Share

Berbagi Pilar
Berbagi Pilar
Author: hello.damension

Berbagi Pilar

Ninet masih ragu untuk menyampaikan permintaannya kepada Pilar. Apalagi ini bukan permintan yang bisa diterima nalar manusia pada umumnya. Wanita gila mana yang meminta suaminya untuk menikah dengan orang lain sebagai kado ulang tahun pernikahan? Tidak waras adalah kata yang tepat untuk keputusan Ninet.

-Sil, makanannya udah sampai, nih, aku belum coba, tapi aku yakin enak-

-tengkyu, yaa-  

Barisan teks yang Ninet kirim setelah pesanan lauk pauknya datang tepat waktu. 

Waktu menunjukan pukul lima sore. Ninet bergegas mencari kontak di ponselnya untuk ia hubungi.

Pilar langsung melontarkan pertanyaan ketika terhubung dengan Ninet lewat udara, “Sayang, kamu serius kali ini nggak mau dinner di luar?”

“Nggak, Mas, aku udah siapin makanan, kita makan di rumah aja.” jawab Ninet.

“Nggak spesial, dong. Sama aja makan malam reguler.” Pilar sedikit protes.

“Spesial, kok, ini makanannya yang spesial.” balas Ninet.

“Hmm, aku jadi penasaran, kamu lagi siap-siap, ya? Kamu pasti mau nyalain lilin-lilin, taruh vas berisikan bunga mawar di tengah meja makan, lalu kamu pakai gaun dan dandan super cantik selayaknya mau pergi ke pesta hari ini.” tebakan Pilar yang bertubi-tubi membuat tawa Ninet pecah seketika.

“Loh, kok, ketawa? Kamu curang, udah siap-siap dandan yang cantik, sedangkan aku pulang kerja begini, keringetan, lusuh, bau matahari” Pilar kembali melayangkan protes.

Ninet tidak menjawab tuduhan Pilar karena semuanya tidak tepat. Ia tidak menyiapkan vas bunga dan lilin-lilin untuk meromantisasi momen makan malam hari ini. Ia terlalu fokus untuk mengatur kata-kata yang ingin ia coba sampaikan dibandingkan hal-hal di sekitar.

“Pokoknya jangan sampai telat pulangnya.” ucap Ninet sebelum mematikan sambungannya. Ia menghela napas sejenak kemudian memasukan kembali gaun berwarna hijau zaitun ke dalam lemari pakaiannya. Beberapa perlengkapan make up yang sempat ia keluarkan dari tas pun kembali ia rapihkan, menyisakan dua barang, yaitu liptint dan pensil alis. Tebakan Pilar nyaris tepat, tetapi Ninet gagalkan dengan cepat.

Empat puluh menit berlalu sejak panggilan terakhirnya, suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Betapa besar ia berharap malam ini bisa dilewati dengan baik. Ia tidak mengharapkan jawaban dari Pilar sekarang, suaminya mau mendengar dan mengerti saja sudah cukup untuk saat ini.

“Maaf aku sedikit telat sayang” Pilar langsung menghampiri istrinya yang berada di ruang makan. Bermacam hidangan sudah tersedia di atas meja, namun mata Pilar lebih memilih untuk fokus memandangi wajah Ninet. Riasan sederhana membuat paras Ninet terlihat lebih segar.

“Cantiknya” senyum Pilar berhasil membangunkan kupu-kupu di dalam perut Ninet.

Ninet memperhatikan Pilar. Bagaimana bisa Pilar tetap menawan sepulang kerja? Suaminya berbadan tinggi dan tegap, Ninet tidak lebih tinggi dari bahunya ketika mereka bersisian. Ia tidak memiliki enam kotak di perutnya, namun masih tetap terlihat proporsional. Matanya besar dan tegas khas lelaki jawa, hidungnya juga lebih mancung dibandingkan milik Ninet, meski tidak memiliki garis rahang yang sesempurna di cerita-cerita fiksi yang pernah Ninet baca, namun itulah yang membuat Ninet jatuh cinta. Sosoknya manis, semanis gula jawa.

