Share

[02] - Pindah ke Yogyakarta

HAPPY READING ....

______________

Stasiun Kereta Api Bandung, entah karena sepi penumpang atau karena jadwal keberangkatan kereta tidak ada. Stasiun itu terlihat sedikit sunyi. Bangku-bangku yang biasanya sesak oleh penumpang, terlihat hanya di duduki oleh beberapa orang saja.

Sementara, pagi ini telah menunjukkan jam 07:30 waktu setempat tetapi, kenapa masih terlihat sangat sepi? Tidak seperti biasanya, jikalau sudah jam demikian semua orang sudah terlihat mengantri di kursi tunggu.

Ilham kembali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu ia mencocokkan dengan tiket keberangkatan kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta, yang ada di tangan yang lain.

“Sudah setengah delapan, sebentar lagi keretanya datang,” gumam Ilham kembali memperbaiki posisi duduknya yang terasa kurang nyaman. Kemudian, ia melirik ke arah bangku yang diduduki Adel, dan terlihat di sana, cewek itu hanya terdiam dengan tangan di atas paha serta pandangannya tertuju ke depan.

“Del, kamu gak papa?” tanya Ilham pelan. Ilham takutkan adiknya itu kenapa-kenapa. Dari tadi Adel tidak nafsu mengajaknya bicara. Biasanya saja adiknya itu seperti toa kakak pembina dalam organisasi yang sedang marah-marah. Sangat memekakkan telinga!

Adel menoleh dan tersenyum serta menjawab pertanyaan abangnya dengan anggukan, sebagai tanda dia tidak apa-apa. Melihat adiknya mengangguk, Ilham tersenyum. “Berapa menit lagi kereta kita datang,” ujar Ilham lagi, entah itu sekedar basa-basi untuk mengurangi keheningan, atau memang ingin memeritahu adiknya.

Adel kembali mengangguk, lalu merogoh tas kecil yang ada di sampingnya. Dan mengambil benda mungil yang sempat di cemplungkan di sana. Dan terakhir dia mengetuk-ngetuk layar ponsel tersebut, sekedar mengurangin keboringan. Lagipula, dia juga tidak nafsu mengobrol dengan kakaknya.

Melihat hal itu, Ilham kembali ke posisi duduknya yang tadi, ia yakin sekali, Adel berusaha mencari kesibukan, biar dirinya tidak mengajaknya bicara. Ilham tidak permasalahkan itu semua, yang penting Adel tidak lagi termenung, dan itu sudah membuatnya cukup lega.

Tak lama terdengar pemberitahuan, bahwa kereta api jurusan Bandung – Yogyakarta tak lama lagi akan berangkat. Dan langsung saja kios-kios yang ada di samping stasiun terbuka lebar setelah bunyi sibakan pintu kios yang terdengar nyaring. Jadi ini jawaban, mengapa stasiun sepi sedari tadi. Ternyata, para calon penumpang menunggu keberangkatan kereta di dalam kios.

Kocar-kacir orang berlalu lalang, mereka semua terlihat sibuk memyiapkan barang-barangnya ketika kereta yang akan mereka tumpangi sudah terlihat dan perlahan berhenti. Semua orang turun, dan beberapa menit kemudian terdengar suara pemberitahuan bahwa kereta itu akan berangkat lagi.

Semua orang berlomba-lomba mencapai pintu kereta dan masuk ke dalamnya untuk mencari tempat yang aman dan nyaman tentunya. Di sana juga sudah terlihat Ilham dan Adel yang berdesak-desakan dengan para penumpang lainnya. Kali ini mereka harus mendapatkan tempat yang nyaman. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika ia harus kepanasan karena tidak kebagian tempat di samping jendela.

Untung sekali, karena kecepatannya melewati para penumpang lain. Maka mereka berdua mendapatkan tempat duduk yang diidam-idamkan, yaitu di samping jendela.

Kereta perlahan meninggalkan stasiun, setelah semua penumpang sudah siap di kursinya masing-masing. Terlihat pula Adel yang berdiam diri di samping jendela dengan pandangan diarahkan keluar. Dan di luar sana dapat dia saksikan pepohonan yang bergerak perlahan-lahan hingga sangat cepat, sebagai pertanda kecepatan kereta api yang dia tumpangi saat ini juga sedang dalam kecepatan ekstra.

Entah merasa ada yang menyihir otaknya. Hingga semua pergerakan itu, dia rasakan perlahan menghilang, dan digantikan dengan rasa kantuk yang menghinggapi kepalanya. Adel berusaha menahan pelupuk mata yang terasa mulai berat, namun akhirnya dia juga tidak bisa dan tertidur pulas sekali.

