"Papa," panggil seorang gadis. Suaranya terdengar lembut dan merdu.
Abizar menoleh dan melihat putrinya datang bersama satpam yang tadi meninggalkan ruangan lebih dulu.
"Sarah!" Abizar segera berdiri dan menyambut pelukan sang putri.
"Tolong jaga ayahnya ya, Dik. Jangan biarkan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti yang saya ceritakan tadi," tutur satpam tersebut.
Wajah gadis itu berubah murung. Dia mengurai pelukan ayahnya, lalu mengangguk pada sang satpam. "Terima kasih untuk semuanya, Pak. Terima kasih sudah menyelamatkan nyawa ayah saya," ucapnya sebelum berlalu dari ruangan itu.
"Pak, jangan lupa nasihat saya," ujar Fahmi seraya menyodorkan secarik kertas pada Abizar. Sekilas pria itu melirik deretan angka yang tertulis di atasnya.
Abizar tersenyum samar pada Fahmi dan salah seorang satpam yang lain. Begitu putrinya yang bernama Sarah. Setelah itu, senyuman si gadis bernama Sarah, mulai memudar. Sejak dia membantu ayahnya memasuki mobil, menyetir mobil, hingga kendaraan yang mereka tumpangi tiba di halaman rumah peninggalan mendiang ibunya.
"Ayo, turun, Pa," ucap Sarah lesu.
"Sarah," Abizar meraih tangan putrinya yang sudah bersiap membuka pintu mobil. "Maafkan papa. Papa benar-benar bingung," suaranya terdengar memelas.
"Setidaknya papa bisa mengajak Sarah berbicara dan bukannya mengambil keputusan sendiri seperti ini. Bagaimana kalau tidak ada satpam yang mencegah papa? Bagaimana kalau papa meninggalkan Sarah? Sarah sudah tidak punya siapa-siapa lagi," tutur Sarah pelan.
"Papa tidak ingin kehilangan rumah dan semua peninggalan mamamu, karena hanya itu kenangan yang papa punya," sahut Abizar.
"Kalau begitu, kita cari jalan keluarnya bersama-sama, Pa. Sarah akan berusaha mencari uang, meminjam uang, atau apapun itu, asalkan bisa melunasi seluruh utang papa," tegasnya sebelum keluar dari kendaraan.
Tinggallah Abizar yang termenung sendiri di dalam mobil. Dia mulai memikirkan tawaran Fahmi, pria yang baru saja dikenalnya. Malaikat dan iblis berperang di dalam kepala dan hatinya. Pada akhirnya, malaikat kalah. Abizar memutuskan untuk menerima ajakan Fahmi.
Buru-buru ia keluar dari dalam mobil dan mengejar Sarah yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. "Sarah!" serunya sambil mencari sosok putrinya yang ternyata tengah memasak sesuatu di dapur.
"Papa pinjam ponselnya sebentar," pinta Abizar sembari mengulurkan tangannya pada Sarah.
"Untuk apa?" Sarah mengernyit curiga.
"Ada seseorang yang harus papa hubungi. Penting sekali, Nak," setengah memohon, Abizar berdiri di hadapan Sarah. Dia teringat akan ponselnya yang sudah hancur tak berbentuk ketika akan melompat dari lantai teratas tempat parkir.
Tanpa kata, Sarah memberikan ponselnya begitu saja pada Abizar, lalu kembali melanjutkan memasak. Diam-diam, Abizar berlalu menuju kamarnya dan memencet satu persatu nomor yang tertera di atas kertas yang sedari tadi dia genggam.
Tak membutuhkan waktu lama bagi pemilik nomor ponsel itu untuk mengangkat panggilan dari Abizar. Dua kali nada dering, terdengar sapaan suara pria yang berat dan dalam dari seberang sana. "Halo? Dengan siapa ini?" tanya pria itu.
"Ah, itu, sa-saya Abizar. Mas Fahmi yang memberikan nomor anda pada saya," jawabnya terbata.
"Oh, anda anggota baru itu, ya?" tanya pria itu lagi.
"Anggota baru?" Abizar balik bertanya. Sesungguhnya dia bingung harus berkata apa.
"Abizar?" sebut pria itu. "Anda Abizar, bukan? Fahmi menceritakan semuanya pada saya," jelasnya lagi.
"Iya, betul sekali! Saya ..."
"Bagus, besok pagi, anda datang ke titik yang akan saya bagikan lokasinya sebentar lagi! Saya jamin anda tidak akan menyesal untuk turut dalam misi ini!" potong pria itu dengan berapi-api, lalu menutup teleponnya begitu saja.
Abidzar memandang layar ponsel yang mulai meredup itu. Sorot matanya kosong ketika hatinya kembali berperang. Di satu sisi, dia membutuhkan uang untuk menyelamatkan rumah yang menjadi satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Sementara di sisi lain, dia tak rela menjadi seorang pencuri, mengambil hak milik orang lain.
