"Menurut saya, itu bukan keputusan yang bijak," ucap Andaru hati-hati. "Secara hukum, pak Abizar berada pada posisi yang lemah. Dia menerobos masuk ke dalam properti pribadi seseorang tanpa izin. Bahkan pak Abizar juga sempat menyakiti salah seorang satpam rumah dengan menggunakan alat kejut listrik," sambungnya.
"Astaga," Sarah cukup terkejut mendengar penuturan Andaru. Sama sekali dirinya tak menyangka jika sang ayah sanggup berbuat nekat. Matanya berkaca-kaca menatap wajah tampan di depannya. "Kalaupun papa bersalah setidaknya jangan taruh dia di tempat seperti ini. Kesehatannya sudah menurun, apalagi usianya sudah tidak muda lagi," pinta gadis itu.
"Sudah saya sarankan, sebelumnya. Nona bisa meminta bantuan pengacara. Saya bisa membantu mencarikan pembela. Namun, syaratnya, anda harus diam dan menunggu," ujar Andaru.
"Menunggu, diam dan tidak melakukan apa-apa?" Sarah tak terima dengan saran yang diajukan oleh Andaru. "Sebagai seorang anak aku tidak mungkin membiarkan ayahku tersiksa seperti ini. Jalan apapun akan kutempuh untuk kebebasan ayahku!" tegasnya lagi. Gaya bahasa dan bicara sopan santun Sarah, hilang sudah. Yang ada hanyalah rasa sedih, kecewa dan amarah.
"Kalau Nona menolak bantuan dari saya, anda bisa mulai mencari pengacara untuk membantu ayahnya. Tersedia layanan bantuan hukum gratis jika anda tidak mempunyai biaya untuk sewa pengacara. Jadi, anda tidak perlu jauh-jauh pergi ke Bali dan menemui Tuan Bresslin," saran Andaru.
"Aku tidak mau ayahku menginap terlalu lama di tempat ini! Apalagi sampai disidang!" pekik Sarah sampai-sampai beberapa petugas polisi datang menghampiri dirinya di ruang sel tahanan.
"Ada apa ini, ribut-ribut?" tanya salah satu polisi itu ketus.
"Sudahlah, Nak. Pulanglah. Ayah akan pikirkan jalan keluarnya dari sini," tutur Abizar lemah. Dia masih tetap pada posisinya yang terduduk di lantai.
"Maafkan kami, Pak. Keluarga tersangka hanya sedikit lepas kendali," ujar Andaru menenangkan.
"Jika anda tidak bisa tenang, maka terpaksa akan kami usir," ancam polisi tersebut sebelum meninggalkan ruangan.
Sarah memegangi kepalanya dan berjalan mondar-mandir di depan sel. "Tidak! Tidak!" dia menggeleng beberapa kali. "Aku tidak akan menyewa pengacara karena papa tidak boleh disidang!" tegasnya.
"Astaga, jangan terlalu keras kepala, Nona," Andaru mulai sedikit kehilangan kesabaran. "Anda tidak tahu seperti apa Tuan Bresslin. Jangan harap anda bisa bernegosiasi dengan mudah."
"Aku tidak peduli! Apapun resikonya biar aku yang menanggung. Sekarang katakan di mana alamatnya! Aku harus bicara padanya sekarang juga!" desak Sarah.
"Dengan cara apa anda akan pergi ke Bali? Lagipula, setelah sampai di Bali, apa anda yakin Tuan Bresslin bersedia menemui anda? Saya hanya mengingatkan, Nona. Jangan membuang waktu anda percuma," tutur Andaru. Kali ini dia harus sering-sering mengambil napas panjang agar emosinya tetap terjaga.
"Sudah kubilang, apapun resikonya, akan kutanggung!" setengah menengadah, Sarah memandang tepat ke iris mata gelap Andaru.
"Pak Andaru benar, Nak. Kamu mau naik apa ke sana?" dengan sisa kekuatannya, Abizar mencoba mencegah ide gila putrinya.
