Share

Kesalahan Bersama

Sepasang kaki berjalan lengkah demi langkah menuju ke suatu tempat. Tepat di depan sebuah kedai kopi yang terletak di dalam pusat perbelanjaan di tengah kota, langkah kaki Ninet terhenti, dari luar ia melihat ke sekitar untuk menemukan sosok lelaki yang telah menunggunya. Kalau bukan karena cerita Pilar bahwa Hansen Purnama, teman dekatnya saat di kampus dahulu, kini sudah menyusut secara fisik, ia tidak akan percaya dengan apa yang matanya tangkap saat ini, sesosok pria berkacamata yang sedang fokus dengan ponselnya, mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru, tampak rapih dengan rambut klimis bak eksekutif muda. Benar, ini bukan Hans yang ia kenal sebelumnya. Ninet pun masuk ke dalam.

"Aku tahu kamu pasti muak dengar ini, but you look different." kalimat pertama yang keluar dari bibir Ninet. 

Hans yang sedikit terkejut dengan kehadiran Ninet, langsung memasukkan poselnya ke dalam saku celana, "Eh, silakan, Net." ucap Hans mempersilakan.

Ninet duduk di bangku depan yang berhadapan dengan Hans, "Sorry, ya, agak telat."

Hans melihat jam di tangannya, "lima menit, bisa ditoleransi, lah, nggak termasuk telat kalau untuk orang ibukota kayak kita."

"Aku pikir Mas Pilar terlalu berlebihan saat bilang kalau penampilanmu berubah." ucap Ninet.

"Memang menurutmu, how do i look?" tanya Hans.

"Boleh juga, without that thin glasses, you would snatch at least a supporting role di drama korea." jawab Ninet yang disambut tawa oleh Hans.

Hans ingat sekitar dua minggu yang lalu ia mendapatkan pesan dari Ninet. Saat itu ia sedang menyantap sarapan di rumah Sila setelah bermalam untuk menemani Sila yang sedang sakit. Pesan yang membuat Hans penasaran hingga kehilangan selera untuk menghabiskan sarapannya. 

"How's life?" Hans bertanya.

Ninet menghela napas, "been good, awalnya sulit harus jadi full time housewife, tapi makin ke sini aku sudah dapat ritmenya."

Hans mengangguk, "eh, iya, mau minum apa? Biar aku yang pesan, bills on me."

Ninet berpikir beberapa detik, "Hot latte, less sugar, thanks ya."

Hans mengacungkan ibu jarinya. Sesaat kemudian ia telah berada di dalam antrean yang lumayan ramai karena memang jam istirahat untuk para karyawan perkantoran di sekitar.

Ninet memandangi ponselnya, tersisa dua puluh menit sebelum Hans harus kembali bekerja, ia tidak boleh mengulur waktu. 

Setelah Hans kembali duduk, Ninet mulai memperhitungkan bagian cerita mana yang harus ia sampaikan tanpa harus bertele-tele. 

"Minuman kamu." ujar Hans ketika seorang pramusaji datang menghampiri meja mereka. 

"Terima kasih, Mbak." ucap Ninet ketika pramusaji tadi meletakkan cangkir yang berisi latte panas pesanannya ke atas meja. 

Hans pun langsung menikmati pesanannya, kopi alpukat tanpa gula dengan tambahan es batu. 

"Aku yakin kamu akan terkejut kalau tahu apa maksud dan tujuanku ngajak bertemu." ucap Ninet. 

Seketika Hans berhenti menyeruput minumannya, "Bukannya kamu kangen sama aku, Net?" Hans berusaha serileks mungkin dengan bergurau. 

"Lumayan." balas Ninet jujur. 

"Kamu ada masalah?" Hans asal menebak.

"Lebih tepatnya, aku yang bikin masalah." jawab Ninet pelan.

Hans mulai meraba-raba inti cerita yang ingin Ninet sampaikan. 

Ninet mengambil cangkir di depannya dan meniupkan udara dari mulutnya beberapa kali sebelum menyeruput isinya, "Sila, she's one of my biggest concerns now." ujar Ninet. 

Hans makin penasaran dengan apa yang ada di kepala temannya itu, "Kenapa?" tanya Hans.