“Kamu masak ini semua?” Pilar baru sadar akan kehadiran berbagai hidangan di atas meja.

“Aku cuma masak nasi aja, kok” terang Ninet sambil memberikan piring kepada Pilar.

“Tumben kamu nggak masak lauknya?” jawab Pilar “Ambilin, dong” Pinta Pilar dengan suara yang berubah sedikit manja.

“Aku pesan ini dari Sila, loh, Mas” Ninet menunjuk beberapa lauk yang saling berdampingan. “Ayam betutu, sambal goreng kentang, sama tumis capcay”

“Oh, begitu, ya, apa nggak mubazir sebanyak ini cuma makan berdua?” Pilar sedikit terkejut dengan porsi besar masing-masing lauk.

“Namanya juga pesan lauk khusus dari orang lain, Mas, nggak bisa cuma pesan ayam dua potong, minta sesuaikan porsi” terang Ninet. “Ini sisanya bisa disimpan dulu, kok, besok pagi tinggal dipanasin buat sarapan” lanjut Ninet.

Pilar mengangguk menerima jawaban Ninet.

“Nasinya porsi biasa, ya” ucap Ninet mengonfirmasi. Porsi biasa adalah porsi makan Pilar yang memang cenderung lebih banyak saat makan malam sehabis pulang kerja.

Pilar mengacungkan ibu jarinya.

“Enak juga, nggak kalah sama masakanmu” ujar Pilar disela-sela mengunyah santapannya.

“Emang Sila paling jago masak, Mas” Ninet juga ikut menyantap hidangan yang tersedia di piringnya.

Ulang tahun pernikahan memang selalu dirayakan dengan makan malam spesial. Biasanya mereka akan pergi makan  di luar rumah, namun kali ini sejak jauh hari Ninet meminta untuk makan seperti biasa di rumah. Meski sempat beberapa kali mengajukan keberatan, namun Pilar tidak bisa menolaknya.

“Net, kamu serius nggak mau hadiah apapun dari aku?” pertanyaan Pilar sontak memberhentikan pergerakan otot-otot rahang Ninet yang sedang menggerakan gigi-giginya untuk menghancurkan makanan yang ada di dalam mulutnya.

“Kayaknya enggak” Ninet berbohong. Ia memilih untuk menyampaikan permintaannya usai suaminya menyelesaikan makan malamnya. Setidaknya jika perut Pilar sudah terisi, reaksi yang akan tercipta nanti tidak tercampur dengan rasa lapar yang ikut memicu emosi. Pikirnya.

“Giliranku, ya, aku boleh minta sesuatu?” Pilar memicingkan matanya.

Ninet menebak Pilar sedang menggodanya.

“Honey, I would, but I am on my period, now” ujar Ninet cepat tanpa bertanya apa permintaan Pilar.

“Sayang, aku nggak minta yang itu, kok” Pilar merenggangkan bahunya, berusaha sesantai mungkin.

Ninet tidak bereaksi seakan menunggu kelanjutan dari ucapan Pilar.

“Ayo kita coba lagi” suara Pilar terdengar lebih pelan namun tetap tagas.

Ninet mengalihkan pandangan ke bawah, tepat ke arah piring yang sudah tidak menyisakan makanan di atasnya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suara.

“Mas, haven’t we tried enough? Dua kali dan selalu gagal” Ninet berusaha mengutarakan pendapatnya. Kecemasan akan respon Pilar terhadap permintaannya perlahan melunak digantikan oleh persoalan lain. Tentang masalah lama yang belum terselesaikan.

“No, aku mau coba sampai kita berhasil sayang” Pilar kembali menegakkan bahunya. Ia serius akan ucapannya. “Tapi, kalau kamu juga mau” lanjutnya.

“Aku belum tahu, Mas, maaf kalau aku belum bisa memberi hadiah yang terbaik buat kamu”

“Sayang, aku nggak maksa kamu, tolong maafkan perkataanku kalau itu bikin kamu sedih” Pilar meraih tangan istrinya.