"Papa tidak perlu memikirkan hal itu. Sarah punya banyak teman yang bersedia membantu. Asalkan pak Andaru yang terhormat ini mau memberitahukan alamat rumah Tuan Bresslin," setelah berfokus pada Abizar, Sarah kembali melayangkan tatapannya pada Andaru yang tengah mengempaskan napasnya pelan.
"Baiklah, tunggu sebentar, Nona Sarah yang baik. Saya akan memberitahukannya dulu pada Tuan Bresslin, supaya perjalanan anda tidak sia-sia jika ditolak," ucap Andaru setengah mengejek. Pria itu lalu melangkah menjauh dari Sarah dan mulai melakukan panggilan telepon kepada seseorang. Terlihat sesekali dia mengangguk lalu bergumam sesuatu yang tidak dapat Sarah dengar.
Sesaat kemudian, Andaru menoleh pada Sarah dan berjalan mendekatinya. "Tuan Bresslin ingin bicara," dia menyodorkan ponselnya pada Sarah.
Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung saja meraih ponsel itu secara kasar dan menempelkannya di telinga.
"Saya mau ayah saya dibebaskan! Sudah jelas-jelas dia juga menjadi korban, tapi kenapa anda tetap memenjarakannya. Apakah itu semua karena anda merasa sangat berkuasa? Kaya raya? Sehingga dengan mudahnya menindas orang-orang lemah seperti saya dan ayah saya, hah?!" maki Sarah tanpa ragu.
"Ya, ampun!" Andaru begitu terkejut dengan sikap Sarah. Buru-buru dia merebut ponsel dari tangan Sarah. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi di udara ketika Sarah tak menyerah dan berniat merebut kembali ponsel itu. "Tolong jangan bikin hidup saya susah, Nona. Astaga, mimpi apa aku semalam," keluh Andaru.
"Bawa sini, cepat!" Sarah tak putus asa. Dia melompat untuk meraih benda pipih itu, namun gagal.
Andaru mundur beberapa langkah sambil berusaha berbicara dengan bosnya. "Halo, Sir? Maafkan atas ketidaksopanannya. Keluarga tersangka sepertinya sedang depresi. Tolong dimaklumi, Sir," kilahnya. Setelah itu, Andaru menampakkan ekspresi yang begitu aneh. Setengah melotot, pria jangkung itu terdiam mematung. "Baik, Sir," ucapnya lirih, lalu mengakhiri panggilan.
"Tuan Bresslin ingin bicara dengan Nona Sarah. Dia menunggu anda sekarang," ujar Andaru dengan raut tak percaya.
"Sekarang?" ulang Sarah yang juga tak percaya. Dia menoleh pada sang ayah yang juga keheranan."Bagaimana? Saya tidak punya banyak waktu," tawar Andaru tak sabar.Sarah mengangguk ragu. Dia tak punya pilihan lain selain mengiyakan. Akhirnya, setelah berpamitan pada Abizar, Sarah mengikuti langkah cepat Andaru menuju area parkir. Pria tampan itu mengemudikan kendaraannya entah kemana. Sedikit was-was, Sarah bertanya padanya, "Kita mau kemana? Terus mobil saya bagaimana?""Gampang. Aku akan menyuruh anak buahku memarkirkan mobil kamu ke dalam garasi pak Baskoro," jawab Andaru tenang. Tak ada lagi gaya bahasa formal dari pria itu. Sejak mendapat telepon dari bosnya, raut Andaru berubah tegang."Lalu, kuncinya?" Sarah menyodorkan kunci mobil, lalu mempermainkannya dengan telunjuk."Tanpa kuncipun sebenarnya mobil tetap bisa menyala," jawab Andaru datar."Maksudnya? Kalian menyabotase mobilku, begitu?" Sarah menautkan alisnya sebagai tanda tak setuju.Andaru melirik sekilas, kemudian terse