"Pa, makan siang sudah siap," ucap Sarah yang membuyarkan lamunan Abizar. Gugup, pria paruh baya itu berdiri sembari mendekap ponsel milik Sarah, lalu berjalan mengekori putri satu-satunya tersebut.
"Papa pinjam ponselmu dulu, ya," ujar Abizar setelah duduk di meja makan.
"Pakai saja, Pa. Asalkan nanti kalau ada pesan masuk dari bu Silvia, papa bisa langsung beritahu Sarah," sahutnya.
"Memangnya siapa itu bu Silvia?" Abizar mengernyit dan menegakkan punggung.
"Kepala staf personalia yang tadi pagi mewawancarai Sarah untuk sebuah lowongan pekerjaan," jawab Sarah dengan tangan yang sibuk menata peralatan makan dan masakan di atas meja.
"Kamu melamar kerja di mana?" setetes perih Abizar rasakan saat putrinya mati-matian berusaha mencari kerja. Selama yang Abizar ingat, Sarah tak pernah sekalipun mengecewakan dirinya. Sejak kecil, putri semata wayangnya itu selalu mempersembahkan prestasi akademik yang luar biasa untuk orang tuanya, hingga lulus kuliah dengan predikat sangat memuaskan.
"Makan dulu, Pa. Jangan melamun terus," tegur Sarah pelan.
Abizar yang terkesiap, segera tersenyum dan meraih sendoknya. Akan tetapi, belum sempat ia memasukkan makanan ke dalam mulut, ponsel Sarah kembali berbunyi. Buru-buru Abizar memencet layar dan membuka pesannya.
Nomor tak dikenal itu menuliskan sebuah alamat rumah, kemudian satu tambahan pesan di bawahnya.
'Perubahan rencana. Berkumpul di alamat di atas, setengah jam lagi.'
Abizar memandangi layar kemudian wajah putrinya secara bergantian. Ragu-ragu ia ingin menyampaikan sesuatu pada Sarah.
"Kenapa lagi, Pa?" celetuk Sarah. Gadis itu seakan dapat merasakan kegundahan yang dialami oleh sang ayah.
"Eh, anu, itu ..." Abizar tergagap. Dia lalu meraih segelas air dan meneguknya. "Papa ada janji dengan seorang teman, setengah jam lagi. Ponselmu papa bawa. Boleh, ya?" pintanya.
"Papa boleh pergi kemanapun, asalkan Sarah yang mengantar. Sarah tidak mau kecolongan lagi," tegasnya.
Melihat raut muka serius Sarah, Abizar paham bahwa dia tidak mungkin menolak keinginan putrinya. Diapun segera menghabiskan makanannya dan bersiap-siap. Sementara Sarah sigap meraih kunci mobil. Tak berapa lama, ayah dan anak itu meninggalkan rumah mereka dan meluncur ke alamat yang telah disebutkan di dalam pesan.
Sebuah kawasan perumahan yang baru saja selesai dibangun menjadi tujuan mereka saat ini. Di sepanjang jalan masuk, beberapa rumah masih tampak setengah jadi. Suasana jalanan relatif sepi, karena perumahan itu sebagian besar belum berpenghuni.
Sarah menginjak pedal rem, tatkala ekor matanya menangkap nomor rumah bertuliskan G-37. "Ini 'kan rumahnya?" tanyanya memastikan.
Abizar mengangguk sambil tersenyum samar. "Betul," jawabnya singkat sebelum membuka pintu mobil dan berdiri di depan pagar. Mata tuanya awas mengamati beberapa orang pria bertubuh tinggi dan tegap, berseliweran di halaman dan teras rumah yang cukup luas itu, sampai salah satu dari mereka menyadari kehadiran Abizar dan Sarah.
Salah seorang pria itu kemudian menghampiri Abizar dengan memasang muka garang. "Ada perlu apa? Cari siapa?" cecarnya.
Abizar menjawabnya dengan mengarahkan layar ponsel pada pria itu. Dia menunjukkan pesan masuk yang dia terima beberapa waktu lalu.
"Anda Abizar?" selidik pria itu sambil mengernyitkan dahi.
"Iya, saya Abizar," dia mengangguk cepat, lalu menoleh pada Sarah yang kini sudah berdiri di sampingnya.
Pria itu membuka gembok pagar yang terbuat dari besi bercat hitam itu. "Hanya Abizar yang boleh masuk. Yang tidak berkepentingan, silakan tunggu di sini!" cegah pria itu sambil setengah mendorong tubuh Sarah, hingga gadis itu terhuyung mundur beberapa langkah.
"Hei, jangan kasar!" sentak Abizar yang tak terima putrinya diperlakukan demikian.