“Ayo kita coba lagi” ucap Ninet ragu.

“Aku nggak mau kalau kamu terpaksa, I am fine with what we got now, lupain apa yang aku minta tadi” pernyataan Pilar justru membuat Ninet tambah melunak. Meskipun Pilar mengutarakan kalimat bernada keikhlasan, namun yang terdengar di kuping Ninet adalah sebuah permohonan.

Pilar memohon agar aku lebih yakin. Batin Ninet.

“Aku serius, ayo kita coba lagi” ujar Ninet. Ia menatap kedua mata Pilar dengan yakin.

Seketika Pilar mengecup kening Ninet. Ia meraih istrinya agar terbenam di dalam pelukannya.

“Tapi kalau ini gagal lagi, we have to move on, Mas” Ninet berbisik di dalam pelukan Pilar.

Pilar tidak membalas ucapan Ninet, ia justru semakin menguatkan pelukannya. Ia mengingat kembali momen-momen bahagianya bersama Ninet. Ia tidak ingin masalah sebesar apapun menjadi batu kerikil di tengah perjalanan rumah tangga mereka. Ia ingin bisa terus berjalan berdampingan bersama. Apabila di antara mereka ada yang terluka, setidaknya mereka dapat membagi luka itu bersama. Menjadi lebih kuat dan semakin tumbuh di dalam cinta. Ia ingin terus bersama Ninet.

Ninet merasakannya. Hangat. Tubuh mungilnya terbungkus aman di dalam dekapan Pilar. Ia merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika rumahnya memiliki pilar terbaik yang lebih kokoh dari apapun. Pilar yang selalu mendekapnya erat entah ia sedang marah, sedih ataupun bahagia. Pilar selalu berhasil memberi kehangatan itu. Sejujurnya ia tidak rela jika harus membagi kehangatan ini untuk orang lain. Tetapi sebuah fakta yang mengganggu pikirannya Kembali mengusik.  Ia tetap harus bijaksana untuk kebaikan semuanya.

“Mas, kamu mandi dulu, aku mau cuci piring” perlahan Ninet meloloskan diri dari dekapan Pilar yang kian melonggar.

“Aku bantu?” Pilar menawarkan bantuan.

“Nggak perlu, ini tugas aku. Selama aku lagi nggak repot dan masih bisa ngerjain sendiri, aku nggak perlu bantuan siapapun” Ninet tersenyum manis.

“Setelah selesai kamu langsung ke kamar, ya, ada sesuatu yang mau aku kasih” ucapan Pilar membuat Ninet penasaran.

“Apa?”

“Nanti aja sayang, aku mandi dulu, ya” Pilar sudah lebih dulu beranjak dari ruang makan yang menyampur dengan dapur tersebut.

Makan malam berlalu di luar rencana Ninet. Semua kata-kata yang sudah ia persiapkan seakan lenyap begitu saja. Fokusnya melayang jauh ke titik lain. Sudah tepat lima tahun mereka bersama namun ia belum bisa meberikan apa yang sepenuhnya Pilar inginkan. Sudah dua kali mencoba alternatif bantuan dokter spesialis namun belum mendapatkan hasil yang mereka harapkan. Bagaimana ia bisa mengutarakan permintaannya ketika yang suaminya inginkan saat ini adalah keturunan dari rahimnya, bukan seorang istri baru.

Sekitar tiga puluh menit berlalu sejak terakhir Pilar mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin ia berikan untuknya. Ninet penasaran. Saat mencuci dan merapikan piring serta berbagai peralatan makan di dapur, ia sudah terbang bersama pikirannya jauh. Apa yang ingin Pilar berikan?

“Kamu mau aku pijat?” ucap Pilar ketika Ninet membuka pintu kamar untuk masuk.

“Boleh” Ninet berjalan menuju Pilar yang seketika bangkit dan duduk di atas tempat tidurnya.