Sarah mengikuti langkah Andaru memasuki teras villa kemudian melintasi ruang tamu dan berjalan lurus ke bagian belakang villa. Sementara Theodore telah berjalan memasuki villanya lebih dulu dan menghilang entah kemana. Andaru membawa Sarah ke sebuah bangku taman yang terletak tepat di samping pintu masuk menuju halaman belakang. Suasana terasa begitu sepi untuk villa sebesar ini, membuat Sarah cukup merinding. "Kenapa tidak ada orang di sini?" tanya Sarah setengah berbisik."Kamu pikir saya dan bos saya bukan orang?" jawab Andaru dengan nada kesal. "Dengar, ya! Nanti kalau Tuan Bresslin bicara tentang apapun, tolong jangan dibantah! Kamu cukup mengangguk dan mengiyakan!" titahnya."Saya di sini ingin bernegosiasi. Kalau tidak boleh membantah, percuma dong, saya ke sini," sanggah Sarah.Andaru mengusap wajahnya kasar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nona Sarah, saya mengajak anda kemari, itu dengan usaha saya. Itu artinya, saya sudah bekerja keras hingga a
Sarah mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebisa mungkin dia tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, bongkahan emosi yang mengendap di dadanya, jauh lebih besar dari yang dapat dia tahan. "Ternyata, selain angkuh, anda juga tidak waras!" caci Sarah.Merah padam muka Theo mendengar hal itu. Seumur hidup, hanya ada dua perempuan yang tak bisa tunduk di hadapannya, yaitu Aruni dan gadis cantik beriris mata gelap di depannya ini. "Katakan sekali lagi?" geram Theo."Saya menolak! Anda tidak waras!" sentak Sarah dengan wajah menengadah, seakan menantang Theo."Hmm, baiklah! Kau sudah menentukan jalanmu! Mulai detik ini, jangan lagi memikirkan tentang ayahmu, karena dia akan membusuk di penjara!" ancam Theo.Gemetar seluruh tubuh Sarah mendengar hal itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki, harus kehilangan kebebasannya dengan cara yang teramat mengenaskan. Gadis itu kembali berniat membuka mulutnya, tapi Theo lebih dulu bersuara."Andaru!" teriak
Sarah harus menarik napas panjang-panjang dan membuangnya perlahan demi menetralkan perasaan dan pikiran rumit yang berkecamuk. "Haruskah saya memohon pada pelapor juga?" tanyanya lesu."Jelas! Apalagi kasus ayah anda ini termasuk pencurian besar. Barang yang hendak dicuri adalah benda antik bernilai seni tinggi. Harganya bisa mencapai puluhan milyar," terang polisi tersebut.Sarah setengah mendongak, lalu memijit dahinya. "Kalau pihak pelapor tidak memberi ijin, bagaimana?""Dengan terpaksa, ayah anda tidak bisa keluar dari sel ini sampai berkas-berkasnya dipindahkan ke kejaksaan. Kecuali anda memiliki pengacara yang bisa bernegosiasi. Apakah anda sudah memiliki pengacara?" polisi itu balik bertanya.Sarah menggeleng pelan. Mungkin sekarang waktunya dia kembali meminta tolong pada Andaru. Beruntung saat di pesawat, dia sempat meminta nomor telepon pria tampan itu.Butuh beberapa menit lamanya sampai Andaru menerima panggilan. Sarah memaklumi hal itu karena dia menghubungi pada waktu
"Sekarang, kemasi barangmu. Tuan Bresslin sudah menunggu," Andaru menepuk pundak Sarah pelan, lalu mengarahkannya keluar. "Tunggu!" Sarah memaksa untuk bergeming di tempatnya. "Kenapa lagi?" Andaru menghela napas panjang dan memandang Sarah penuh tanda tanya. "Apa tidak boleh aku berpamitan pada Papa, sebentar saja," nada suara Sarah begitu memelas. "Menurut kesepakatan, kamu tidak boleh bertemu dengan ayahmu sampai dia berhasil membayar ganti rugi. Anggap saja itu sebagai penyemangat pak Abizar untuk terus berusaha," kilah Andaru yang mulai terlihat tak sabar. "Ayo!" ujarnya setengah memaksa. Tak ada alasan lagi bagi Sarah untuk menolak. Satu-satunya yang bisa dia lakukan sekarang adalah menuruti semua perkataan Andaru. Dia sama sekali tak berkomentar ketika mobil Andaru berhenti di depan rumahnya. Tanpa bersuara, Sarah segera masuk ke dalam rumah dan berkemas dalam waktu secepat mungkin. Satu koper besar beroda dia seret keluar dan Sarah masukkan ke dalam bagasi mobil Andaru. H