Pria itu melotot tajam pada Abizar, lalu beralih pada Sarah yang mulai menunjukkan mimik ketakutan. "Kita pulang saja, Pa," rengek Sarah lirih.
"Pulang?" sela pria itu. "Tak ada yang bisa pulang setelah mendapatkan pesan dari bos besar!" tegasnya.
Sarah terpaksa menunggui ayahnya di luar rumah dua lantai di kawasan permukiman yang masih terbilang sepi itu. Was-was, dia melemparkan pandangan ke sekitar. Sejak tadi, tak ada satupun kendaraan yang melewati jalan utama perumahan ini. Sarah benar-benar merasa sendiri saat itu.Hingga ekor matanya menangkap sebuah mobil SUV hitam yang terparkir di hadapannya. Sekilas, Sarah melihat sebuah pergerakan seseorang atau sesuatu di dalam mobil itu. Namun, dia tak dapat memastikan bahwa yang dia lihat adalah benar adanya.Di tengah kegamangannya itu, terdengar ketukan kencang di kaca jendela mobilnya. Sarah terkejut sampai berjingkat. Dia mengelus dada, menetralkan debar jantungnya yang bergemuruh tatkala menyadari bahwa ayahnya lah yang telah mengetuk jendela di sampingnya itu."Buka pintunya, Sarah," pinta Abizar.Dengan segera, Sarah membuka pintu mobil dan membiarkan ayahnya duduk di samping kursi kemudi. "Sudah selesai, Pa?" tanyanya."Sudah, kita pulang," jawab Abizar singkat. Setelahn
Hening terasa. Mata Abizar terpejam, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara detik jarum jam dinding yang entah berada di sebelah mana. Berat rasanya dia membuka kelopak mata. Deru napasnya terdengar cepat dan terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bagaikan ditikam ribuan belati. Parahnya lagi, tubuhnya seolah terikat, tak mampu dia gerakkan. Tiba-tiba kepalanya terasa basah. Seseorang sepertinya dengan sengaja menyiramkan air kepadanya. Air itu bahkan memasuki hidung, membuat Abizar makin kesusahan bernapas. Abizar terbatuk pelan, makin lama makin kencang sampai-sampai dadanya sesak."Bangun, Bodoh!" seru seseorang. Abizar yakin, seruan itu diperuntukkan baginya. Susah payah dia berusaha membuka mata. Pandangan yang awalnya mengabur, perlahan mulai terang dan jelas. Seorang pria asing berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang nan mengerikan. Rambut gondrongnya menutupi sebagian wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Iris mata coklat teran
Sarah terbangun ketika alarm digitalnya berbunyi nyaring. Sambil memicingkan mata, dia mengulurkan tangan dan memencet tombol di bagian atas alarm. Sekilas dia melihat jam menunjukkan pukul lima pagi. Sebenarnya Sarah masih merasa lelah dan mengantuk, tapi dia tetap memaksakan bangun. Semenjak ibunya meninggal, dialah yang bertugas untuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk sang ayah. Apalagi Abizar terbiasa bangun pagi-pagi sekali.Sarah menguap dan meregangkan tubuh di tepi tempat tidur sebelum beranjak keluar kamar dan menuju dapur. Dilihatnya kamar sang ayah masih tertutup rapat. Diapun melanjutkan aktivitasnya menyeduh kopi serta membuat sarapan sederhana. Sampai satu jam kemudian, hidangan untuk dirinya dan papanya sudah tertata rapi di meja makan. Begitu pula secangkir kopi panas dan teh.Sarahpun berlalu ke kamar Abizar. Pria paruh baya itu tak terlihat hendak keluar. Sesuatu yang tak biasa, mengingat sang ayah tak pernah bangun siang. Setitik rasa khawatir kembali muncul di d
"Bisa saya jelaskan sambil jalan?" Andaru mengarahkan Sarah menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di sisi pagar."Sa-saya membawa kendaraan sendiri!" tolak Sarah."Tidak apa-apa. Anda tinggalkan kendaraannya di sini. Nanti saya antar kembali kemari," bujuk Andaru.Setelah berpikir agak lama, akhirnya Sarah menyetujui ajakan pria yang masih asing baginya itu. Dia mengikuti langkah Andaru dan memasuki mobil yang posisinya tepat di depan mobilnya. Sarah duduk di samping kursi kemudi.Setelah menyalakan mesin dan menjalankan kendaraannya, Andaru memulai penuturannya, "Ayah anda tertangkap telah memasuki rumah mendiang Pak Baskoro tanpa ijin. Pak Abizar bahkan telah melukai salah seorang penjaga."Bagaikan tersambar petir, Sarah melotot dengan raut yang sarat akan emosi. "Ayah saya tidak mungkin berbuat seperti itu!" tegasnya."Sayangnya, memang iya. Meskipun mereka berhasil merusak beberapa kamera CCTV, tapi sudah banyak saksi mata yang memergoki ayah anda masuk ke ruang tengah," sangg