“Tapi aku yang pijat kamu dulu, ya, nanti setelah itu gantian” Ninet duduk di sebelah Pilar. Tangannya meraih bahu Pilar yang kemudian dipijatnya.

“Kalo nanti apa yang kita usahakan berhasil, aku nggak mau kamu terlalu sibuk ngurusin kerjaan rumah” Pilar berbicara memunggungi Ninet.

“Mas terlalu berlebihan” ucap Ninet.

“Pokoknya nanti sarapan aku yang siapin, makan siang, malam, semua udah tersedia”

“Kamu mau hire asisten rumah tangga?” Ninet memberhentikan pijatannya. Menunggu Pilar yang tidak menjawab, ia melanjutkan “Masih belum perlu, Mas. Aku masih bisa”

“Ya, kalau untuk makanan, kita bisa pesan sama Sila, kan? Lidahku cocok sama masakannya, enak, kok”

“Aku, sih, mau aja, tapi kamu yang bilang langsung ke Sila, ya” jawab Ninet asal.

“Bilang apa?”

“Sila, your food tastes good, can you be my personal chef for life?” Ninet sengaja memancing respon Pilar.

“Ah, berlebihan banget! Masa mau pesan makanan aja kayak mau ngajak nikah!” Pilar tertawa kecil mendengar perkataan istrinya.

Ninet terdiam. Ia berdialog seorang diri di dalam batinnya, apakah ini saatnya?

“Jujur, aku cuma nggak mau aja kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu dan calon anak kita” Pilar menggeser arah duduknya sembilan puluh derajat ke sebelah kanan, menjadi tepat bersisian dengan Ninet.

“Lihat nanti aja, Mas, aku masih takut” jawab Ninet cepat. Fokusnya kembali memusat pada persoalan anak.

“Takut gagal lagi?” tebakan Pilar dibalas anggukan kecil oleh Ninet.

“Hey, come on, kalau gagal, it’s totally okay! sayang, kita bisa melewati ini berdua” Pilar meraih telapak tangan Ninet.

Bukan, sebenarnya bukan takut gagal. Ninet  lebih takut melihat raut wajah penuh kecewa itu lagi. Melihat bagaimana sorot mata yang ia gemari itu berubah menjadi penuh kesedihan ketika dokter mengatakan kata gagal. Sudah dua kali ia menyaksikannya. Ninet tidak sanggup untuk mengulanginya.

“Aku tahu kamu bakal ngomong itu, tapi” ucap Ninet yang langsung dipotong oleh Pilar.

“Aku serius” Pilar membawa tangan Ninet ke dalam genggamannya, sedetik kemudian ia sudah mendaratkan kecupan di sana.

“Semoga aku bisa membuat kamu bahagia, ya” bulir air mata Ninet mulai menetes, frekuensinya yang jarang menyamarkan keberadaannya di wajah Ninet. Pilar tidak menyadarinya.

“Dari awal aku menikah sama kamu itu sudah menjadi hal yang membahagiakan untukku. Semakin hari aku semakin bahagia. Aku tahu terkadang kita juga ada masalah yang timbul dari ego masing-masing, tapi aku sangat berharap kita bisa bertahan, please, aku terlalu sayang sama kamu”

Deg.

Apa ini? Kalimat tadi terlalu menusuk bagi Ninet. Ia jelas bahagia dan merasa sangat dicintai sebagai wanita, namun itu juga semakin memberatkannya untuk mengutarakan permintaan yang telah ia pikirkan masak-masak semenjak pertemuannya kembali dengan Sila beberapa bulan silam.

“Mas, katanya mau ngasih sesuatu?” Ninet memutus topik pembicaraan barusan. Selain untuk menghindari perasaan bersalah yang menguat, ia memang penasaran dengan ucapan Pilar di ruang makan tadi.

“Oh, aku lupa!” suara Pilar membesar berampur dengan gelak cengengesannya “sebentar” ia meraih ponselnya yang berada di nakas sebelah tempat tidur.

Ninet terus memperhatikan suaminya yang kini sibuk mencari sesuatu di ponselnya.

