Share

Menebus Dosa

“Pak Pilarjati?” seorang lelaki gemuk dengan seragam hitam datang menghampirinya.

“Iya, Pak, ini saya.” Pilar menjawab.

“Viviere, ya, Pak?” tanya lelaki itu mengonfirmasi.

“Betul, Pak.”

Ninet yang berada di sebelah Pilar hanya diam menyaksikan percakapan antara Pilar dan lelaki yang ia Yakini adalah karyawan dari resort yang sudah suaminya pesan.

“Ayo, kita ke mobil” Lelaki itu mengajak kedua pasangan ini untuk mengikutinya menuju mobil jemputan fasilitas dari resort.

Ninet dan Pilar tiba di bandara sekitar sepuluh menit yang lalu. Ninet mengenakan blus corak batik tanpa lengan yang panjangnya tidak lebih dari lima senti di bawah perut, ia mengombinasikannya dengan celana jin pendek yang hanya menutupi setengah bagian pahanya, sedangkan Pilar hanya memakai kaus polo berwarna merah dan celana jin panjang andalannya.

Setelah memasukkan beberapa koper bawaan ke bagasi, mereka langsung naik ke dalam mobil berwarna putih yang dengan jelas bertuliskan “Viviere Resort and Spa”.

“Selamat datang, Pak, dari Jakarta?” Lelaki bernama Ahmad itu bertanya dari balik kemudinya.

“Iya, nih, Pak.” jawab Pilar.

“Berapa lama sampainya, ya, Pak?” tanya Ninet penasaran.

“Sebentar lagi, Bu, biasanya nggak lebih dari lima belas menit” jawab Ahmad. “Nah, ini nanti tinggal belok aja, lima menit lagi sampai” lanjutnya.

Ninet melirik keluar mobil. Matanya ikut menyusuri jalan yang dilewati. Ia bukanlah tipe orang yang suka jalan-jalan. Ia lebih suka menghabiskan waktu luangnya di rumah, melupakan sejenak penatnya tugas-tugas sebagai seorang ibu rumah tangga dan larut dengan jalan cerita dari berbagai film favoritnya di layar kaca. Hal ini sangat berbanding jauh dengan Sila yang gemar bepergian. Setiap liburan semester, Sila selalu mengajaknya ke berbagai tempat di dalam maupun luar kota.

Setelah lebih dari sepuluh menit perjalanan akhirnya mobil mereka tiba di tujuan. Setelah mengeluarkan koper dari bagasi, mereka berdua berjalan menuju lobi utama.

Di dalam lobi utama, Ninet memilih untuk duduk di sofa biru laut yang terletak di pojok sementara Pilar sibuk mengecek bukti pemesanan kepada resepsionis.

“Net” suara Pilar memanggilnya.

Ninet menengok ke arah suaminya. Ia melihat sudah ada seorang wanita di sebelah Pilar yang sepertinya akan mengantarkan mereka menuju penginapan. “Iya, Mas” ucap Ninet seraya menarik sebuah koper berukuran medium miliknya.

Penginapan yang di pesan Pilar berada kurang lebih seratus meter dari lobi utama. Mereka berdua bersisian mengikuti seorang petugas vila yang memandu jalan. Berbagai macam jenis tanaman yang terawat tampak memanjakan indera penglihatan mereka. Sampai akhirnya tiba di sebuah pintu besar berukiran kayu yang menghubungkan mereka dengan bangunan penginapan. Petugas tadi mempersilakan mereka untuk masuk terlebih dahulu.

Sebuah bangunan bernuansa kayu menyambut kedatangan mereka. Di sisi sebelah kanan terdapat kolam renang yang berukuran cukup luas untuk sepasang suami istri. Di teras depan terdapat bangku beranyaman rotan yang menghadap langsung ke kolam renang. Batu-batu alam turut hadir memberi aksen eksotis di jalan setapak menuju bangunan tersebut. Rerumputan yang hijau, pohon-pohon yang rindang, udara yang bersih, dan senyum Pilar yang tidak pernah lepas semenjak mereka tiba di sini. Ninet mulai merasa nyaman.

