Share

Bab 8

Sabrina sudah tidak sabar, dia bangkit berdiri dan menyusul Bibi Wina ke kamar Anisa.

Sesaat pintu kamar terbuka, Sabrina terkejut melihat Anisa yang meringkuk di sudut kamar. Rambutnya tergerai acak-acakan.

"Anisa, kamu kenapa?" Sabrina cemas melihat wajah Anisa yang pucat seperti mayat.

"Swoosh!" Darah tinggi Sabrina langsung kambuh.

"Ada apa? Kenapa kamu jadi gini? Theo menyiksa kamu?" Sabrina mengajukan berbagai pertanyaan, suaranya terdengar gemetaran.

Anisa terlihat jauh lebih kurus, wajahnya pucat dan bibirnya pecah-pecah. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi sekujur tubuhnya terasa tidak bertenaga.

Bibi Wina buru-buru membawakan segelas susu dan memberikannya kepada Anisa. "Nona, minum dulu susunya. Ada Nyonya Besar, kamu sudah bisa makan."

Sabrina langsung membentak Bibi Wina, "Ada apa? Theo tidak kasih Anisa makan? Dia mau membunuh anak orang?"

Sabrina tidak bisa menoleransi tindakan putranya. Dia bergegas ke ruang tamu dan memarahi Theo, "Theo, Anisa adalah gadis pilihanku. Kamu berani menindasnya? Kamu anggap apa aku?"

"Dia salah dan pantas dihukum. Kalau bukan karena Ibu, apakah aku akan membiarkannya hidup sampai sekarang?" Suara Theo terdengar dingin.

Sudah bagus Theo hanya membiarkannya kelaparan, bukan mematahkan kaki dan tangannya.

Anisa telah melihat hal yang tidak boleh dilihat. Dia telah menantang batas kesabaran Theo!

"Bersalah? Anisa salah apa?" Anisa adalah gadis penurut yang pintar membaca situasi. Dia tidak mungkin dengan bodohnya sengaja menantang Theo.

Theo tidak menjawab pertanyaan Sabrina.

"Aku ... aku tahu kenapa kamu tidak mau menikah dan punya anak. Theo, justru karena tahu isi pikiranmu, aku tidak akan membiarkanmu terjatuh makin dalam. Anisa adalah gadis yang baik. Walaupun kamu tidak mencintainya, aku hanya ingin melihat kalian hidup bersama," Sabrina berbicara sampai menangis.

Semakin emosi, darah tinggi Sabrina pun semakin naik.

Sebenarnya Theo ingin menjawab, tetapi kondisi Sabrina terlihat semakin mengkhawatirkan. Theo pun bergegas memberikan isyarat kepada para pengawalnya untuk memapah Sabrina.

"Selama aku masih hidup, kamu tidak boleh mengusir Anisa! Boleh saja bercerai, tapi tunjukkan kepadaku wanita yang kamu sukai! Intinya aku tidak akan membiarkan kamu hidup sendiri." Setelah duduk di sofa, Sabrina pun jatuh pingsan.

Kepala Sabrina terasa sakit, darah tingginya kambuh, dan kekurangan oksigen.

Tadi pagi Sabrina baru keluar dari rumah sakit, sekarang dia sudah dilarikan ke rumah sakit lagi.

Theo tidak menyangka ibunya akan bersikap sekeras ini.

Awalnya Theo berpikir perceraiannya dengan Anisa bisa diselesaikan dengan mudah. Tak disangka, semuanya jauh lebih rumit daripada yang dipikirkan.

Sebenarnya Theo tidak hanya membenci Anisa, dia membenci semua wanita. Jadi Theo tidak mungkin menceraikan Anisa dan mencari wanita lain.

....

Tubuh Anisa terasa lebih baik setelah meminum segelas susu. Walaupun kondisinya masih lemah, dia bisa mendengar perdebatan yang terjadi di ruang tamu.

Theo membuat ibunya pingsan hanya dengan mengucapkan beberapa kata.

Bibi Wina mengantarkan semangkuk bubur. "Nona, makan dulu."