Mungkin, itu karena efek kenyamanan tempat duduknya, atau karena kelelahan karena tangisan sepanjang malam? Entah, tidak ada yang tahu, kecuali dirinya. Yang terjelas saat ini dia sedang istirahat dan menggunakan perjalanannya dengan melanglang buana.

*****

Welcome to Yogyakarta.

Tak terasa kereta yang dia tumpangi, Jurusan Bandung – Yogyakarta, akhirnya berhenti tepat di stasiun. Setelah kereta benar-benar berhenti, semua penumpang pun mulai turun, disertai dengan suara penyampain dari speaker yang cukup besar bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan dengan selamat.

“Del, bangun! Kita sudah sampai,” ucap Ilham seraya menepuk pipi adiknya berusaha menyadarkannya.

Merasa ada yang menyentuh pipinya, Adel yang sedang asyik berdansa ria dengan pangeran tampannya langsung buyar dan tergantikan dengan muka abangnya, yang langsung membuatnya terlihat kesal. “Ada apa sih, Bang?” tanya Adel belum sadar seratus persen. Dia menguap dan mengumpulkan energi yang masih ada di alam mimpi.

“Kita sudah sampai, Del.”

“Yang benar!?” Adel sedikit terlonjak ketika mengetahui bahwa tubuhnya sekarang sudah berpijak di Yogykarta. Itu artinya dia benar-benar telah meninggalkan Bandung serta segala sesuatu yang menyertainya. Apakah dia patut bersyukur, ataukah bersedih telah meninggalkan tanah kelahirannya, serta meninggalkan keluarga ibunya disana?

Ilham hanya mengangguk yakin ketika melihat ekspresi Adel yang terlihat begitu terkejut. Ilham yakin, jikalau Adel kaget karena sudah tiba di Yogyakarta. Sebenarnya, Adel tidak pernah mau meninggalkan Bandung, tetapi karena dirinya terus membujuk adiknya yang keras kepala itu. Akhirnya, Adel luluh juga.

Apalagi Ridwan, ayahnya yang saat ini tengah dirawat di rumah sakit yang ada di kota ini. Jadi, mau tidak mau mereka harus pindah dan mencoba memulai hidup baru di sana.

Setelah energi Adel terkumpul, mereka berdua turun dari kereta api serta barang miliknya yang sudah berada di tangannya masing-masing. Di pundak Ilham telah bertengger ransel berwarna hitam, serta tangan kirinya menarik koper besar berwarna hitam pula. Sedangkan Adel, ia menjinjin tote bag miliknya, serta menarik koper berukuran sedang berwarna merah muda khas cewek.

Mereka berdua terus berjalan hingga keluar stasiun kereta api itu dan berhenti tepat di pelataran depan stasiun.

“Bang Akmal, jadi datang tidak?” tanya Adel menoleh ke arah Ilham yang sedang mengetuk-ngetuk ponselnya. Sepertinya ia sedang mengetik sesuatu disana.

Karena merasa tidak direspon. Adel hanya mengedarkan pandangannya ke segala arah, memperhatikan kondisi lingkungan stasiun yang cukup bersih. Hingga akhirnya, matanya tertuju pada warung yang ada di timur stasiun.

Disana tertulis “GUDED ASLI YOGYAKARTA” dan disana pula terlihat sedikit orang yang berkeliaran. Dia melihat arloji yang bertengger di tangan kirinya, disana terlihat masih jam 2 lewat, waktu setempat.

Krukkk ... suara perut Adel tiba-tiba berbunyi. Maklumlah, kalau dirinya saat ini sedang lapar karena sudah jam dua lewat tapi belum sarapan. 

Aha! Daripada diam di sini, mendingan gue makan dulu, batin Adel seraya tersenyum lebar. Lagipula, Bang Ilham juga sibuk, jadi gue makan dulu deh, sudah lama gak ngerasain gudeg asli di sini, jadi kangen pengen rasain lagi.

“Bang, gue ke sana dulu yah, kalo Bang Akmal udah datang, bilang gue ke warung dulu,” ujar Adel dan langsung ngeloyor pergi meninggalkan barang-barangnya, tanpa mendapatkan izin dari Ilham.