“Ini kuncinya, Pak, Bu, kalau ada apa-apa boleh segera menghubungi kami 24 jam, saya tinggal dulu, ya.” Petugas tadi izin pamit.

“Terima kasih, Mbak.” jawab Pilar dan Ninet kompak.

Mereka saling melemparkan senyum sembari memasuki kamar tersebut.

Ruangan yang mereka tempati cukup luas, terdapat dapur bersih dan ruang santai kecil di sebelah kanan yang dibiarkan menyatu dengan kamar tanpa partisi. Di atas tempat tidur berukuran king sudah menyambut sepasang angsa tiruan yang saling berhadapan membentuk simbol cinta yang lazim ditemukan di kamar pasangan suami istri yang datang untuk berbulan madu. Kelopak bunga mawar sengaja ditabur di kasur mengelilingi sepasang angsa yang terbentuk dari handuk tersebut.

“Aduh, who wants to clean up these things?” ujar Ninet ketika melihat keadaan tempat yang akan ia gunakan untuk tidur.

“Sayang, come on, kamu nggak romantis banget, sih.”

“Mas, we’re too old for this.” jawab Ninet sembari tertawa. Ia ingat saat bulan madu dahulu, mereka juga mendapati berbagai macam pernak pernik hiasan di atas kasur seperti ini, yang memang tidak terlalu berguna karena akhirnya harus mereka bersihkan sebelum tidur.

“Ninet, aku masih tiga puluh dua tahun.” protes Pilar.

“Aku dua puluh delapan, at least I am younger.” jawab Ninet menggoda suaminya.

“I have you, therefore I am the luckiest.” balas Pilar telak. Ia berhasil mungunci bibir Ninet dengan perkataannya.

“Aku periksa kamar mandinya dulu, ya” Ninet yang sudah kehabisan kata-kata bergegas menuju kamar mandi.

Pilar lanjut merapihkan beberapa koper ke dalam lemari yang tersedia di sana.

“Oke, air sama kakus aman.” ucap Ninet dari dalam kamar mandi yang ditaksirnya tiga kali lipat lebih luas dibandingkan dengan yang mereka miliki di Jakarta. Beraksen batu dan semen, dengan bak mandi dan pancuran yang bersebelahan. Di paling pojok terdapat kakus duduk. Sirkulasi udara sangat baik berkat lubang-lubang yang mengukir di berbagai sisi di dinding yang membentuk gambar bunga jika diperhatikan seluruhnya.

“Kamu mau istirahat atau makan dulu?” Pilar menghampiri Ninet.

“Mandi dulu” jawab Ninet.

“Oke, bareng ya?” Pilar langsung memasuki kamar mandi tanpa menunggu jawaban dari istrinya.

Malam kedua di Labuan Bajo. Seharian tadi mereka sudah mengelilingi beberapa tempat wisata, termasuk Pulau Komodo. Saat ini mereka sedang bersiap-siap untuk makan malam di tepi pantai sesuai ajakan Pilar.

Pilar mendekatkan bibirnya pada telinga Ninet, “cantik, kok” bisiknya pelan. Ia mengenakan kaus putih tanpa lengan yang ditimpa dengan luaran kemeja katun lengan panjang berwarna hitam polos.

“Sebentar, Mas.” Ninet menyemprotkan minyak wangi ke beberapa titik di tubuhnya.

“Jangan terlalu wangi” ucap Pilar “tadi aja hampir ditaksir komodo” candanya sambil menyolek hidung Ninet.

“Nggak apa-apa, asal jangan buaya.” balas Ninet.

“Buayanya sudah jinak, sayang.” ujar Pilar yang disambut tawa kecil Ninet.

Mereka berdua berjalan bergandengan tangan menuju resto yang jaraknya tidak jauh dari resort. Hanya sepuluh menit berjalan kaki.

Resto itu terletak seratus meter dari bibir pantai. Suasananya begitu syahdu dengan lilin-lilin kecil menghiasi meja makan. Bunyian merdu yang dihasilkan oleh para pemain musik akustik menggema di sekitar. Sesekali suara deburan ombak ikut meramaikan. Semilir angin membawa aroma air laut yang menggoda, aroma yang masih dapat dihidu meskipun sedikit samar akibat berbagai wewangian dari para pengunjung resto. Inilah momen romantis yang Pilar harapkan terjadi pada makan malam ulang tahun pernikahannya yang kelima kemarin.

