Share

[04] - Rumah Sakit

HAPPY READING ....

_____________

Jam telah menunjukkan pukul 19:12 waktu setempat. Semua orang sudah berkumpul di meja makan. Mereka kali ini makan berempat. Karena oma sepertinya belum pulang, sebab mereka belum ke rumah sakit untuk menggantikannya.

Di atas meja makan sudah tersedia jenis-jenis makanan khas Yogyakarta ada gudeg, opor ayam dan lainnya. Itu semua Akmal yang beli di warung terdekat, karena pembantunya pulang kampung tiga hari yang lalu. Jadi, kalau mau makan mereka harus beli dulu. Setidaknya, itu terjadi sampai pembantunya kembali pulang.

“Silakan makan, lepas ini kita semua ke rumah sakit!” perintah Om Reza memulai mengambil gudeg lalu melahapnya dengan nikmat. Detik selanjutnya, gerakan Reza pun disusul oleh Akmal, dan kedua keponakannya.

Tak berselang berapa menit, mereka semua telah menyelesaikan makannya. Adel yang merasa dirinya perempuan, mulai membereskan peralatan makan yang kotor itu lalu membawanya ke dapur. Sebagai anak perempuan, selama dia tinggal di rumah pamannya, maka dia harus melakukan pekerjaan itu semua. Untung saja selama masih di Bandung, dia suka membantu ibunya, jadi semacam mencuci piring atau memasak, sudah menjadi makanan Adel sehari-hari.

Selesai mencuci piring, Adel menghampiri tiga pria yang sedang bercanda di ruang tamu sambil menyaksikan ajang balap motor di televisi. Terkadang, terdengar mereka berteriak histeris ketika jagoan mereka tersalipkan oleh lawan, dan di detik selanjutnya mereka kembali bertepuk tangan ketika sang jagoan yang mereka idam-idamkan kembali mempertahankan kedudukannya.

Melihat Adel sudah menyelesaikan pekerjaannya, mereka semua berhenti menyaksikan acara balap itu, dan mata mereka langsung tertuju ke arah Adel yang berjalan menghampirinya.

“Sudah selesai, Del?” tanya Ilham kepada adiknya.

Adel mengangguk mengiyakan. “Kalau begitu kita berangkat sekarang, kasian oma kalian, menunggu di sana sampai larut malam. Apalagi nanti, kita harus singgah di toko membeli buah tangan untuk ayah kamu,” ajak Reza bangkit dari sofanya. Ilham dan Adel mengangguk, mereka langsung sibuk mempersiapkan dirinya. Adel sendiri langsung ke kamar tamu mengambil switer miliknya biar dia tidak masuk angin, kalau keluar malam. Dan tak lupa juga, dia mengambil tas kecilnya yang berisi dompet dan ponsel, siapa tahu di sana nanti dia lapar dan mau beli cemilan.

Ilham dan Akmal masih berdiri di tempat. Akmal mengambil remot dan mematikan televisi, sedangkan Ilham sedang menggunakan jaket biru navy pemberian ibunya. Jaket itu terlihat sudah lusuh, tetapi meskipun lusuh, itulah yang menjadi kenang-kenangan Ilham ketika bersama ibunya. Ia tidak mungkin menyimpannya atau membuangnya begitu saja.

Setelah semua sudah siap, mereka bertiga keluar dari rumah Reza dan mengunci pintu. Sedangkan pamannya sudah standby di dalam mobil sedari tadi. Beberapa menit kemudian, mereka semua masuk kedalam mobil. Ilham dan Adel masuk di bagian tengah sedangkan Akmal masuk di bagian depan, di samping ayahnya. Setelah sudah pasang selfbet, mobil pun melesat meninggalkan halaman rumah.

*****

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Malam ini terlihat cukup banyak orang yang berlalu lalang di sana. Mungkin karena sekarang adalah masa pancaroba jadi banyak orang yang terjangkit penyakit dan mereka harus berobat di rumah sakit.

Mobil yang dikemudikan Reza, berhenti di parkiran khusus roda empat, setelah mendapat intruksi dari tukang parkir rumah sakit. Setelah mobil benar-benar berhenti, mereka semua turun dan memperbaiki pakaian mereka yang kemungkinan sedikit kusut selama perjalanan.

Selepas itu mereka langsung masuk ke dalam rumah sakit dan mencari ruangan Ridwan. Mereka tidak lagi bertanya di bagian administrasi, karena Reza maupun Akmal sudah pernah ke sana untuk membesuk Ridwan sebelumnya.