“Eh ... Del!” ucapan Ilham terhenti ketika melihat Adel sudah menjauh. Ia baru saja ingin memberitahu kalau Akmal akan menjemput mereka lebih lama lagi, soalnya lagi ada urusan kantor. Tapi, ternyata Adel sudah hilang dari jangkauan bicaranya. Dan ia tidak mungkin berteriak. Jadi, Ilham membiarkan saja Adel pergi makan sendiri. Soalnya, ia sendiri sudah makan saat di kereta tadi.

Adel memasuki warung yang terlihat cukup sepi pengunjung, hanya beberapa orang yang sedang bencengkerama di kursi-kursi yang terlihat sudah lapuk. Adel yang merasa sedikit canggung hanya mampu menampilkan senyuman lebarnya, yang lebar sekali.

Ia langsung menghampiri pemilik warung itu dan bertanya mengenai makanan yang akan dia pesan, “Mbak, Gudegnya masih ada?” tanya Adel disertai dengan senyum manisnya yang belum juga pudar.

“Masih ada, Dedeh. Mau pesan?” tanya penjual warung itu dengan ramah.

“Iya Mbak, aku pesan satu porsi saja. Makannya di sini,” balas Adel kemudian. Penjual itu mengangguk pelan, dan Adel pun mulai meninggalkan tempatnya, tetapi langsung terhenti ketika telinganya dipekakan oleh lengkingan suara tinggi yang ada di sampingnya.

Adel mendongakkan wajahnya menatap cowok yang baru saja berteriak di sampingnya. Ingin sekali dia menyumpal mulut cowok itu dengan sepatu ikat miliknya, seandainya dia kenal. Sumpah! Suara cowok itu benar-benar mengganggu ketenangannya dan orang lain. Buktinya, orang-orang yang sedang asyik berbicara tak jauh dari mereka, berhenti dan langsung menatap aneh cowok itu. Dan pemilik warung yang ada di hadapan mereka juga menampilkan raut muka yang tidak suka.

“Heh, mas kalau mau teriak jangan di sini! Di tempat lain aja! Mas gak liat kalo teriakan mas tadi mengganggu ketenangan orang lain!”

Menyebalkan. Ucapan Adel tidak direspon sama sekali. Benar-benar cowok gak gentelmen. Atau jangan-jangan cowok ini tuli yah, tetapi, mungkin juga sih. Buktinya ia gak merespon perkataan Adel barusan.

“Mbak, Gudeg satu porsi!” panggil cowok itu lagi.

Sang penjual tidak pula mersepon perkataanya. Dia hanya melanjutkan aktivitasnya menyiapkan pesanan Adel. Adel cukup senang melihat itu. Sepertinya penjual itu sedang membalas perlakuan cowok itu padanya.

“Mbak! Gue lapar! Gudegnya satu porsi!”

Cowok aneh itu memekik lagi. Dan kali ini, pekikannya direspon oleh sang penjual, “Gak usah teriak mas!”

“Lagian, Mbak juga gak respon aku, kalau aku tak teriak!”

“Tapi, Mas Badai belum bayar makanan yang kemarin!” tegas penjual. Sepertinya ia tidak mau di rugikan oleh laki-laki yang ada di hadapannya itu. “Aku bisa rugi lho, Mas!”

Cowok itu menghela napas panjang, lalu diam sejenak. “ Oke, besok gue bayar, sekarang Mbak buatin aja. Gue lapar!”

“Tapi janji yah, harus bayar. Gue bisa rugi kalo mas Badai terus-terusan makan disini tapi gak bayar.”

“Iya! gak percayaan banget, sih!”

“Oke mas, tapi bentar, ini lagi buatin buat si Mbak ini,” jawab sang penjual sambil menunjuk Adel menggunakan dagu, yang sedari tadi menjadi penyimak di antara mereka bertiga

Pria itu menatap Adel, dan hanya menaikkan sebelah alisnya. Lalu ia kembali menatap penjual yang sudah selesai menyiapkan pesanan Adel. “Ini Mbak ....”

“Buat gue aja, nanti Mbak, buatin dia yang lain.” Dengan secepat kilat pria itu menyambar piring yang baru saja disodorkan sang penjual.

“Tapi, Mas ....”

Sia-sia penjual terus berteriak tetapi, si cowok tak tahu etika itu telah ngeloyor menuju bangku yang ada di sana. Daripada terjadi perang saudara, mendingan Adel turun tangan. “Sudah-sudah Mbak, gak papa. Sepertinya pria itu sangat lapar. Aku masih bisa menunggu kok.” Ucapnya pelan, walaupun kenyataanya dia sungguh lapar karena belum makan sedari tadi pagi.

