Share

Path to Nowhere

"Bisa saya jelaskan sambil jalan?" Andaru mengarahkan Sarah menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi pagar.

"Sa-saya membawa kendaraan sendiri!" tolak Sarah.

"Tidak apa-apa. Anda tinggalkan kendaraannya di sini. Nanti saya antar kembali kemari," bujuk Andaru.

Setelah berpikir agak lama, akhirnya Sarah menyetujui ajakan pria yang masih asing baginya itu. Dia mengikuti langkah Andaru dan memasuki mobil yang posisinya tepat di depan mobilnya. Sarah duduk di samping kursi kemudi.

Setelah menyalakan mesin dan menjalankan kendaraannya, Andaru memulai penuturannya, "Ayah anda tertangkap telah memasuki rumah mendiang Pak Baskoro tanpa ijin. Pak Abizar bahkan telah melukai salah seorang penjaga."

Bagaikan tersambar petir, Sarah melotot dengan raut yang sarat akan emosi. "Ayah saya tidak mungkin berbuat seperti itu!" tegasnya.

"Sayangnya, memang iya. Meskipun mereka berhasil merusak beberapa kamera CCTV, tapi sudah banyak saksi mata yang memergoki ayah anda masuk ke ruang tengah," sanggah Andaru.

Sarah mendesah pelan. Kalut, malu dan segala perasaan negatif memenuhi dadanya hingga terasa sesak. Ditutupnya wajah dengan kedua tangan. Terdengar isakan pelan dari balik muka yang tertutup itu.

"Tenang, Nona. Nanti akan saya pertemukan dengan ayah anda. Mungkin ayah anda bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya," hibur Andaru. Ragu, dia menepuk-nepuk pundak Sarah.

Tangis Sarah tak berhenti sampai dia tiba di kantor polisi dan bertemu dengan ayahnya yang berada di balik jeruji besi. "Kenapa, Pa?" hanya itu yang bisa dia ucapkan pada akhirnya. Kata-kata yang sudah Sarah rangkai sejak berada di dalam kendaraan, menguap sudah.

Abizar yang awalnya duduk di kursi besi yang menempel di dinding ruang sel, kini berjalan mendekati putrinya dengan tatapan tertegun bercampur sorot tak percaya. "Sarah," hanya satu kata itu yang mampu dia ucapkan.

"Apa papa tidak kasihan dengan Sarah?" lesu nada suara gadis itu.

"Justru karena papa kasihan padamu, Nak. Papa sampai harus melakukan segala cara agar kita tidak hidup terlunta-lunta. Jika papa tidak melunasi utang sesuai tenggat waktu, kita akan kehilangan rumah dan segala kenangan tentang ibumu," tutur Abizar penuh penekanan.

"Cara yang Papa lakukan ternyata tidak berhasil," timpal Sarah lirih. "Malah masuk penjara. Lagi-lagi Sarah harus berjuang sendiri," imbuhnya seraya menggelengkan kepala pelan.

"Dengar, Nak. Papa dijebak. Dari awal, sepertinya orang-orang itu sengaja menjadikan papa sebagai umpan," bisik Abizar lirih. Tangannya mencengkeram erat jeruji.

"Orang-orang siapa?" balas Sarah tak kalah lirih.

Dengan isyarat tangan, Abizar menyuruh Sarah untuk mendekatkan telinganya. "Kamu masih ingat, kan? Satu orang satpam yang menemani papa saat kamu menjemput papa di Mall siang itu?" tanyanya.

"Iya ..." jawab Sarah ragu. "Yang agak gemuk itu?"

Abizar mengangguk cepat, "Dia otak pelakunya!"

"Kalau begitu, kenapa Papa tidak katakan saja pada mereka!" protes Sarah dengan nada yang meninggi.

"Sst," Abizar menempelkan telunjuknya di bibir. "Papa sudah mengatakan semuanya pada mereka, tapi itu tidak berarti papa bisa dilepaskan dengan mudah," lanjutnya.

"Ayah anda harus tetap bertanggung jawab atas segala kerusakan dan semua kerugian," potong Andaru yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Sarah.

Sarah segera menoleh pada Andaru dan melotot. Sejenak, pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu terpana akan bola mata indah milik Sarah.

"Anda dengar sendiri, kan? Ayah saya dijebak. Dia hanya dimanfaatkan oleh orang-orang itu!" seru gadis itu. Sementara telunjuknya mengarah lurus pada Andaru.

"Saya tahu itu, tapi tidak demikian dengan yang diinginkan oleh Tuan Bresslin, sang pemilik rumah," jelas Andaru dengan nada tenang.

"Apa maksudnya?" Sarah berdiri tegak sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Tuan Bresslin tetap menganggap ayah anda sebagai bagian dari komplotan pelaku. Ayah anda akan mendapat perlakuan yang sama dengan orang-orang itu. Apalagi pak Abizar sempat menyetrum salah seorang penjaga rumah hingga tak sadarkan diri. Belum lagi pasal memasuki kediaman orang lain tanpa ijin," terang Andaru.

Sarah tak mampu berkata-kata. Wajahnya berubah murung seketika. "Apakah itu artinya ..." dia tak mampu melanjutkan kata-kata.

"Iya, ayah anda akan dituntut hukuman penjara," lanjut Andaru pelan.

Tangis Sarah pecah saat itu juga. Demikian pula Abizar. Pria itu merosot dan terduduk di lantai sel. Alih-alih mendapatkan uang untuk melunasi tagihan bank, dia malah terancam kehilangan kebebasannya.

"Siapa sih, bosmu?" tiba-tiba Sarah bertanya dengan nada sinis.

"Maaf?" Andaru memajukan badannya dan mengernyit.

"Siapa nama bosmu? Kenapa dia kejam sekali memperlakukan ayahku. Apa kamu tidak lihat? Ayahku sudah tua!" tunjuk Sarah. Sorot mata indahnya terlihat berapi-api.

"Harusnya ayah anda memikirkan hal itu sebelum berbuat sesuatu yang melanggar hukum," jawab Andaru. Sikapnya tetap terlihat tenang dan ramah.

"Aku ingin bicara langsung dengan majikanmu!" tegas Sarah.

"Sayangnya itu tidak mungkin, Nona. Tuan Bresslin sudah kembali ke Bali, pagi-pagi tadi," jelas Andaru.

"Kalau begitu, aku akan menyusulnya ke Bali!" pungkas Sarah. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya tanpa berpikir resiko yang mungkin dia hadapi ke depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status