Sarah tampak kebingungan menentukan arah. Villa itu begitu besar dengan banyak lorong dan cabang. Kadang, Sarah salah berbelok hingga akhirnya dia tiba di dapur atau ruangan kosong tanpa perabotan apapun. Gadis itu bergidik ngeri ketika pikiran buruknya menghampiri. Mungkin saja Theodore Bresslin adalah seorang penjahat yang bersembunyi di tempat terpencil, sehingga dia dapat dengan leluasa menyembunyikan jejak-jejak kejahatannya."Kamarmu berada di lantai dua! Naiklah tangga, lalu belok kiri. Kamarmu tepat berada di ujung!" suara Theo nyaring terdengar dari pengeras suara yang terpasang di sebelah kamera pengawas yang terdapat di tiap sudut ruangan.Sarah kembali menyeret kopernya ke lantai dua dan mengikuti petunjuk dari Theo. Sebelum memasuki kamar, gadis itu sempat menatap ke arah kamera pengawas yang terpasang di sudut pintu, lalu menggeleng pelan.Setelah meletakkan koper begitu saja di sisi ranjang, Sarah lalu duduk di tepian sembari meraih ponselnya. Seg
Sedikit terkejut, Sarah menoleh ke asal suara. Dilihatnya pria berambut gondrong itu berjalan pelan ke arahnya. "Masak sederhana saja," jawab Sarah malas-malasan sambil kembali fokus pada sayuran di depannya."Hmm," pria jangkung itu berpindah ke sebelah Sarah, lalu bersandar pada meja dapur dan bersedekap. "Memasaklah sedikit lebih banyak, aku juga ingin mencicipi masakanmu."Sarah tak menjawab. Tangannya cekatan menumis dan memasukkan bumbu-bumbu. Sementara tangan lainnya lihai menggoreng beberapa potong ayam. Tak sampai satu jam, hasil karyanya sudah siap dan dia hidangkan ke atas meja."Di mana peralatan makannya?" Sarah kebingungan mencari letak piring dan sendok di dapur luas itu."Di dalam kabinet," Theodore mengarahkan telunjuknya ke arah atas kepala Sarah, lalu mengambil tempat di salah satu kursi makan.Setelah menemukan tempat yang dimaksud, Sarah segera mengambil peralatan makan dan menatanya dengan rapi di atas meja.Sarah juga
"Seorang tahanan tak pernah memasak sendiri, apalagi memasak untuk sipir," balas Sarah seraya menyeringai. Dia merasa bangga karena berani menyentil Theo.Lain halnya dengan Theodore yang semakin merah padam. Dia memilih untuk tidak menanggapi celotehan Sarah. Dia hanya diam sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celana, lalu menariknya sebatang menggunakan bibir.Theo tak memedulikan Sarah yang terus memperhatikan dirinya. Dia malah maju mendekati gadis yang tetap duduk terpaku di tempatnya itu sambil menyalakan rokok. Theo mencondongkan tubuhnya, lalu mengepulkan asapnya tepat ke wajah Sarah hingga gadis itu terbatuk. "Sekarang waktunya jam malam. Tahanan harus masuk ke kamar, atau akan menerima konsekuensi!" tegas Theo dengan raut wajah datar."Memangnya apa konsekuensinya?" alih-alih takut, gadis itu malah mendongak, seakan menantang pria rupawan di depannya."Apapun yang tidak kau sukai," giliran Theo yang menyeringai sambil terus memang