“I don’t mind waiting a week for this” ucap Pilar.

“Kapan kita ke dokter, Mas?” Ninet bertanya pada Pilar yang sedang terpaku pada permainan para pemain band akustik yang berada di panggung kecil di depan mereka.

“Oh, sayang, aku lupa kalau dokter Jun tadi pagi juga nanya” Pilar meraih ponsel dari saku celananya. “Belum aku balas, tapi menurut dokter Jun lebih cepat lebih baik” lanjutnya.

“Kalau kali ini nggak sesuai rencana juga, kamu bagaimana?”

“hey, I told you already. I am fine now and will be fine dengan apapun hasilnya, aku harap kamu juga baik-baik aja, whatever the results, jangan menyalahkan diri kamu, ya”

“Opsi lain?” tanya Ninet cepat.

“Hmm, adopsi anak? Boleh juga.” Pilar mengucapkan satu-satunya opsi yang terlintas dibenaknya.

“Hmm, maksud aku, kalau kamu mau menikah lagi sama wanita lain, aku siap” ucap Ninet sedikit terbata.

“Hah? Kenapa harus sejauh itu?” Pilar terkejut mendengar ucapan Ninet.

“Aku cuma kasih saran, Mas” Ninet sadar Pilar tidak akan melakukan itu hanya untuk memperoleh keturunan. Tetapi Ninet juga bingung harus beralasan apalagi agar ia bisa menjodohkan suaminya dengan sahabatnya.

“Apa kamu pikir aku bisa seperti itu?” tanya Pilar.

“Tapi aku nggak masalah dengan itu.” ucap Ninet meyakinkan Pilar.

“Apa nggak kasihan sama wanita yang aku nikahin karena berharap keturunan bukan karena cinta? Atau kamu yang memang sudah bosan sama aku? Kamu kecewa karena aku minta kita melakukan program hamil lagi? Aku bingung, Net” Pilar memburu Ninet dengan berbagai pertanyaan.

“Mas, sorry, aku nggak ada maksud apa-apa, aku sayang sama kamu, aku juga nggak kecewa sama kamu, justru aku mau lihat kamu lebih bahagia” jawab Ninet.

“Oke, aku paham, tapi jangan bicara seperti itu lagi, ya? Aku nggak mau kamu berpikir kalau aku bisa lebih bahagia sementara kamu terluka, nggak, justru aku lebih terluka kalau lihat kamu begitu” suara Pilar bergetar. Ia menahan segala macam emosi yang menumpuk di dadanya.

“Mas, aku ikhlas” kembali Ninet meyakinkan Pilar.

“Sudah, tolong jangan dilanjutkan” pinta Pilar.

“Aku belum minta hadiah apa-apa dari kamu, kan? Sekarang aku minta, kamu nikah lagi, nikah dengan Sila, mas” Ninet melontarkan sebuah permintaan yang sudah ia siapkan sejak lama. Sudah tidak ada jalan untuk kembali, cepat atau lambat ia harus mengatakannya.

Pilar terkejut mendengar ucapan Ninet. Ia belum memberikan respon apa-apa. Bagaimana perkataan itu bisa keluar dari bibir istrinya. Ia tidak paham.

“kamu mengorbankan sahabatmu untuk kebahagiaan keluarga kita? Cuma untuk dapat keturunan?”

“no, justru aku mau Sila bahagia”

Pilar mengernyit, “bahagia?” Rasa penasaran terpancing pada raut wajahnya.

“Aku ingin kamu melindungi Sila, memberi dia apa yang selama ini seharusnya ia dapatkan” terang Ninet.

“Kamu gila, Net? Kamu pikir dia akan setuju kalau tahu kamu berkorban seperti ini untuknya?”

“Mas, tolong mengerti permintaanku, ini untuk kebaikan kita.”