"Menurut saya, itu bukan keputusan yang bijak," ucap Andaru hati-hati. "Secara hukum, pak Abizar berada pada posisi yang lemah. Dia menerobos masuk ke dalam properti pribadi seseorang tanpa izin. Bahkan pak Abizar juga sempat menyakiti salah seorang satpam rumah dengan menggunakan alat kejut listrik," sambungnya."Astaga," Sarah cukup terkejut mendengar penuturan Andaru. Sama sekali dirinya tak menyangka jika sang ayah sanggup berbuat nekat. Matanya berkaca-kaca menatap wajah tampan di depannya. "Kalaupun papa bersalah setidaknya jangan taruh dia di tempat seperti ini. Kesehatannya sudah menurun, apalagi usianya sudah tidak muda lagi," pinta gadis itu."Sudah saya sarankan, sebelumnya. Nona bisa meminta bantuan pengacara. Saya bisa membantu mencarikan pembela. Namun, syaratnya, anda harus diam dan menunggu," ujar Andaru."Menunggu, diam dan tidak melakukan apa-apa?" Sarah tak terima dengan saran yang diajukan oleh Andaru. "Sebagai seorang anak aku tidak mungkin membiarkan ayahku tersi
"Sekarang?" ulang Sarah yang juga tak percaya. Dia menoleh pada sang ayah yang juga keheranan."Bagaimana? Saya tidak punya banyak waktu," tawar Andaru tak sabar.Sarah mengangguk ragu. Dia tak punya pilihan lain selain mengiyakan. Akhirnya, setelah berpamitan pada Abizar, Sarah mengikuti langkah cepat Andaru menuju area parkir. Pria tampan itu mengemudikan kendaraannya entah kemana. Sedikit was-was, Sarah bertanya padanya, "Kita mau kemana? Terus mobil saya bagaimana?""Gampang. Aku akan menyuruh anak buahku memarkirkan mobil kamu ke dalam garasi pak Baskoro," jawab Andaru tenang. Tak ada lagi gaya bahasa formal dari pria itu. Sejak mendapat telepon dari bosnya, raut Andaru berubah tegang."Lalu, kuncinya?" Sarah menyodorkan kunci mobil, lalu mempermainkannya dengan telunjuk."Tanpa kuncipun sebenarnya mobil tetap bisa menyala," jawab Andaru datar."Maksudnya? Kalian menyabotase mobilku, begitu?" Sarah menautkan alisnya sebagai tanda tak setuju.Andaru melirik sekilas, kemudian terse
Sarah mengikuti langkah Andaru memasuki teras villa kemudian melintasi ruang tamu dan berjalan lurus ke bagian belakang villa. Sementara Theodore telah berjalan memasuki villanya lebih dulu dan menghilang entah kemana. Andaru membawa Sarah ke sebuah bangku taman yang terletak tepat di samping pintu masuk menuju halaman belakang. Suasana terasa begitu sepi untuk villa sebesar ini, membuat Sarah cukup merinding. "Kenapa tidak ada orang di sini?" tanya Sarah setengah berbisik."Kamu pikir saya dan bos saya bukan orang?" jawab Andaru dengan nada kesal. "Dengar, ya! Nanti kalau Tuan Bresslin bicara tentang apapun, tolong jangan dibantah! Kamu cukup mengangguk dan mengiyakan!" titahnya."Saya di sini ingin bernegosiasi. Kalau tidak boleh membantah, percuma dong, saya ke sini," sanggah Sarah.Andaru mengusap wajahnya kasar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nona Sarah, saya mengajak anda kemari, itu dengan usaha saya. Itu artinya, saya sudah bekerja keras hingga a
Sarah mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Sebisa mungkin dia tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar. Namun, bongkahan emosi yang mengendap di dadanya, jauh lebih besar dari yang dapat dia tahan. "Ternyata, selain angkuh, anda juga tidak waras!" caci Sarah.Merah padam muka Theo mendengar hal itu. Seumur hidup, hanya ada dua perempuan yang tak bisa tunduk di hadapannya, yaitu Aruni dan gadis cantik beriris mata gelap di depannya ini. "Katakan sekali lagi?" geram Theo."Saya menolak! Anda tidak waras!" sentak Sarah dengan wajah menengadah, seakan menantang Theo."Hmm, baiklah! Kau sudah menentukan jalanmu! Mulai detik ini, jangan lagi memikirkan tentang ayahmu, karena dia akan membusuk di penjara!" ancam Theo.Gemetar seluruh tubuh Sarah mendengar hal itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki, harus kehilangan kebebasannya dengan cara yang teramat mengenaskan. Gadis itu kembali berniat membuka mulutnya, tapi Theo lebih dulu bersuara."Andaru!" teriak