Share

Bab 5

Sesaat mendengar ucapan Theo, Anisa ketakutan sampai mundur beberapa langkah.

Theo seperti seekor binatang buas yang baru bangun. Begitu membuka mata, orang-orang sekitar langsung ketakutan dan merasa terancam.

Bibi Wina keluar, lalu menutup pintu kamar Theo. Ketika melihat Anisa yang ketakutan, Bibi Wina berusaha menenangkannya. "Nona, jangan takut. Tuan baru sadar, mungkin dia belum bisa menerima kenyataan ini. Sebaiknya malam ini Nona tidur di kamar tamu dulu, kita bicarakan lagi besok. Aku lihat Nyonya Sabrina sangat menyukai Nona, harusnya Beliau berpihak kepada Nona."

Saat ini pikiran Anisa agak kacau. Dia pernah membayangkan semisalnya Theo meninggal, tetapi dia tidak pernah menyangka kalau Theo akan sadar.

"Bibi Wina, barang-barangku masih di dalam kamar ...." Anisa melirik ke arah kamar, dia ingin mengambil barang-barangnya.

Mengingat Theo yang menatapnya dengan penuh kebencian, Anisa merasa bahwa Theo tidak akan menerimanya sebagai istri. Anisa harus mempersiapkan diri, dia bisa diusir kapan saja.

Bibi Wina menghela napas. "Bukan barang yang penting, 'kan? Kalau bukan barang penting, besok saja baru ambil."

"Emm, Bibi juga takut sama dia, ya?" tanya Anisa.

Bibi Wina menjawab, "Aku sudah lama melayani Tuan. Walaupun kelihatannya galak, Tuan tidak pernah mempersulit aku."

Anisa hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.

Meskipun Anisa adalah istri Theo yang sah, faktanya hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Jadi Anisa bisa mengerti kalau Theo membencinya.

Malam ini Anisa tidak bisa tidur, dia merasa sangat gelisah.

Berbagai macam pikiran melintas di otaknya. Sadarnya Theo telah merusak semua rencana Anisa.

....

Keesokan hari.

Pada pukul 8 pagi, Bibi Wina memindahkan semua barang-barang Anisa ke kamar tamu.

"Nona, waktunya sarapan. Tuan juga sedang sarapan. Mumpung sarapan, kamu bisa mengajak Tuan ngobrol," kata Bibi Wina.

"Kayaknya dia nggak mau melihat aku." Anisa cemberut.

"Tapi Nona tetap harus sarapan. Ayo, kita ke bawah! Tadi aku sudah bilang ke Tuan bahwa Nyonya Besar sangat menyukaimu. Tuan tidak marah, kok. Siapa tahu hari ini sikapnya jauh lebih baik." Bibi Wina berusaha membujuk.

Sesampainya di dekat ruang makan, Anisa melihat Theo yang duduk di atas kursi roda. Kedua tangan Theo sudah bisa bergerak, semua ini karena dia rajin berolahraga sehingga otot-otot motoriknya cepat pulih.

Walaupun masih duduk di kursi roda, postur tubuh Theo kelihatan sangat bagus. Dia adalah pria tinggi yang tampan.

Dengan gugup, Anisa berjalan ke meja makan dan duduk di samping Theo.

Selama makan, Anisa dan Theo tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sesekali Anisa memberanikan diri untuk melirik ke arah Theo.

Ketika Anisa kembali melirik Theo, Theo membalas tatapannya dengan tajam. Sorotan mata Theo seperti lubang hitam yang tak berujung, dia terlihat seperti mau menerkam orang.

Anisa sontak meletakkan sendoknya dan menunduk. "Hmm, aku ... aku Anisa Kintara."

Theo mengambil cangkir yang ada di meja, lalu menyeruput kopinya.

"Kamu sedang mengandung anakku?" Suara Theo terdengar datar.

Sekujur tubuh Anisa bergidik, dia langsung kehilangan nafsu makan.

"Mau aborsi di rumah sakit atau aborsi dengan minum obat? Pilih yang mana?" Theo sanggup mengatakan hal yang mengerikan dengan nada yang tenang.

Seketika wajah Anisa pun memucat, kepalanya terasa kosong.

Bibi Wina terkejut mendengar ucapan Theo. Dia pun bergegas maju dan menjelaskan, "Tuan, Nyonya Besar yang menginginkan anak ini. Tidak ada hubungannya sama Nona Anisa."

Theo melirik Bibi Wina dan menjawab, "Berhenti menggunakan ibuku sebagai tameng."

