berlari menuju jembatan.

Tanpa berpikir panjang, aku menaiki pagar pembatas jembatan di atas sungai terbesar di kota ini. Sebelum itu, aku menghadap ke langit dan tersenyum, berharap bibi melihatku tersenyum untuk yang terakhir kalinya.

“Selamat tinggal dunia pemilih.”

Byuuurrr…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status