“Apanya yang baik? Kamu akan terluka, dia akan terluka, lalu aku? Aku akan jadi orang paling yang bersalah di dunia!” Pilar menaikkan sedikit volume suaranya.

“Mas..” Ninet tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ada sesuatu yang hampir ia katakan, sesuatu yang sudah berada di ujung lidahnya tetapi sulit untuk terucap.

Makan malam ini ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan Pilar. Ia mengira malam ini akan lebih tepat disebut sebagai perayaan ulang tahun pernikahan dibandingkan dengan minggu lalu. Namun obrolan barusan menghancurkan segala momen keromantisan yang sudah didukung penuh oleh keadaan sekitar. Mereka sadar di saat seperti ini lebih baik untuk lekas menghabiskan makanan dan kembali ke kamar untuk mengistirahatkan jiwa dan raga yang telanjur lelah.

____________________________________________________________________________

Ninet sudah berada di atas kasur saat ini. Ia menjadi serba salah. Ia merusak momen-momen terakhir liburan mereka di Labuan Bajo. Tetapi sedari awal pun ia memang tidak terlalu merasa senang berada di sini. Selain karena ia tidak suka bepergian, ia juga mengerti jika ini bukanlah untuknya. Pilar tidak memberikan ini untuknya. Ia berharap bisa mengutarakan alasannya dengan tepat tetapi ia belum sanggup untuk menerima penghakiman atas apa yang sudah ia tutupi selama ini.

-Net? Kamu sampai kapan di Bali?-

Sebuah pesan masuk dari Sila. Lebih dari satu jam yang lalu.

-Sorry, tadi aku makan malam sama mas Pilar, baru baca pesanmu, besok kami pulang-

Ninet membalas pesan dari Sila.

“Net, kamu belum tidur?” tanya Pilar yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Belum, mas, masih belum ngantuk”

“Maaf soal yang tadi, ya, aku nggak mengerti jalan pikiranmu saat ini, tapi aku mohon jangan meminta hal seperti itu” Pilar mendaratkan tubuhnya ke kasur.

“Tidak perlu minta maaf, mas, aku ngerti, kok” jawab Ninet.

“Istirahat, yuk, besok pesawat kita take off pagi” Pilar mengingatkan Ninet.

“Iya, mas” jawab Ninet singkat.

Dalam diamnya, Ninet masih memikirkan cara agar rencananya bisa berhasil. Benar ucapan Pilar, ia tidak bisa langsung meminta Pilar untuk menikahi Sila ataupun sebaliknya. Ia harus membuat mereka saling jatuh cinta. Meskipun berat namun ia harus melakukannya demi menebus dosa.

____________________________________________________________________________

“Mas, aku udah siap, nih.” teriak Ninet.

“Sebentar, sayang, aku cuma cuci muka sama sikat gigi aja.” jawab Pilar dari dalam kamar mandi.

Waktu sudah menunjukan pukul lima pagi lewat lima belas menit. Pesawat mereka dijadwalkan untuk take off kurang dari tiga puluh menit lagi. Tidak ada waktu untuk sarapan. Untungnya segala barang dan perlengkapan mereka sudah dikemas dari kemarin.

Suara roda dari koper yang bergesekan dengan jalanan terdengar bersahutan antara koper milik Ninet dan Pilar. Dengan mempercepat langkah kaki, mereka menuju lobi untuk mengembalikan kunci dan menumpangi mobil yang telah disediakan untuk menghantar mereka ke bandara.

-Hans, ini Ninet, ada yang mau aku bahas sama kamu, bisa atur waktu untuk bertemu?-

Ninet mengirim sebuah pesan ke teman lamanya, Hansen Samuel, satu-satunya orang yang bisa diajak bertukar pikiran tentang masalah ini. Bagaimanapun, Hans juga terlibat di dalamnya.

“Pak Pilarjati Andrianto?” teriak sorang karyawan resort.

Pilar melambaikan tangan ke arah seorang lelaki muda yang berdiri tepat di pintu keluar.

“Mobilnya di sini, Pak.” lanjut karyawan tersebut seraya menunjuk mobil yang terparkir di sebelahnya dengan ibu jarinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status