Share

Blood Diamond Crown

"Hei, berhenti!" teriakan seorang satpam menciutkan nyali pria itu. Ditambah dengan dua tangan kekar yang menarik paksa tubuhnya hingga dia terjerembab ke belakang. Pria itu meringis kala sikunya mendarat di lantai parkir. Dia meraung dan meringkuk sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

"Bawa ke kantor saja, Din!" seru satpam tersebut.

"Atau kita bawa ke kantor polisi saja! Orang ini sudah membuat kericuhan," sahut rekannya yang lain.

"Jangan!" pria yang sedari tadi memejamkan matanya rapat-rapat itu berteriak dan terbelalak. "Tolong, jangan bawa saya ke kantor polisi," mohonnya.

"Kalau begitu, bawa ke kantor saja," tukas satpam yang sebelumnya sempat bercakap-cakap dengan pria itu.

Pria itupun bergerak pasrah saat dua orang berseragam satpam menyeretnya menuju kantor mall. Kepalanya tertunduk demi menghindari pandangan dari pengunjung lain.

"Silakan, pak," ucap salah seorang satpam ketika mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, namun tampak lengang. Hanya ada beberapa orang berseragam satpam di sana yang sepertinya tak begitu mempedulikan kehadiran mereka.

Pria itu mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan meja kerja. "Nama bapak siapa?" salah seorang satpam memulai interogasinya.

"Tolong hubungi putri saya," pria itu menunduk dalam-dalam, sama sekali tak menghiraukan pertanyaan yang telah dilontarkan.

"Saya tidak bisa menghubungi putri bapak kalau bapak tidak menyebut nama," tolak satpam itu.

Pria itu tampak berpikir sejenak, mengamati wajah dua orang di depannya secara bergantian. "Sa-saya Abizar, Abizar Ramdhan," jawabnya terbata. Dua pria berseragam itu saling berpandangan, lalu kembali memperhatikan pria bernama Abizar tersebut.

"Tolong, hubungi putri saya. Suruh dia untuk menjemput saya di sini," Abizar menyodorkan secarik kertas bertuliskan angka pada satpam tersebut.

"Baiklah, bapak tunggu sebentar di sini. Jangan kemana-mana atau akan saya laporkan polisi," tegas salah seorang satpam. Dia lalu keluar meninggalkan seorang rekannya yang tetap berjaga di sisi Abizar.

Lagi-lagi Abizar menunduk. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, lalu mulai terisak. "Bodohnya aku," gumamnya lirih.

Satpam yang berjaga di sampingnya itu mulai iba. Disentuhnya pundak Abizar pelan. "Sebenarnya ada masalah apa, pak?" tanyanya hati-hati.

Abizar menggeleng. "Pelik," jawabnya singkat.

"Sepelik apapun masalah, pasti ada jalan keluar. Jangan menyerah, pak. Apalagi bunuh diri. Ingatlah pada orang-orang yang menyayangi bapak. Betapa sedihnya mereka jika tahu bapak seperti ini," tutur satpam itu bijak.

Kalimat sederhana tersebut membuat Abizar tercenung. Dia mulai membuka wajahnya dan menatap satpam itu dengan pandangan sendu. "Saya takut mengecewakan putri saya. Hanya dia satu-satunya yang saya punya," ucapnya lirih.

"Kalau memang dia satu-satunya yang bapak punya, harusnya bapak tidak meninggalkan putri bapak. Apalagi sampai ditinggal bunuh diri," sahut pria itu santai dengan nada bicara setengah bercanda.

"Saya cuma lelah," balas Abizar. Matanya mulai berkaca-kaca kala mengingat wajah cantik putrinya.

"Sebenarnya bapak ada masalah apa? Boleh saya tahu?" selidik satpam itu. Dia yang tadinya berdiri di hadapan Abizar, kini memilih duduk di tepian meja. Wajahnya lurus menatap wajah Abizar.

Pria paruh baya itu terdiam memikirkan pertanyaan si satpam. Sekilas ia melirik nama bertulisan 'Fahmi' yang tersemat di bagian dada seragam satpam tersebut. "Mas Fahmi?" eja Abizar ragu-ragu.

"Ya, bapak bisa memanggil saya Fahmi. Itu nama saya," tutur satpam itu.

Abizar mengangguk, lalu kembali berpikir. "Sebenarnya saya mempunyai utang yang sangat banyak," Abizar memutuskan untuk bercerita. "Saya meminjam bank dalam jumlah yang sangat besar dan menjadikan rumah saya sebagai jaminan. Waktu itu saya tidak mengira jika bisnis saya gagal. Akhirnya saya kesulitan membayar pinjaman. Sekarang, pihak bank akan menyita semua aset yang sudah saya jaminkan, apalagi saya sudah menerbitkan surat pernyataan pailit. Saya sudah tidak punya apa-apa lagi," Abizar kembali terisak.