"Jangan pura-pura nggak tahu, deh."

Hans terdiam. Kepingan-kepingan yang semula berantakan di pikirannya perlahan tersusun dengan rapih. Ia mulai paham ke mana arah pembicaraan siang ini. Memori itu dipaksa hadir lewat kalimat yang Ninet ucapkan barusan.

"Selama ini aku berharap kalau Sila hidup dengan nyaman dan bahagia. Tidak jarang aku berdoa jika bertemu kembali, aku ingin melihat Sila sudah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan aku." ucap Ninet. 

"Kamu tahu darimana kalau dia nggak happy?" Hans merespon. 

Ninet menghela napas sebelum melanjutkan, "Apa aku harus cerita semua kesulitan dia selama ini?"

"Net, kalau mau bahas sesuatu itu harus pasti, bagaimana aku bisa yakin sama isi ucapan kamu kalau kamu nggak mau cerita secara detil." ucap Hans.

Akhirnya Ninet menceritakan segala hal tentang Sila yang ia ketahui, dari masalah percintaan hingga finansial. Sebenarnya Ninet enggan menceritakan semua kesulitan yang dihadapi Sila, namun tidak ada jalan lain, ia harus memberitahu agar Hans yakin dan bersedia membantunya.

Dengan serius Hans mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari mulut Ninet. Sesekali bayangan wajah Sila yang ia temui saat sedang sakit beberapa waktu lalu hadir. Tidak tahu sejak kapan, namun makin Ninet meneruskan ceritanya, makin ia merasakan kepedihan yang sama. 

Ninet berhenti sejenak, "Sementara aku hidup dengan aman dan nyaman bersama Mas Pilar"

Hans melipat kedua lengannya dan membiarkan punggungnya bersandar. Cerita tentang Sila seakan memberi beban baru di pundaknya. Ia paham dengan apa yang Ninet rasakan. Sebuah penyesalan. 

"Aku mau Sila dan Mas Pilar bisa bersatu." tegas Ninet.

Hans hanya terpaku. Ia tidak menyangka bahwa Ninet akan berpikir sejauh ini. Ini di luar logikanya. 

"I need your help." ucap Ninet melanjutkan.

"Net, kamu tahu, kan, risikonya? Ini bukan sesuatu yang bisa dengan mudah kamu putuskan. Ada keluarga besar kalian, belum lagi bagaimana kalau Pilar dan Sila tahu tentang semua kekeliruan yang sudah terjadi?" Hans tidak bisa terus berdiam menerima semua perkataan Ninet.

"Makanya aku butuh bantuanmu, aku butuh saran dari kamu, aku mau ini terkesan natural, aku mau mereka saling jatuh cinta tanpa harus mengetahui apa yang sudah terjadi di masa lalu." ujar Ninet.

"Aku masih perlu berpikir tentang ini semua, Net, please, jangan gegabah, masih ada cara lain untuk membayar apa yang terjadi saat itu." 

"No, aku ke sini bukan mau debat sama kamu Hans, aku butuh bantuanmu, please, biarkan aku lakukan ini demi Sila." pinta Ninet. 

Hans paham rasa bersalah itu sangat menyakitkan, apalagi terjadi oleh orang yang kita sayang. 

"Kalau aja waktu itu kamu nggak salah kasih kontak ke Mas Pilar, kalau aja Mas Pilar tahu jika orang yang dicarinya saat itu adalah Sila bukan aku." airmata mulai nampak membasahi pipi Ninet. Suaranya mulai terdengar parau. 

"Net"

"Aku nggak bisa membohongi orang-orang yang aku sayang lebih lama lagi."

Hans merasakan apa yang dirasakan Ninet. Mana mungkin ia tega melihat Sila dalam kesulitan selama ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa meskipun Ninet mengatakan ini adalah kesalahan bersama, namun kenyataannya ialah yang paling bersalah di sini. Andai seisi dunia tahu, demi Sila ia rela berkorban apa saja. 

"Kamu bersedia, kan, Hans?" Ninet mengonfirmasi sekali lagi tentang kesediaan Hans untuk membantu rencananya.

Hans memberikan beberapa lembar tisu, ia menghela napas sebelum akhirnya mengangguk pelan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status