Share

Misi Yang Gagal

Hening terasa. Mata Abizar terpejam, namun dia dapat mendengar dengan jelas suara detik jarum jam dinding yang entah berada di sebelah mana. Berat rasanya dia membuka kelopak mata. Deru napasnya terdengar cepat dan terengah-engah. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, bagaikan ditikam ribuan belati. Parahnya lagi, tubuhnya seolah terikat, tak mampu dia gerakkan. Tiba-tiba kepalanya terasa basah. Seseorang sepertinya dengan sengaja menyiramkan air kepadanya. Air itu bahkan memasuki hidung, membuat Abizar makin kesusahan bernapas. Abizar terbatuk pelan, makin lama makin kencang sampai-sampai dadanya sesak.

"Bangun, Bodoh!" seru seseorang. Abizar yakin, seruan itu diperuntukkan baginya. Susah payah dia berusaha membuka mata. Pandangan yang awalnya mengabur, perlahan mulai terang dan jelas. Seorang pria asing berdiri di hadapannya dengan raut wajah garang nan mengerikan. Rambut gondrongnya menutupi sebagian wajah yang dipenuhi bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Iris mata coklat terang itu menatap tajam ke arahnya, seolah hendak menerjang dan mengoyak tubuh Abizar yang tak berdaya. Di belakang pria itu, berdiri pria-pria tegap bersetelan rapi yang berada dalam posisi siaga.

Kesadaran Abizar mulai pulih. Lemah, dia menggerakkan kepala dan menyapu pandangan ke sekitarnya. Saat itu, barulah Abizar tahu bahwa dirinya memang benar-benar terikat oleh tali tampar yang dililitkan ke kursi tempat Abizar duduk kini. "Di-di mana ini?" tanyanya lemah dan terbata.

"Sebentar lagi kau akan kujebloskan dalam penjara! Jadi, tak perlu bertanya sekarang kau ada di mana," geram pria itu dengan logat bahasa Indonesia yang sangat kaku.

Abizar terbelalak. Dia mulai dapat mengingat sekarang, siapa pria di depannya itu. Kemarin, komplotan Fahmi menunjukkan foto pria tersebut padanya. "An-anda Theodore Bresslin?" tanyanya lagi.

"Bagus kalau kau mengenalku. Ingat-ingat wajahku ini tiap kali kau akan berbicara dusta," ancam Theo. Posisinya yang tengah berdiri, kini bergerak membungkuk. Theodore mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyejajarkan wajahnya pada wajah Abizar. Dia dapat melihat dengan jelas muka Abizar yang mulai penuh dengan keriput.

"Saya tidak mengerti. Tolong, lepaskan saya. Putri saya telah menunggu di rumah," mohon Abizar dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Seharusnya kau memikirkan itu sebelum menerobos masuk rumah orang dan mencuri barang miliknya," sahut Theo dengan nada bicara meninggi.

"Saya bersumpah, mahkota itu tidak ada pada saya! Mereka yang membawanya lari!" bulir-bulir keringat mulai menetes di dahi Abizar yang diliputi perasaan cemas. "Sepertinya saya telah dimanfaatkan oleh mereka. Saya hanya dijadikan umpan," sesalnya seraya menundukkan kepala.

"Aku tidak mau tahu! Kau yang harus bertanggung jawab untuk semuanya!" Theo kembali menegakkan badannya dan mengarahkan jari telunjuk ke arah Abizar.

"Tapi barang itu tidak ada pada saya, Pak. Anda boleh menggeledah saya sekarang," tantang Abizar. Entah dengan cara apa lagi dia meyakinkan pria itu.

"Aku tidak peduli dengan benda itu. Mereka hanya mencuri mahkota palsu. Aku yang memegang aslinya," seringai Theo. "Yang aku permasalahkan adalah kerugian non materiil yang sudah kalian sebabkan," tegasnya kemudian.

"Lalu saya harus bagaimana?" Abizar mulai putus asa. Terbayang wajah cantik putrinya yang pasti akan sangat kecewa.

"Sebutkan padaku nama-nama anggotamu!" desak Theo. Dia kembali melayangkan tatapan membunuh pada Abizar.

"Saya tidak tahu, Pak. Saya bersumpah. Saya hanya mengenal satu orang bernama Fahmi," Abizar terisak. Tak ada lagi rasa malu saat dia harus meneteskan air mata di depan banyak orang. Dulu, Abizar adalah laki-laki yang kuat. Dialah yang menjadi beton pelindung untuk istri tercinta dan putri semata wayangnya.

"Omong kosong! Bagaimana mungkin satu komplotan bisa tak saling mengenal! Katakan sekarang sebelum aku membawamu ke kantor polisi!" Theo mengepalkan tangan, tanda emosinya akan meledak sebentar lagi.

"Saya berani bersumpah! Saya dijebak! Saya hanya dijadikan umpan. Awalnya Fahmi menawarkan sejumlah uang pada saya untuk melunasi seluruh utang-utang saya di bank! Tapi, ternyata ..." isakan Abizar semakin kencang.

"Tolong jangan penjarakan saya, Pak. Saya mohon," Abizar sudah tak mempedulikan harga dirinya. Dalam keadaan terikat, dia susah payah bersimpuh dan bersujud di depan Theo.

"Kalau kau tak ingin dipenjara, kau harus mengganti biaya ganti rugi," timpal Theo datar.

Masih dalam posisi tertelungkup, Abizar memejamkan matanya rapat-rapat. Uang sepeserpun dia tak punya. Bagaimana mungkin dia bisa membayar kerugian. Bahkan utang-utangnya di bank juga belum terlunasi sama sekali. Pria paruh baya itu kembali menangis sesenggukan.

Bukannya iba, Theo malah berjongkok di depan Abizar, lalu menarik kursinya agar kembali tegak. Dia menatap tajam pada Abizar sambil mengusap dagunya. "Kau dan komplotanmu telah mengetahui rahasia penting tentang mahkota Blood Diamond. Ini sungguh berbahaya. Jadi, katakan padaku sekali lagi. Siapa komplotanmu dan dari mana mereka mengetahui tentang keberadaan mahkota rahasia itu?" cecar Theo. Satu tangan kekarnya mencengkeram sandaran kursi tempat Abizar terikat.

"Yang saya kenal hanyalah mas Fahmi. Dia bekerja sebagai satpam di sebuah mall yang saya kunjungi, hanya itu. Saya tidak punya informasi lainnya," jelas Abizar lemah. "Waktu itu dia menunjukkan seluk beluk mahkota kerajaan yang diturunkan dari generasi ke generasi di dalam keluarga anda," imbuhnya lagi.

Theo terdiam sejenak. Penjelasan Abizar membuatnya bertanya-tanya. Pasalnya, informasi tentang mahkota itu seharusnya sangat terbatas. Hanya dirinya dan keluarga besarnya yang tahu, kecuali jika memang dalang di balik aksi tersebut adalah orang-orang yang benar-benar paham seni dan sejarah. "Bisa kupastikan, bosmu adalah orang yang berpengaruh di bidang barang-barang antik. Mungkin dia kolektor atau semacamnya," tebaknya kemudian.

"Saya tidak tahu," hampir putus asa Abizar menjelaskan pada Theo.

"Baiklah, kalau begitu. Karena dirimu tidak berguna, lebih baik kujebloskan saja ke dalam penjara," Theo berdiri dengan gagahnya, lalu menjentikkan jari pada salah satu anak buah yang sejak tadi siaga berdiri di belakangnya.

"Bawa orang tua ini ke kantor polisi! Kita akan membuat laporan di sana," ujar Theo seraya berjalan meninggalkan ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status