Langkah mereka terhenti, pas di depan pintu Kamar Melati No. 119. Reza langsung mengetuknya, dan tak berapa lama Oma Laira datang menampilkan senyumannya yang sudah terlihat keriput. “Oh Reza sudah datang, silakan masuk,” ajak oma ramah dan mempersilakan anaknya beserta cucu-cucunya untuk masuk ke dalam.

Mereka bertiga masuk ke dalam. Adel langsung berjabat tangan dengan oma dan memeluknya erat, “Adel, kangen banget sama Oma. Oma apa kabar? Sehat-sehatkan?” tanya Adel di dalam pelukan omanya. Oma tersenyum dan mengangguk, pertanda bahwa dia sehat-sehat saja, “Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat, Sayang,” balasnya setelah anggukan.

“Cucu Oma udah besar, sudah siap hidup di Yogyakarta kan?” tanya oma setelah pelukan mereka terlepas. Adel yang mendengar itu hanya tersenyum lebar, dirinya tidak tahu apakah sudah siapa atau malah sebaliknya. Namun, apapun itu dirinya harus siap, karena sekarang dirinya sudah berpijak di kota itu, tidak mungkin ia kembali ke Bandung sendiri. Ilham dan seluruh orang yang di sana pun tidak akan memperbolehkannya. Itu sudah pasti.

Selanjutnya, Adel mengangguk pelan. “Oh iya, --“ Ucapan Adel terhenti ketika deheman disertai gerutu keluar dari mulut Ilham yang langsung membuatnya mendengkus sebal. “Ekhmm, lama banget sih, gue kan juga kangen sama oma,” ucap Ilham menggerutu.

Oma Laira tersenyum, “Oh iya, Oma lupa. Ternyata ada pangeran tampan di sini juga. Sini peluk Oma, Oma juga kangen sama kamu sayang,” ujar Oma mengangkat kedua tangannya, berniat memeluk cucunya yang tingginya mungkin hampir dua kali tingginya.

Tentu saja Ilham langsung merespon dan memeluk omanya dengan sedikit terbungkuk, “Ilham juga kangen sama Oma, Oma baik-baik kan di Yogya?” tanya Ilham kembali walaupun pertanyaan itu sudah di sampaikan oleh Adel beberapa menit yang lalu, tetapi kalau bukan Ilham yang mengatakannya maka itu belum sah, baginya.

Setelah pelukan penuh kerinduan di antara oma dan cucu, Adel dan Ilham langsung menghampiri papanya yang terbaring lemah di atas berangkar. Meskipun kondisi Ridwan masih drop, tetapi dia masih bisa tersenyum melihat anak-anaknya datang.

Reza pun mengampiri adiknya, dan menyimpan buah tangan yang sempat dibelinya di toko tadi, di atas nakas.

Adel dan Ilham bergantian mencium tangan papanya yang terlihat berurat itu. “Papa gimana? Masih ada yang sakit?” tanya Adel penuh dengan kecemasan. Memang yah, jiwa perempuan memiliki perhatian lebih dari laki-laki. Buktinya, setelah salaman dengan ayahnya, bukannya menyapa, Ilham langsung menghampiri oma dan Akmal yang sedang duduk di sofa. Tidak seperti Adel yang masih saja duduk di samping brangkar ayahnya, dan menanyakan kondisinya.

Ridwan mengangguk pelan disertai dengan matanya yang berkedip lemah, menandakan ia baik-baik saja. Penyakit jantung yang dialaminya, terakhir kali kambuh ketika perusahaannya drop beberapa tahun yang lalu, dan sekarang kambuh lagi akibat kehilangan sosok pendukung dalam hidupnya.

Kehilangan istri sekaligus ibu untuk anak-anaknya membuat kehidupan Ridwan terasa ada yang hilang. Belahan jiwa yang ia sayangi terasa lenyap dan membuatnya harus meratapi kepedihan yang nyata, hingga penyakit yang sudah lama tidak kambuh, kembali menghiasi tubuhnya yang saat ini semakin melemah.

Mungkin dahulu, proses pengobatan jantungnya masih lebih cepat, karena tingkat kekebalan tubuhnya masih baik-baik, tetapi sekarang sudah berbeda, dirinya sudah mulai tua renta yang membuat penyakitnya itu susah untuk diobati, karena fungsi organ dalamnya sudah banyak yang mengalami penurunan kinerja.

“Papa yang kuat yah. Aku dan Abang Ilham tetap ada untuk Papa,” ucap Adel menyemangati Ridwan dengan memperlihatkan kepalan tangannya, untuk menguatkan.