"Oh, jadi begitu," gumam satpam bernama Fahmi itu dengan raut yang sulit diartikan. "Jadi, permasalahannya adalah utang?" Fahmi mengangguk-angguk seraya mengusap dagu.

"Begitulah," sahut Abizar lesu. Untuk beberapa saat mereka terdiam, sampai Fahmi kembali berucap, "Kalau saya menawari bapak sejumlah uang, apa bapak bersedia?"

Abizar yang awalnya bagaikan bunga layu, segera mendongak dan menatap Fahmi dengan mata membulat. "Sebanyak apa?" tanyanya.

"Cukup banyak untuk membayar utang-utang bapak," seringai pria yang bertubuh agak tambun itu.

"Memangnya anda tahu, sebanyak apa utang saya?" Abizar menatap Fahmi penuh curiga.

"Saya tidak tahu jumlah utang bapak secara pastinya, tapi saya yakin tidak akan sebanyak harga yang ditawarkan oleh benda antik ini," Fahmi meraih ponsel yang berada dalam saku celananya. Dia menekan-nekan tombol pada ponsel lalu menyodorkannya kepada Abizar. Tampak gambar mahkota bertahtakan berlian merah yang terpampang jelas, memenuhi layar.

"Blood Diamond Crown, namanya. Mahkota ini adalah salah satu perhiasan paling mahal dan paling bersejarah. Usianya sudah ratusan tahun. Dulunya, mahkota ini adalah milik Ratu Inggris dari era Renaissance dan diwariskan turun temurun pada anggota kerajaan. Pada masa perang dunia pertama, ratu Inggris yang berkuasa kala itu, melelang mahkota ini untuk kemanusiaan bagi para korban perang."

"Seorang pria bernama Alexander Dawson berhasil memenangkan lelang. Mahkota itu akhirnya jatuh ke tangannya dan diberikan turun temurun pada anggota keluarganya. Sampai akhirnya, mahkota itu jatuh ke tangan Jonathan Dawson, cicit dari Alexander. Sayangnya, setelah menerima mahkota itu, Jonathan menghilang dari keluarganya dan tak ditemukan selama bertahun-tahun," Fahmi mengubah posisi duduknya. Dia mengambil kursi di dekatnya lalu duduk menghadap Abizar, kemudian melanjutkan ceritanya kembali.

"Ternyata, Jonathan mengubah identitasnya menjadi Theodore, Theodore Bresslin," sambung Fahmi. "Dia membawa mahkota itu kemanapun, bahkan saat memutuskan untuk tinggal di Indonesia."

"Lalu?" Abizar mulai tertarik mendengar cerita itu.

"Selama di Indonesia, Theodore Bresslin tinggal di rumah pak Baskoro Hirawan," lanjut Fahmi antusias.

"Baskoro Hirawan? Saya seperti pernah mendengar nama itu," Abizar mengernyitkan dahinya.

"Baskoro Hirawan itu adalah seorang kolektor benda-benda seni yang lumayan terkenal di negara kita, Pak. Dia sempat menghilang lima tahun yang lalu. Semua orang mengira dia meninggal, tapi ternyata dia cuma sembunyi di dalam rumah, tidak pernah keluar kemanapun," jelas Fahmi.

"Selama tiga tahun terakhir, Baskoro mulai sakit-sakitan. Saat itulah, Theodore Bresslin datang ke Indonesia dan mulai tinggal di rumahnya, sambil membawa mahkota itu tentunya," sambung Fahmi lagi.

"Dari mana pak Baskoro kenal dengan Theodore?" tanya Abizar.

"Saya sendiri tidak tahu dan tidak mau tahu. Yang jelas, mahkota itu tersimpan rapi di rumah pak Baskoro," bisik Fahmi lirih, sampai-sampai Abizar harus mendekatkan telinganya pada wajah satpam itu.

"Jadi, untuk apa anda bercerita tentang ini semua pada saya?"

"Untuk mengajak bapak ikut serta ke dalam misi," jawab Fahmi seraya menyeringai.

"Misi apa?" Abizar menggelengkan kepala. Dia makin tak mengerti atas kalimat pria di depannya itu.

"Bapak bantu saya mencuri mahkota dari rumah pak Baskoro. Sebagai imbalannya, saya akan membayar berapapun utang bapak di bank," tawar Fahmi.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status