Bibi Wina tak berdaya, dia langsung diam dan menundukkan kepala.

"Theo ...." Anisa menatap Theo.

"Siapa yang mengizinkan kamu memanggil namaku?" kata Theo.

"Terus aku harus panggil apa? Suamiku? Sayang?" tanya Anisa.

Melihat Anisa yang mengatupkan kedua bibirnya, emosi di hati Theo pun menyulut.

Anisa menyadari kesalahannya. Dia langsung buru-buru menjelaskan, "Aku nggak hamil, aku baru datang bulan. Kalau nggak percaya, tanya saja sama Bibi Jani yang membersihkan kamar. Tadi pagi aku masih meminta pembalut sama dia."

Theo tidak berkata apa-apa, dia kembali menyeruput kopi yang dipegang.

Anisa sudah kelaparan. Akhirnya dia tidak memedulikan Theo dan bergegas menghabiskan sarapannya, lalu kembali ke kamar untuk mengambil tas.

Anisa tidak tahan melihat Theo. Takutnya Anisa bisa gila kalau seharian berada di rumah.

Setelah mengambil tas, Anisa turun dan hendak keluar. Namun tiba-tiba Theo membuka mulut dan berkata, "Siapkan kartu keluarga, kita akan segera bercerai."

"Pergi sekarang?" Anisa berhenti, lalu menoleh ke arah Theo.

"Dua hari lagi," jawab Theo.

Sabrina mengidap darah tinggi, dia masih dirawat di rumah sakit. Oleh sebab itu Theo perlu menunggu sampai keadaan Sabrina stabil, baru mengajaknya untuk membicarakan perceraian.

"Oh, kabari saja nanti," jawab Anisa.

Ketika melewati ruang tamu, Anisa terkejut melihat sebuah sosok yang duduk di sofa. Leo datang?

Leo adalah ular berkepala dua. Di belakang dia mengharapkan kematian Theo, tetapi sekarang malah datang dan berlagak sok manis.

"Paman, ayah dan ibuku lagi menjenguk Nenek. Jadi aku mewakili ayah dan ibuku untuk mengunjungi Paman." Leo tidak datang dengan tangan kosong, dia membawa vitamin dan juga obat-obatan herbal.

Theo melirik pengawal yang berdiri di sampingnya. Pengawal mengerti maksud Theo, dia mengambil semua hadiah dari Leo dan membuangnya ke luar.

Leo panik melihat semua hadiah yang dibuang. "Paman, kenapa dibuang? Kalau Paman tidak suka, aku bawain hadiah yang lain. Paman jangan marah!"

Kemudian pengawal tersebut menendang kaki Leo hingga terjatuh dan berlutut.

Anisa terkejut! Saking takutnya, dia sampai tidak berani bernapas terlalu keras. Dia tidak tahu apa yang terjadi, kenapa Theo memukul keponakannya sendiri?

"Leo, pamanmu sudah sadar. Sepertinya kamu terlihat agak kecewa?" tanya Theo sambil mengeluarkan sebatang rokok.

Pengawal di samping bergegas mengambil korek api dan menyalakan rokoknya.

Belum ada 24 jam sejak Theo sadar sampai sekarang. Namun dia sudah bisa minum kopi dan merokok?

Leo merintih kesakitan, lututnya terasa seperti mau patah. "Paman, apa maksud Paman? Tentu saja aku senang melihat Paman sadar. Aku justru berharap Paman bisa segera pulih ...."

"Kamu sedang menantangku?" Theo mengangkat kedua alisnya yang tajam. "Berusaha menyogok pengacaraku. Kamu masih berani membantah?"

Theo sengaja membuang abu rokok ke wajah Leo, lalu berkata, "Pergi! Jangan coba-coba menantangku, aku bisa saja menghabisimu."

Anisa tercengang melihat Leo yang bergegas bangun dan melarikan diri dengan ketakutan.

Tak hanya Leo, Anisa pun takut, sangat takut! Anisa takut dengan Theo.

Anisa tidak berani menantang Theo. Dia terbangun dari lamunan dan buru-buru pergi dari rumah.

Hari ini Anisa harus pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. Datang bulannya sangat sedikit, tidak seperti biasa.

Sesampainya di rumah sakit, Anisa menjelaskan semua gejala yang dialami. Dokter pun menyarankan untuk melakukan USG.

Sekitar 1 jam, dokter memberikan dan menjelaskan hasil USG-nya kepada Anisa. Hasil USG tidak menunjukkan kejanggalan, bahkan ....

Ternyata Anisa hamil!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status