Ridwan tersenyum. Tak terasa air matanya mengalir deras di hadapan anaknya. Adel sedikit panik ketika melihat ayahnya menangis. “Pa, Papa kenapa?” tanyanya panik.

Ridwan menghadap ke langit-langit dan menggeleng pelan. “Tidak, Papa gak apa-apa. Papa hanya sedih, karena penyakit papa, tidak ada yang bisa menafkahi kalian lagi.”

Adel mengusap sisa air mata yang masih mengalir di pipi Ridwan. “Papa gak usah sedih, Papa juga gak usah khawatirin aku ataupun Abang Ilham. Aku dan Abang Ilham, bisa kok sekolah sambil cari penghasilan,” ucap Adel meyakinkan, walaupun dalam hatinya ia tidak tahu hal apa yang bisa membuat dirinya berpenghasilan, tetapi itu bisa di cari jalan keluarnya nanti. Yang terpenting saat ini, ayahnya tidak merasa terbebani, apalagi sedih. Karena itu bisa membuat penyakitnya semakin susah untuk sembuh.

“Jangan! Uang penjualan rumah, masih ada di rekening Papakan? Itu saja yang kalian gunakan, sampai papa benar-benar sembuh,” tolak Ridwan--tidak mau jika anaknya harus banting tulang untuk kehidupannya nanti.

Ilham yang sedari tadi memperhatikan percakapan mereka, langsung menghampiri papanya. “Pa! Papa gak usah sedih, apa yang di katakan Adel itu benar. Aku nanti bisa cari pengahsilan sambil kuliah kok Pa,” ucap Ilham menyetujui perkataan Adel.

“Tapi—“

“Pa! yang terpenting sekarang adalah kesehatan Papa. Kalau masalah kami, kami bisa minta bantuan sama Om Reza, iyakan Om?” tanya Ilham kepada Reza yang sedari tadi berdiri di samping brangkar.

“Iya, Wan. Selagi masih ada aku, kamu gak usah khawatir, aku akan menjaga keponakanku. Tenang saja, serahkan itu semua kepadaku,” ucap Reza berusaha meyakinkan Ridwan.

Melihat sorot mata Reza yang penuh ketulusan, Ridwan menghela napas lega. “Ya, sudah. Aku percaya kakak bisa menjaga mereka berdua. Kalian berdua, jangan banyak merepotkan pamanmu yah,” ingat Ridwan kepada anaknya dan langsung diangguki oleh keduanya.

“Kalau begitu, Papa istirahat sekarang, jangan berpikir macam-macam,” pinta Adel lalu bangkit untuk memperbaiki posisi tidur ayahnya dan menyelimutinya untuk memberikan kehangatan agar Ridwan cepat istirahat, soalnya di jam tangannya sekarang sudah menujukkan pukul 22:09 WIB.

Setelah Ridwan benar-benar memejamkan mata untuk berpetualang di alam mimpi. Mereka bertiga menoleh ke arah Akmal dan Oma Laira. Dan betapa terkejutnya, ketika melihat mereka sudah mendengkur pelan, dan tertidur dengan posisi berbelakangan.

Reza menepuk jidatnya pelan. Sudah pasti ibunya itu kelelahan karena sudah menunggui Ridwan di rumah sakit sejak pagi. Dan sialnya, dia lupa memberitahu Akmal untuk mengantar oma setelah dia sudah tiba di rumah sakit tadi.

Melihat situasi itu, Adel langsung angkat bicara, “Mendingan Om pulang saja, kasihan mereka. Kalau masalah Papa, biar aku dan Bang Ilham yang menemaninya untuk malam ini.”

Ilham mengangguk menyetujui usul adiknya, kasihan Oma Laira, dia pasti kecapekan pikir Ilham. Reza menghela napas disertai dengan bahunya yang terangkat--menandakan terserah Adel dan Ilham saja. Lagipula, dia tidak  mungkin menyuruh anaknya mengantar ibunya pulang, jika kondisi Akmal sudah seperti itu. Bisa bahaya nanti, jika Akmal yang mengemudikan mobil dalam keadaan mengantuk.

“Oke kalau begitu, Paman pamit dulu,” pamit Reza kepada kedua keponakannya, lalu menghampiri kedua manusia itu yang sedang terlelap dan membangunkannya secara paksa. Kemudian, dia mengajaknya untuk pulang, karena sudah larut malam.

Kedua kakak beradik itu hanya terseyum, menahan tawa yang seakan ingin meledak, ketika melihat oma dan sepupunya yang seperti zombi meninggalkan kamar itu.

_____________

TO BE CONTINUED

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status