Share

Bab 7

Begitu menyala, ternyata laptop tidak memerlukan kata sandi.

Kinerja laptop Theo sangat cepat, Anisa sampai kagum melihatnya.

Kemudian Anisa memasang USB-nya, lalu membuka email dan mengirimkan hasil pekerjaannya.

Semua berjalan lancar, dokumen dikirimkan sebelum jam 12 siang.

Anisa tidak berani berlama-lama di dalam ruang kerja. Ketika hendak mematikan laptop, tangannya tidak sengaja menyenggol mouse dan sebuah folder pun terbuka.

Anisa terkejut dan membelalak saat melihat isi folder tersebut ....

....

Lima menit kemudian Anisa keluar dari ruangan Theo.

Bibi Wina menghela napas lega. "Benar, 'kan? Tuan tidak pulang secepat itu."

Ekspresi Anisa terlihat gelisah. Sepertinya dia telah mengetahui rahasia Theo. Kalau tahu akan seperti ini, Anisa tidak akan meminjam laptop Theo.

"Bibi, apakah di dalam ruangan ada CCTV?" tanya Anisa.

"Cuma ada di luar ruangan," jawab Bibi Wina.

Seketika wajah Anisa pun memucat. "Dia pasti tahu aku masuk ke ruangannya."

"Nanti Nona kasih tahu saja ke Tuan. Nona bahkan tidak sampai 10 menit di dalam, harusnya Tuan tidak akan marah." Bibi Wina berusaha menenangkan Anisa.

"Ting." Ponsel Anisa berbunyi. Ada pesan masuk, ternyata seniornya mengirimkan uang sebesar 4 juta.

Anisa tertegun melihat bayaran sebesar ini. Dia mendapatkan 4 juta hanya dengan menghabiskan waktu selama 2 jam?

Uang ini berhasil meredakan kekhawatiran Anisa.

Anisa bukannya sengaja ingin meminjam ataupun melihat privasi Theo. Sepulangnya Theo ke rumah, Anisa akan menjelaskan semua. Semoga saja pria itu tidak marah ....

Lagi pula mereka sudah mau bercerai, rahasia Theo sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anisa.

Setelah makan siang, Anisa kembali ke kamar dan menutup pintunya. Kemudian dia duduk di depan meja rias sambil memegang perut dan bergumam, "Sayang, mama nggak tega membuang kamu. Tapi kalau dilahirkan, takutnya hidup kamu akan menderita ...."

Sepertinya kehamilan membuat Anisa gampang mengantuk. Dia naik ke atas tempat tidur dan langsung terlelap.

Pada sore hari, Anisa mendengar langkah kaki tergesa-gesa yang menuju ke kamarnya. Dia terkejut dan bergegas bangkit dari tempat tidur.

Ketika menoleh ke belakang, Bibi Wina sudah membuka pintu kamarnya dan bertanya, "Nona, gawat! Apakah kamu mengotak-atik laptop Tuan?"

"Di-dia ... sudah pulang? Dia sudah tahu?" Anisa membelalak.

Nada bicara Bibi Wina terdengar cemas. "Bukannya Nona cuma mengirim dokumen? Tuan lagi marah-marah di ruangannya. Katanya Nona mengotak-atik laptopnya. Kali ini aku benar-benar tidak bisa membantu."

Jantung Anisa sontak berdegup kencang. Gawat!

Sepertinya Anisa tidak perlu bercerai, mungkin Theo akan langsung menghabisinya.

Kedua mata Anisa pun memerah. "Bibi, maaf, aku tidak sengaja. Waktu mau menutup laptop, aku tidak sengaja menyenggol mouse dan foldernya terbuka. Aku bersumpah, aku langsung menutup foldernya ...."

Bibi Wina memercayai Anisa, tetapi dia juga tidak bisa membantu apa-apa. "Tuan baru saja memarahiku. Bisa-bisa aku dipecat ...."

Anisa terkejut! Dia rela menerima hukuman apa pun asalkan tidak melibatkan Bibi Wina.

Anisa bergegas ke ruangan Theo untuk menjelaskan semuanya. Sesampainya di depan, lift terbuka dan beberapa pengawal mendorong Theo yang duduk di kursi roda.

Sesaat melihat raut wajah Theo yang mengerikan, sekujur tubuh Anisa langsung merinding. Anisa tahu Theo marah, tetapi dia tidak menyangka akan semarah ini.

"Theo, maafkan aku." Saking takutnya, Anisa merasa seperti ada gumpalan bola di tenggorokannya. "Tadi pagi laptopku rusak, maaf meminjam laptopmu tanpa izin. Masalah ini nggak ada hubungannya sama Bibi Wina. Bibi Wina sudah melarang, tapi aku tetap memaksa."

Anisa mengakui semua kesalahannya, dia tidak ingin Bibi Wina sampai terseret.

Theo memelototi Anisa, matanya memerah seperti binatang buas yang siap menerkam mangsanya.

Anisa tidak sanggup membayangkan betapa murkanya Theo saat ini. Dia bergegas menunduk dan kembali meminta maaf. "Maaf, maafkan aku."

"Kamu melihat semuanya?" Suara Theo terdengar dingin dan menusuk.

Kalau Theo sanggup berdiri, mungkin dia sudah mematahkan leher Anisa.

Wanita bodoh yang lancang! Dia pikir dia adalah nyonya di rumah ini? Sampai berani masuk ke ruang kerja dan menyentuh barang-barang Theo?

Wanita ini pantas mati!

Anisa mengangguk, lalu bergegas menggelengkan kepala. "Aku, aku nggak sengaja melihatnya, lagian sekarang aku sudah lupa. Begitu foldernya muncul, aku cuma melihat sekilas dan bergegas menutupnya. Aku nggak sengaja, sumpah, aku ... aku ...."

"Tutup mulutmu!" Theo makin murka melihat Anisa yang masih berusaha membela diri. "Kembali ke kamarmu! Sebelum kita bercerai, kamu tidak boleh keluar dari kamar itu!"

Sebenarnya Anisa masih ingin menjelaskan, tetap akhirnya dia mengurung niat tersebut dan kembali ke kamarnya.

Anisa bisa merasakan kebencian yang terpancar dari sikap maupun tatapan Theo.

Setelah Anisa menutup pintu, Theo memerintahkan Bibi Wina, "Jangan kasih dia makan!"

Theo mau mengurung sekaligus membunuh Anisa?

Walaupun kasihan, Bibi Wina tidak berani membantah perintah Theo. Bagaimanapun Theo adalah raja di rumah ini.

....

Dua hari kemudian.

Kondisi Sabrina sudah pulih dan boleh pulang.

Begitu keluar dari rumah sakit, Sabrina langsung bergegas ke rumahnya Theo.

"Theo, bagaimana kondisimu? Apa kata dokter? Kapan bisa berdiri?" tanya Sabrina sambil tersenyum lembut.

"Aku baik-baik saja. Bu, ada 1 hal yang mau aku bicarakan," jawab Theo.

Seketika senyuman di wajah Sabrina pun sirna. "Kamu mau membicarakan pernikahanmu? Semuanya ideku, Anisa gadis yang baik, aku sangat menyukainya. Oh iya, di mana dia? Kamu mengusir dia?"

"Tidak," jawab Theo sambil melirik Bibi Wina.

Bibi Wina mengangguk, lalu bergegas ke kamar Anisa untuk memanggilnya.

Dua hari ini Anisa sama sekali tidak makan dan tidak minum. Entah bagaimana keadaannya sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status