“Yang benar Mbak?” tanya penjual itu memastikan ucapan Adel. Dia terlihat merasa bersalah karena ulah pria yang membuat pelanggannya harus menunggu lebih lama lagi.

“Iya Mbak, gak papa. Gue nunggu aja, gak sampai satu jam kan?” ujar Adel tersenyum.

“Baiklah kalau begitu,” balas sang penjual dan kembali memulai aktivitasnya.

“Mbak, kalau boleh tau, itu cowok keluarga Mbak, yah?” tanya Adel tiba-tiba kepo. Dia juga tidak tahu kenapa, tetapi menurut pemantauanya barusan. Terlihat sangat jelas, kalau pria itu sudah kenal dekat dengan sang penjual.

“Dia itu adik sepupu aku, Mbak. Dia itu orangnya bandel banget, tukang rusuh, dan membuat orang tuanya darah tinggi kalau mendengar tingkah dia di sekolah.”

Adel hanya mengangguk. Benar sekali dugaannya, mungkin cowok itu tipikal cowok tukang rusuh. Melihat wajahnya saja sudah membuat orang pengen rusuh dengannya.

Adel tidak memotong pembicaraan orang yang ada di hadapannya, soalnya penjual itu sepertinya masih mau melanjutkan perkataannya. “Dia memang sering makan disini, tapi selalu ngutang. Itupun baru bayar kalau aku ngingatin seperti tadi. Padahal, kalau dia mau bayar, pasti dia bisa, kan mama-papanya termasuk orang-orang terpandang. Tapi gak papa juga sih. Aku cukup lega, setidaknya dia ngutangnya cuma sama saya. Gak ngutang kesana-kemari.”

“Lucu juga yah, Mbak,” respon Adel singkat.

“Maksudnya?”

“Yah ... lucu saja gitu, udah tajir, tapi suka ngutang. Kan bikin gue mau ketawa dengarnya,” ujar Adel sedikit terkekeh.

Penjual pun ikut terkekeh mendengar perkataan Adel, “Mungkin sudah kebiasaan tuh ... Oh, ini Mbak pesanannya sudah siap.” Penjual itu menyodorkan sepiring gudeg kepada Adel. Dengan senang hati Adel menyambutnya dan mulai berjalan menuju meja untuk menikmati pesanannya.

Kali ini dia ingin duduk di samping cowok menyebalkan itu. Sepertinya asyik deh duduk di samping si tukang ngutang, padahal tajir, batin Adel sedikit terkekeh karena geli dengan kata hatinya.

“Ah! Sepertinya duduk di sini cukup nyaman. Duduk di samping si tukang ngutang,” ucap Adel seraya metakkan pantatnya di kursi. Dia memang sengaja membesar-besarkan perkataanya biar cowok itu merasa tersinggung.

Dan benar sekali, cowok yang ada di sampingnya langsung menghentikan suapannya ketika mendengar perkataan Adel. Ia melirik cewek yang ada di sampingnya itu, yang mulai menyuap gudeg miliknya.

“Maksud lo apa?”

“Eh, maaf-maaf, tersinggung yah. Sorry,” balas Adel berusaha setenang mungkin. Walaupun dalam hatinya dia ingin tertawa kencang sekali karena pancingannya berhasil.

“Anak sultan mana lo? Makan di warung kecil gini aja belagu. Emang lo bisa nge-bayarin utang gue.” Cowok itu sedikit kesal dengan ucapan Adel.

“Hus! Kalau makan cuma dari hasil ngutang. Gak usah di besar-besarin, Mas, entar malu lho, kalau didengar orang,” balas Adel sedikit mengejek.

“Lo yah, benar-benar jadi cewek!” Pria itu langsung berdiri dari kursinya. Ia sungguh kesal dengan orang sok tahu yang ada di sampingnya itu.

Adel berusaha tenang. Pria itu benar-benar terkena pancingannya, padahal dia cuma bercanda. “Hus ... makan, kalau gak! Nanti gue yang makan lho. Sekaligus mau tau rasa gudeg hasil utang, enaknya gimana?” perintah Adel berusaha mengambil makanan cowok itu.

Dengan terpaksa cowok itu kembali duduk dan melanjutkan makannya. Enak saja, si cewek menyebalkan yang ada di sampingnya itu menyikat makanannya juga.  Tapi kalau di lihat-lihat cewek ini boleh juga. Oke gue akan balas perbuatannya entar, batin Badai tersenyum jahil.

______________

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status