“Sebentar, sayang, I bet you will be happy to see this.” Pilar terlihat bersemangat mencari sesuatu yang telah ia siapkan sejak sebulan yang lalu.

Ninet semakin penasaran. Matanya mengernyit ketika Pilar mengarahkan layar ponsel tepat di depan wajahnya

Tiket pesawat ke Bandara Komodo. Ke Labuan Bajo.

“Aku udah booking ini dari beberapa bulan yang lalu” Pilar bersemangat.

Ninet teringat sesuatu.

“Kamu pasti senang, kan?”

Ninet masih terdiam. Hanya ada satu wajah yang muncul di kepalanya saat ini.

“Tenang aja, kita pergi tiga hari dua malam, kok, aku cuti sehari aja”

Ninet tidak menyangka jika suaminya menyiapkan kejutan ini.

“Kamu nggak suka?” Pilar memperhatikan ekspresi Ninet yang tidak terlihat senang.

“Aku suka, Mas, cuma aku nggak sangka aja.” Ninet tersenyum.

“Kan, memang sengaja biar jadi kejutan buat kamu.” Pilar memberi aba-aba agar Ninet mendekat. Beberapa detik kemudian mereka tidur bersebelahan menelentang.

Ninet berbalik ke arah Pilar, kedua tangannya mendekap lengan Pilar, “Terima kasih, Mas,” ucapnya.

“Minggu depan kamu sudah selesai belum, ya?” pertanyaan Pilar membuat Ninet tertegun.

“Kalau belum memang mau kamu cancel liburannya?” Ninet balas bertanya.

Pilar tertawa lepas mendengar ucapan Ninet.

Suara pesan masuk menghentikan tawa Pilar tiba-tiba.

“Ponselmu” tegas Pilar setelah mengecek tidak ada pesan masuk di ponselnya.

Ninet meraih ponselnya.

-Sorry baru sempat balas, Net, aku ketiduran tadi sore-

-Sama-sama, sayang… Semoga kalian suka, ya-

Ninet baru saja ingin mengetik pesan balasan ketika sebuah pesan kembali masuk dari kontak yang sama.

-Happy anniversary to both of you, ya. Aku senangggggg banget ngelihat sahabatku ini happy! Salam juga buat Mas Pilar-

Pesan yang terakhir mebuat Ninet tersadar akan rencana awalnya hari ini.

“Siapa?” tanya Pilar.

Ninet tidak sadar jika Pilar telah mengawasinya dari tadi.

“Malam banget, penting, ya?” Pilar kembali bertanya.

“Sila baru sempat balas pesanku tadi sore. Aku ngabarin kalau pesanan makanannya sudah sampai” Jawab Ninet.

“Oh, aku pikir ada laki-laki iseng godain kamu”

“Sila ngucapin happy anniversary. Katanya salam buat Mas” Ninet menyampaikan inti pesan sahabatnya.

“Say thanks dari aku, ya, salam balik juga” ujar Pilar

Ninet menghapus beberapa kata dan mengetik kata-kata baru di pesan balasan yang akan ia kirim.

-Terima kasih atas ucapannya from Me and Mas Pilar, love from both of us-

Sedetik kemudian pesan itu sudah sampai kepada penerimanya.

Tidak sampai semenit pesan balasan dari Sila kembali masuk.

-Resmi banget kayak lagi ngobrol sama ibu negara! Hahahaha good night, lovebirds-

Membaca balasan pesan tadi membuat Ninet tertawa kecil. Ia menoleh ke arah suaminya yang terlihat sudah memejamkan mata. Ia harus memantapkan hati untuk apapun yang terjadi di antara mereka bertiga. Tekadnya sudah bulat. Ini lebih dari sekadar mengembalikan kebahagiaan di wajah Sila. Ini tentang upayanya berdamai dengan kebenaran. Berbagi Pilar adalah keputusan yang paling tepat. Perlahan ia merebahkan kembali tubuhnya, berusaha memejamkan mata untuk larut dalam dimensi lain.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status