Selagi Anisa makan, Bibi Wina mengambil sisir dan merapikan rambut Anisa. "Nona sudah dengar, 'kan? Selama ada Nyonya Besar, Tuan tidak akan bisa mengusir Nona."

"Aku mau bercerai." Suara Anisa terdengar serak. "Aku nggak peduli, pokoknya aku mau cerai!"

Anisa tidak ingin tinggal lebih lama di tempat yang mengerikan ini. Dia tidak ingin melihat Theo, iblis itu telah menyiksanya selama 2 hari penuh!

"Nona, jangan marah. Habisin dulu buburnya," kata Bibi Wina dengan canggung.

Sesaat melihat pengawal yang membawa Theo masuk ke kamar, Bibi Wina bergegas ke depan pintu kamar dan berkata, "Tuan, emosi Nona masih tidak stabil."

Sama seperti biasa, tatapan Theo tampak sangat dingin. Kebetulan Anisa pun menoleh ke arah Theo dan mereka saling bertatapan.

Seketika suasana di dalam ruangan pun terasa dingin.

"Aku mau cerai." Anisa meletakkan mangkuknya, lalu mengambil koper dan berjalan ke depan pintu kamar. Tadi malam dia sudah mengemas semua pakaian dan bersiap-siap pergi.

"Nikahi wanita yang kamu cintai." Nada bicara Anisa terdengar lebih ketus daripada biasanya.

"Kamu marah? Kamu tidak merasa bersalah?" tanya Theo sambil menatap Anisa.

"Aku salah, aku nggak seharusnya meminjam laptopmu." Anisa berusaha menahan emosinya. "Tapi aku juga sudah dihukum. Semua sudah beres dan aku mau cerai. Kontrak cerai di tempatmu, 'kan? Atau mau aku yang buat?"

Melihat Anisa yang tidak sabar bercerai, Theo mendengus dingin dan menjawab, "Memangnya hukumanmu sudah selesai?"

Anisa terkejut, apa maksud pria ini?

"Kayaknya menjadi istriku sangat menderita, ya? Kalau begitu teruslah menjadi Nyonya Theo. Kita pasti akan bercerai, tapi tidak sekarang." Theo tidak sedang berdiskusi, dia sedang memerintahkan.

Setelah Theo selesai bicara, pengawal membawanya pergi meninggalkan kamar Anisa.

Anisa menatap Theo sambil menggertakkan gigi. Apa haknya bersikap seperti itu? Memutuskan bercerai atau tidak bercerai dengan sesuka hati.

Memangnya kalau Theo tidak mau bercerai lantas Anisa tidak mempunyai cara lain?

Tiba-tiba kepala Anisa terasa pusing dan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Dia bergegas kembali ke tempat tidur dan berbaring untuk menenangkan diri.

Bukannya Theo tidak mau bercerai, hanya saja kondisi Sabrina masih lemah. Oleh sebab itu Theo tidak mau memperparah kondisi ibunya.

Tak ada pilihan lain, Theo dan Anisa hanya bisa bertahan.

Satu minggu kemudian.

Anisa sudah sehat. Setelah sarapan, dia pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya.

Firasat Anisa mengatakan bahwa bayinya telah keguguran.

Theo tidak memberikannya makan maupun minum selama dua hari. Setiap haus, Anisa hanya bisa meminum air keras dari kamar mandi. Janinnya pasti lemah, kandungannya tidak mungkin bisa bertahan.

Sesampainya di rumah sakit, dokter merujuk Anisa untuk melakukan USG.

Setelah diperiksa, Anisa bertanya kepada dokter, "Dok, apakah kandunganku keguguran?"

Dokter kebingungan. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Dua hari kemarin aku tidak makan. Kandunganku sendiri memang lemah, ditambah kelaparan kondisinya pasti ...." Anisa terlihat ragu-ragu.

"Oh, tidak masalah. Mual dan kehilangan nafsu makan itu normal. Wanita-wanita lain juga mengalami hal yang sama," dokter menjelaskan.

"Terus anakku ...." Anisa terlihat tegang.

"Wah, selamat! Kamu mengandung anak kembar. Ada dua kantung janin di dalam kandunganmu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status